![]() |
Ilustrasi pasangan shalih dan shalihah |
Oleh: Husein Muhammad
Istri
shalihah adalah kosa kata populer dalam masyarakat Indonesia.
Pada masyarakat Arab ia biasa disebut al-Marah al-Shalihah yang secara literal
berarti perempuan yang saleh. Sangat jarang mereka menggunakan kata al-Zaujah
al-Shalihah, pasangan yang saleh. Kosa kata
“al-Marah al-Shalihah, tersebut dipersepsi publik muslim sebagai sosok
perempuan/isteri yang serba ideal, sesuatu yang didambakan dan diimpikan laki-laki/suami. Tetapi apakah yang “ideal” itu? Ia dapat
dimaknai dan ditafsirkan secara berbeda-beda oleh setiap orang dan setiap
kebudayaan. Ia tidak bisa dirumuskan secara obyektif. Tak bisa dijawab dengan
hitam atau putih. Setiap orang punya rasa ideal yang berbeda.
Akan tetapi
hampir semua kebudayaan mendefinisikan idealitas tersebut menurut perspektif
laki-laki. Betapa jarang kita mendenfar kata "suami saleh". Hal ini
tentu saja sangat terkait dengan konstruksi sosialnya yang serba mengunggulkan
laki-laki. Dalam sistem kebudayaan patriarkis seperti ini, segala hal
kehidupan didefinisikan oleh serba laki-laki. Dalam perspektif seperti ini,
maka isteri shalihah biasanya digunakan untuk menggambarkan seorang isteri
sebagai sosok manusia domestik, feminin dan subordinate. Isteri shalihah atau
lebih umum lagi perempuan shalihah adalah perempuan yang selalu berada di
rumah, yang lembut, yang melayani dan patuh kepada suaminya sepenuh hati baik
untuk keperluan kesenangan seksual maupun keperluan-keperluan yang lain, sabar
dalam mengurus anak, bisa memasak dan sebagainya.
Dalam
tradisi Jawa ada sebutan yang sangat populer untuk seorang istri shalihah:
"swarga nunut, neraka katut" yang berarti "ke surga ikut dan ke
neraka terbawa. Ini menggambarkan bahwa istri shalihah dalam adat Jawa adalah
istri yang selalu ikut suaminya kemana pun dan dalam keadaan apapun. Istilah
lain yang juga digunakan untuk menyebut istri shalihah adalah "kanca
wingking", (konco wingking) yakni teman di belakang. Istri adalah
pendamping suaminya, tetapi dengan posisi di belakang. Jika berjalan isteri
harus berada di belakang suami, dia baru bisa makan sesudah suami selesai makan
dan seterusnya. Isteri dengan demikian bukanlah mitra yang sejajar dengan
suaminya. Pendek kata isteri shalihah dalam pandangan masyarakat Jawa pada
umumnya adalah sosok perempuan yang selalu mengabdi kepada suaminya lahir dan
batin, perempuan yang mau berkorban demi suaminya, hidup dan mati
dipersembahkan untuk suami, dan mengurus keluarganya di rumah sepanjang hari
sepanjang malam.
Paling
tidak demikianlah konotasi isteri shalihah menurut tradisi atau adat Jawa yang
berkembang pada masa lalu dan berlangsung selama berabad-abad bahkan masih ada
hingga saat ini. Meskipun telah terjadi pergeseran-pergeseran dalam sejumlah
hal, terutama dalam praktik, akibat proses modernisasi, namun memori kolektif
masyarakat masih melekatkan sejumlah kriteria istri shalihah sebagaimana di
atas. Lalu bagaimanakan gambaran isteri shalihah dalam perspektif pandangan
keagamaan masyarakat muslim?. Adakah hubungan antara adat atau tradisi tersebut
dengan pandangan keagamaan? Al-Quran
menyebutkan sebuah ayat tentang perempuan-perempuan shalihah sebagai berikut:
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ
"Oleh
sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara
(mereka)."
Sebuah
kitab (buku) yang dijadikan sebagai bahan ajar di pesantren “Uqud al Lujain fi
Bayan Huquq al Zawjain”, karya Kiai Nawawi (w. 1316 H) dari Tanara, Banten
menjelaskan hal ini dengan cukup lengkap.
