![]() |
Asmara ditengah pandemi corona. Sumber: inquirer.com |
Oleh: Mariana Amiruddin
Sejak Desember 2019 hingga
Maret 2020, Covid-19 sekejap mengubah tatanan dunia, bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Aktivitas
manusia menjadi di luar kebiasaan, bahkan nyaris tanpa kesiapan apapun.
Perubahan secepat kilat ini hanya dalam hitungan minggu, kebijakan di
masing-masing negara terus-menerus diolah, dirumuskan dan disiarkan ke publik
dalam rangka pencegahan penyebaran virus tersebut. Demikian pula di
tempat-tempat kerja perkantoran baik negeri maupun swasta, serta tempat-tempat
pendidikan. Kebijakan yang mungkin tidak dapat dilaksanakan di kalangan
pedagang kaki lima, warung-warung, dan pekerja-pekerja mandiri di lapangan
serta pabrik-pabrik.
Covid-19
berhasil membuat revolusi kebudayaan (dan dampaknya pada ekonomi dan
lingkungan) di seluruh dunia, yang tak kita duga masuk melalui isu kesehatan,
menyurutkan kerumunan di kota-kota besar, dan menurunkan polusi udara serta
suara. Cuitan burung-burung yang biasanya tertelan dalam suara bising kendaraan
kini terdengar. Langit tidak terlalu berwarna abu-abu, dan mulai tampak biru
dan kontras dengan putihnya gumpalan awan.
Di sini saya
tidak ingin menampilkan angka berapa yang terjangkit dan berapa yang meninggal,
termasuk berapa yang sudah sehat serta perbandingan negara lainnya. Kita perlu
mengetahui hal-hal lainnya yang jarang diungkapkan, seperti adanya diversitas
pola kehidupan masyarakat kita, termasuk keluarga dan individu, pusat kota dan
pinggiran, serta letak geografis, yang suka atau tidak, dipaksa untuk berubah.
Setiap perubahan mendadak akan berdampak pada rasa terkejut, bingung, cemas, dan suasana yang dipenuhi ketidakpastian, dan mengakibatkan rasa sedih dan stress. Covid-19 membuat sebagian besar manusia di dunia merana dan harus mengurung diri, menurunkan pendapatan ekonomi serta interaksi.
Setiap perubahan mendadak akan berdampak pada rasa terkejut, bingung, cemas, dan suasana yang dipenuhi ketidakpastian, dan mengakibatkan rasa sedih dan stress. Covid-19 membuat sebagian besar manusia di dunia merana dan harus mengurung diri, menurunkan pendapatan ekonomi serta interaksi.
DEFINISI RUMAH
Sosial media
beramai-ramai mengkampanyekan tentang kerja, belajar, dan ibadah di rumah,
sebagaimana seruan pemerintah. Seluruhnya untuk tujuan mengurangi penyebaran
yang rentan di kerumunan. Sebuah kebijakan yang sederhana dan memang penting,
tetapi kita perlu melihat, memahami serta menyadari lebih detil dampaknya,
terutama bagi masyarakat yang komunal, keluarga, maupun orang yang hidup secara
individual yang bergantung pada kelompoknya. Sebuah bentuk-bentuk interaksi
sosial sebagai sumber kebahagiaan hidup mereka, kini lenyap, tidak boleh saling
bersentuhan, berdekatan sebagai bentuk interaksi yang hangat dan ramah, semua
hanya bisa dilakukan secara virtual (meski tidak semuanya) dan kalaupun
interaksi langsung dilakukan dengan berjarak dan rasa khawatir.
Pertama, mari kita bahas tentang RUMAH. Rumah secara umum dikenal bukan hanya sebagai tempat tinggal, tetapi juga tempat berkumpulnya keluarga. Keluarga juga bermacam-macam, ada yang keluarga inti saja (ayah, ibu dan anak), dan ada keluarga besar (ditambah kakek, nenek, paman, bibi, mertua, ipar dll). Bagi kaum urban, rumah mereka berada di wilayah lain dan bekerja di kota besar, mereka tinggal di tempat-tempat sewa yang terbatas (tempat tinggal sementara), seperti kost, apartemen, atau bilik-bilik sebagaimana pekerja buruh pabrik. Juga beberapa yang menumpang di tempat teman, keluarga dekat, dan sebagainya. Belum lagi yang tidak memiliki rumah dan hidupnya menumpang atau tinggal di jalanan.
Bagi masyarakat konvensional melihat keluarga adalah dalam bentuk “keluarga inti”, telah terbiasa membedakan antara RUMAH dan TEMPAT KERJA, yang tidak biasa mencampurkan keduanya. Kita biasa dengan suasana ayah ke kantor pamit dengan ibu dan anak-anak mencium tangan orang tua saat ke sekolah –menentukan batas ruang domestik dan publik, dan mereka akan berkumpul lagi di jam selesai aktivitas di luar. Ini adalah pola dasar apa yang disebut keluarga bahagia dalam rutinitas mereka berbagi peran dan aktivitas. Adapula yang perlu melakukan dinas berminggu-minggu sehingga belum tentu dalam sehari sebuah keluarga inti akan berkumpul.
Pertama, mari kita bahas tentang RUMAH. Rumah secara umum dikenal bukan hanya sebagai tempat tinggal, tetapi juga tempat berkumpulnya keluarga. Keluarga juga bermacam-macam, ada yang keluarga inti saja (ayah, ibu dan anak), dan ada keluarga besar (ditambah kakek, nenek, paman, bibi, mertua, ipar dll). Bagi kaum urban, rumah mereka berada di wilayah lain dan bekerja di kota besar, mereka tinggal di tempat-tempat sewa yang terbatas (tempat tinggal sementara), seperti kost, apartemen, atau bilik-bilik sebagaimana pekerja buruh pabrik. Juga beberapa yang menumpang di tempat teman, keluarga dekat, dan sebagainya. Belum lagi yang tidak memiliki rumah dan hidupnya menumpang atau tinggal di jalanan.
Bagi masyarakat konvensional melihat keluarga adalah dalam bentuk “keluarga inti”, telah terbiasa membedakan antara RUMAH dan TEMPAT KERJA, yang tidak biasa mencampurkan keduanya. Kita biasa dengan suasana ayah ke kantor pamit dengan ibu dan anak-anak mencium tangan orang tua saat ke sekolah –menentukan batas ruang domestik dan publik, dan mereka akan berkumpul lagi di jam selesai aktivitas di luar. Ini adalah pola dasar apa yang disebut keluarga bahagia dalam rutinitas mereka berbagi peran dan aktivitas. Adapula yang perlu melakukan dinas berminggu-minggu sehingga belum tentu dalam sehari sebuah keluarga inti akan berkumpul.
Pembagian
tugas keluarga yang terpisah seperti Ayah sebagai pencari nafkah adalah bekerja
di luar dan ibu pengurus rumah tangga adalah pemelihara rumah dalam kebijakan
“tetap di rumah” menjadi bercampur baur. Manajemen keluarga perlu berubah
secara revolusioner. Saat Ayah bekerja di rumah dan anak belajar di rumah,
tugas Ibu menjadi bertambah, karena perannya tetap sama yaitu melayani
keluarga. Peran pelayanan yang biasanya diluar jam kantor dan sekolah, kini
pada saat jam kantor dan jam sekolahpun praktis ibu menjadi kekurangan ruang
untuk dirinya sendiri, dan bertambah bebannya.
Kita bisa membayangkan bagaimana
anak-anak dan Ayah perlu makanan ekstra di rumah, bila di kantor ayah biasa
membuat kopi atau teh sendiri atau meminta dilayani office boy, atau makan
siang di warung, serta anak membawa bekal makanan, di rumah semua harus
tersedia. Juga ruang bermain dan menemani belajar, dan hal-hal kecil namun rumit
lainnya. Selain kesediaan pangan, kebersihan rumah juga dilimpahkan pada ibu.
Kita bisa membayangkan betapa stress nya Ibu. Bila di luar kerumunan berkurang,
tetapi di dalam rumah, persis menjadi sebuah kerumunan baru. Ditambah lagi,
biasanya keluarga yang berkumpul adalah saatnya pergi jalan-jalan untuk liburan
(dimana ibu bisa berekreasi bersama keluarga) dan tentu ini sangat bahagia
baginya, kini tidak bisa terjadi.
Memang tidak
semua Ayah dan Ibu berbagi peran kontras demikian, ada banyak yang sudah terbiasa
bekerjasama, termasuk dalam merawat anak-anak, bekerja secara mandiri di rumah,
tetapi tentu itu hanya sebagian kecil. Artinya bahwa kegiatan di rumah sangat
mungkin menambah stress ibu, yang berdampak pada ayah dan anak-anak. Ini bukan
suasana ideal yang kita bayangkan. Kecuali bila normativitas budaya tentang
keluarga berani dibongkar. Bagi orangtua yang sendirian (single parent) tentu
akan lebih terbeban lagi. Rumah bukan lagi tempat untuk bersantai keluarga.