وَيَجِبُ عَلَى
المَرْأَةِ دَوامُ الحَيَاءِ مِنْ زَوْجِهَا وَغَضُّ طَرْفِهَا قُدَامَهُ وَالطَّاعَةُ
لِاَمْرِهِ وَالسُّكُوتُ عِنْدَ كَلَامِهِ و القِيَامُ عِنْدَ قُدُومِهِ وَخُرُوجِه
وَعَرْضُ نَفْسِهَا لَهُ عِنْدَ النَّوْمِ وَالتَّعَطُّرِ وَتَعَهّدُهَا الفَمُ بِالمِسْكِ
وَالطِّيبِ وَدَوَامُ الزِّينَةِ بِحَضْرَتِهِ وَتَرْكُهَا عِنْدَ غَيْبَتِهِ .وَتَرْكُ
الِخيَانَةِ لَهُ عِنْدَ غَيْبَتِهِ فِى فِرَاشِهِ وَمَالِهِ
“Isteri
wajib memperlihatkan rasa malu di hadapan suaminya, tidak boleh menentang nya
(melawan). Ia harus menundukkan muka dan pandangannya ke arah suaminya. Ia
wajib taat manakala diperintahkan suaminya selain untuk hal-hal yang
mendurhakai Allah (maksiat). Ia harus mendengarkan dengan tekun ketika suami
berbicara, mengantar dan menyambutnya ketika berangkat dan pulang kerja,
menunjukkan muka manis manakala suami memandangnya. Ia harus menyenangkan suami
ketika akan tidur, memakai wewangian, menggosok gigi, berdandan cantik manakala
suami di rumah dan tidak berdandan ketika tidak ada suami di rumah, tidak
membohongi suaminya di tempat tidurnya dan hartanya.
Pandangan
Kiai Nawawi al- Bantani tersebut tampaknya merupakan pandangan dan tafsir dari
kutipannya atas sejumlah bacaan/rujukan baik dari teks-teks al Quran,
hadits-hadits Nabi maupun khazanah kebudayaan yang bertebaran di
mana-mana yang secara tekstual bermakna demikian. Salah satu
rujukan dari teks al Quran misalnya diambil dari ayat 34 surah al Nisa.
"Maka perempuan-perempuan yang shalihah adalah yang taat, yang menjaga
diri ketika suami tidak di rumah sesuai dengan cara-cara yang ditetapkan
Allah." Satu kata
penting di atas adalah "Qanitat" (perempuan-perempuan, yakni
isteri-isteri yang taat). Taat kepada siapa?. Al-Qur'an tidak secara eksplisit
menyebutkannya.
Oleh karena
itu para ahli tafsir berbeda interpretasi mengenai makna ayat tersebut. Syeikh
Nawawi dalam karya buku diatas memberikan penjelasan kata tersebut sebagai
Muthiat li Azwajihinna (yang taat/patuh kepada para suaminya). Sebelumnya, Ibnu
Katsir mengutip pendapat Ibnu Abbas, mengatakan hal yang sama :
"perempuan-perempuan yang taat kepada suaminya dan menjaga diri untuk
suaminya dan menjaga hartanya ketika suami tidak di rumah. Berbeda
dengan pendapat dua ulama di atas, Imam al Suyuti menyebutkan sejumlah
pandangan para ulama sebelumnya. Ibnu Jarir al Thabari, guru besar para ahli
tafsir, dari Qatadah, ahli tafsir dari kalangan Tabi'in, menafsirkan perempuan
(isteri) yang saleh ialah : yang taat kepada Allah dan suaminya. Dia yang bisa
menjaga harta suaminya, tubuh dan kemaluannya.
Dalam
terjemahan al Quran Departemen Agama RI disebutkan : "Sebab itu,
wanita-wanita yang shalih ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri
ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka." Betapa
berwarnanya pandangan para ahli tafsir itu bukan? Pandangan
para ahli tafsir tersebut dikaitkan dengan sejumlah hadits Nabi Saw. Antara
lain hadits yang menyebutkan:
خَيْرُ النِّسَآء
مَنْ إِذَا نَظَرْتَ اِلَيْهَا سَرَّتْكَ وَاِنْ أَمَرْتَهَا أَطَاعَتْكَ وَاِنْ غِبْتَ
عَنْهَا حَفِظَتْكَ فِى مَالِكَ وَنَفْسِهَا
“Perempuan
yang shalih adalah perempuan yang menyenangkanmu saat memandangnya, yang
menurut kepadamu ketika kamu memerintahkannya, dan jika kamu pergi, dia menjaga
diri dan hartamu.