Covid-19 dan
kebijakan-kebijakan di berbagai negara “memaksa-keras” perubahan budaya sampai
pada kehidupan keluarga. Artinya bahwa, bila ingin survive kehidupan kita
sehari-hari dalam keluarga inti, tentu adaptasi ini bukan tidak mungkin
mengalami benturan. Saya hanya mengharapkan bahwa setiap keluarga inti akan
menemukan jalan harmonisnya masing-masing dalam situasi sekarang, dan budaya
peleburan dan perbedaan peran yang “harus menjadi satu” ini (kesetaraan atau
kerjasama) ini dapat dijalankan.
HAMBATAN PADA KELUARGA KOMUNAL
Keluarga
komunal adalah kerumunan dalam satu tempat tinggal. Dia belum tentu rumah besar
yang bisa menampung semuanya. Kita bisa bayangkan di rumah-rumah berpenduduk
padat. Teraspun tidak punya, apalagi halaman belakang dan depan, dan kamar
tidur yang beramai-ramai. Rumah adalah tempat bersama-sama bahkan melebihi
kapasitas. Arena bermain anak-anak bisa meliputi rumah tetangga mereka, atau
keluar mencari tempat yang lebih lapang. Para pedagang kaki lima dan yang
pendapatan ekonominya bersumber dari membuka warung-warung toko biasanya berada
dalam kehidupan padat seperti demikian. Mereka biasa menitipkan anak di
tetangga, Ayah yang kerja shift malam sebagai security, sehingga harus tidur
siang di rumah, ibu yang berdagang di pasar, dan lain sebagainya. Dalam pola
masyarakat atau keluarga seperti ini, bagaimana kita menerjemahkan RUMAH dan
Jarak Sosial?
YANG LAJANG DEWASA DAN YANG TAK BERUMAH
Di Jakata
banyak kaum profesional yang hidup sendirian baik laki-laki maupun perempuan.
Kehidupan interaksi sosial mereka biasanya adalah bergantung pada komunitas,
apakah teman sesama hobi, teman kerja mandiri, atau para sahabat. Mereka
terbiasa bekerja di rumah, atau dimana saja melalui virtual, atau pekerja
kantor. Para lajang ini biasanya workoholic, tidak terlalu pusing dengan batasan
kerja dan jam kantor, dan menjadikan kerja sebagai bagian penting dalam hidup
mereka dan tanpa kenal waktu. Demikian pula para pekerja buruh, hidupnya hampir
seluruhnya berada di pabrik, dan hanya memiliki tempat tinggal di tempat sewa
berbentuk bilik kecil berdempetan.
Interaksi sosial mereka satu-satunya adalah pertemuan-pertemuan di komunitas, nongkrong pada saat akhir pekan, dan bahkan komunitas sudah dianggap sebagai keluarga tempatnya bergantung. Mereka adalah individu-individu yang lebih banyak di luar, sementara rumah atau tempat sewa mereka hanya untuk istirahat. Mereka tidak pernah menyebut pulang ke RUMAH ketika pulang kerja. Bagaimana menerjemahkan kerja di rumah untuk mereka? Hanya ingin memberi bayangan bahwa ini bukan persoalan yang sederhana. Tentu ini bukan potret yang “pukul rata” pada setiap unit kecil masyarakat, barangkali ada potret-potret lainnya.
Interaksi sosial mereka satu-satunya adalah pertemuan-pertemuan di komunitas, nongkrong pada saat akhir pekan, dan bahkan komunitas sudah dianggap sebagai keluarga tempatnya bergantung. Mereka adalah individu-individu yang lebih banyak di luar, sementara rumah atau tempat sewa mereka hanya untuk istirahat. Mereka tidak pernah menyebut pulang ke RUMAH ketika pulang kerja. Bagaimana menerjemahkan kerja di rumah untuk mereka? Hanya ingin memberi bayangan bahwa ini bukan persoalan yang sederhana. Tentu ini bukan potret yang “pukul rata” pada setiap unit kecil masyarakat, barangkali ada potret-potret lainnya.
PEDAGANG KAKI LIMA: HIDUP DARI PEMASUKAN HARIAN
Seorang
pedangang kaki lima di belakang kantor saya pada hari pertama diterapkannya
Jarak Sosial mengeluh dan bersedih hati. Hari sudah lewat jam makan siang,
tidak ada satupun pembeli yang datang. Mereka mengatakan bahwa selama 17 tahun
berdagang, ini adalah hal yang paling memukul mereka. Satu-satunya penghasilan
mereka adalah dari berjualan makanan setiap harinya yang mereka kumpulkan
sedikit demi sedikit. Suami-istri yang bekerja hanya dengan menjual makanan
dengan gerobaknya tersebut hanya bergantung dari pembeli di gedung perkantoran
tempat saya bekerja.