Hadits lain
menyebutkan bahwa perempuan yang shalih adalah yang selalu sabar terhadap
kelakuan suaminya dan selalu mengharapkan ridhaNya. Nabi misalnya mengatakan:
isteri yang mati dalam keadaan suaminya ridha (rela), maka dia akan masuk
surga. (H.R. Ibnu Majah). Dalam kesempatan lain beliau mengatakan: Maukah
kalian aku tunjukkan perempuan penghuni surga? Dialah perempuan yang penuh
kasih. Apabila dia menyakiti atau disakiti suaminya, dia segera menarik tangan
suaminya, lalu mengatakan: Demi Tuhan, aku tidak akan bisa tidur sampai engkau
memaafkan dan ridha kepadaku. Muhammad
Syarif al Shawaf mengatakan bahwa salah satu kriteria perempuan yang shalih
adalah adalah perempuan yang sabar atas kondisi ekonomi suaminya. Dia tidak
membebaninya di luar kemampuannya. Dia harus menerima sepenuhnya terhadap
kenyataan hidup suaminya dan berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan
suaminya. Apabila suami mempunyai utang kepada orang lain, dia harus bisa
berhemat sehingga suami dapat melunasi utangnya.
Siti Aisyah
r.a suatu saat bertanya kepada Nabi: Siapakah yang lebih diutamakan bagi
seorang perempuan?. Nabi menjawab: suaminya. Lalu, siapakah orang yang paling
agung untuk dihormati dari seorang lak-laki? Nabi mengatakan: Ibunya. Hadits ini
menurut Al Shawaf menunjukkan bahwa kewajiban seorang perempuan setelah dia
menikah adalah memperoleh kerelaan (rida) dari suaminya, taat dan memperhatikan
keperluannya. Suami adalah orang yang paling utama daripada yang lainnya,
termasuk orang tuanya sendiri. Maka seorang isteri yang baik hendaklah menyadari
bahwa dirinya sudah pindah rumah, dari rumah orang tuanya ke rumah suaminya,
dan kepada suaminyalah dia mengabdikan diri sepenuh hati dan untuk seluruh
hari.
Demikianlah
gambaran isteri shalihah dalam khazanah intelektual Islam. Atau menurut
pandangan orang/ulama/sebagian masyarakat. Uraian tersebut tentu saja dapat
melahirkan kesan umum tentang posisi istri sebagai manusia domestik yang harus
selalu berada di rumah dan tak boleh meninggalkannya bila suami melarangnya.
Isteri juga dengan begitu dianggap tidak patut beraktifitas di luar rumahnya,
meski masyarakat membutuhkannya. Dalam waktu yang sama isteri juga menjadi
manusia subordinat/kelas dua, di bawah laki-laki, inferior, menjadi orang yang
menerima dan menjalankan perintah. Sementara laki-laki/suami menjadi orang yang
memerintah, nomor satu dan superior.
Kesan ini
boleh jadi wajar saja adanya dalam sebuah sejarah kebudayaan. Soalnya adalah
bahwa sejauh yang saya pahami teks-teks keagamaan tersebut lahir dari dan dalam
sebuah sistem sosial yang patriarkis. Ketika Islam datang, sistem tersebut
masih mengakar dalam kebudayaan Arabia ketika itu, dan Islam kemudian berusaha
mereduksi dan memperbaiki secara bertahap sistem tersebut. Ketentuan-ketentuan
Islam sebagaimana di atas, sesungguhnya jauh lebih baik bahkan boleh dikatakan
lebih progresif pada masanya daripada keadaan yang berlaku sebelumnya. Al-Quran
menyebutkan kata perempuan dan memberinya bagian. Ini tidak terjadi pada masa
sebelumnya. Saya kira kita tidak bisa melihat kasus pada masa lalu, di tempat
tertentu dan dalam budaya tertentu menjadi ukuran, kacamata dan pikiran serta
aturan kita hari ini di tempat kita berada. Pepatah mengatakan :
لكل مقال مقام
ولكل مقام مقال
Li Kulli
Maqal Maqam wa li Kuli Maqam Maqal, setiap wacana ada konteks sosialnya dan
setiap konteks sosial ada wacananya. Saya selalu
ingin mengatakan: kasus-kasus atau masalah-masalah partikular atau
aturan-aturan adalah kontekstual. Sementara nilai-nilai kemanusiaan adalah
universal.
Bersambung ya...
Tentang penulis:
Kiai Husein Muhammad adalah pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat. Sejak kecil beliau akrab dengan lingkungan pesantren dan pernah nyantri di Pondok Pesantren Lirboyo (1973) dan PTIQ Jakarta (1980). Setelah itu beliau melanjutkan pendidikan di Al-Ahzar, Mesir dan tamat tahun 1983 dan kembali ke Indonesia. Sejak 1993 beliau melanjutkan kepemimpinan Pondok Pesantren yang didirikan kakeknya, yaitu Pondok Pesantren Dar al-Tauhid, Cirebon, Jawa Barat. Profil lengkap beliau bisa dilihat di website pribadinya: www.huseinmuhammad.net
No comments:
Post a Comment