Gedung yang berisi ratusan karyawan, dan juga
tempat-tempat lainnya di sekitar wilayah tersebut memang sangat kurang
mengakses warung makan, sehingga hanya bergantung pada pedagang kaki lima
tersebut. Ketika saya menyampaikan situasinya, mereka semakin murung karena
tidak melakukan persiapan apapun dalam kondisi tersebut. “Saya tidak bisa
membayangkan bagaimana nasib kami ke depan,” ujar istri pedagang tersebut.
Untuk makan sehari-hari dan menyekolahkan anak hanya bergantung dari berjualan
sehari-hari.
TIDAK CUKUP SOAL KERJA DI RUMAH
Revolusi adalah
perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut
dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan yang
terjadi dapat direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu dan dapat
dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan. Ukuran kecepatan suatu
perubahan sebenarnya relatif karena revolusi pun dapat memakan waktu lama.
Namun revolusi yang tak diduga ini justru bemula dari virus terbaru, yang
menyerang masalah kesehatan manusia di seluruh dunia dan dapat mengakibatkan
kematian. Dia bukan revolusi dialektika yang membangun politik tertentu, figur
pemimpin tertentu, pahalawan tertentu, atau elemen perjuangan lainnya, atau
bahkan kader-kader revolusi yang dipersiapkan.
Orang-orang yang menjadikan hidupnya bergantung pada ritual-ritual massal, tidak hanya agama tetapi juga kebudayaan, sebagai suatu keyakinan akar kehidupannya, dalam situasi revolusi yang dimulai dari virus ini tidak mampu beradaptasi cepat. Keyakinan bagi mereka adalah satu-satunya hal yang akan menyelamatkannya, bukan dengan alasan sains. Sebuah bentuk kepanikan sosial yang terbiasa menyerahkan pada bentuk-bentuk ritual tertentu. Bagi masyarakat semacam ini tentu perlu pendekatan yang berbeda, tidak cukup hanya berupa surat edaran, himbauan atau peringatan. Di masyarakat kita pendekatan kultur masih sangat dibutuhkan, karena lebih kuat budaya yang diantaranya adalah keimanan daripada sesuatu yang rasional dalam bentuk sistem dan teknologi. Tetapi memang tidak mudah melakukan pendekatan kultural ditengah revolusi yang perlu perubahan cepat.
Orang-orang yang menjadikan hidupnya bergantung pada ritual-ritual massal, tidak hanya agama tetapi juga kebudayaan, sebagai suatu keyakinan akar kehidupannya, dalam situasi revolusi yang dimulai dari virus ini tidak mampu beradaptasi cepat. Keyakinan bagi mereka adalah satu-satunya hal yang akan menyelamatkannya, bukan dengan alasan sains. Sebuah bentuk kepanikan sosial yang terbiasa menyerahkan pada bentuk-bentuk ritual tertentu. Bagi masyarakat semacam ini tentu perlu pendekatan yang berbeda, tidak cukup hanya berupa surat edaran, himbauan atau peringatan. Di masyarakat kita pendekatan kultur masih sangat dibutuhkan, karena lebih kuat budaya yang diantaranya adalah keimanan daripada sesuatu yang rasional dalam bentuk sistem dan teknologi. Tetapi memang tidak mudah melakukan pendekatan kultural ditengah revolusi yang perlu perubahan cepat.
PERLU PINTU-PINTU LAIN SELAIN SERUAN TETAP DI RUMAH
Diversitas
masyarakat kita tentang RUMAH dan KELUARGA perlu dipahami sehingga kebijakan
tidak hanya dalam bentuk satu pintu, perlu ada pintu-pintu lain untuk kehidupan
orang yang berbeda-beda. Pertama adalah seruan untuk kerjasama dan manajemen
baru dalam keluarga inti, kedua adalah barangkali perlu penyemprotan
disinfektan bagi pemukiman padat dimana keluarga besar dan penduduk hidup
berkerumun dalam satu wilayah dan tak mungkin berjarak. Demikian pula area-area
publik, termasuk pasar, terminal, transportasi publik, halte, dll. Ketiga,
perlu bantuan ekonomi bagi para pedagang kaki lima, atau penjual-penjual
mandiri yang tidak punya penghasilan lain selain harian.
Dalam hal
kesehatan, sebagaimana vooging yang diterapkan dalam setiap tingkat kecamatan,
RW sampai RT untuk pencegahan demam berdarah, maka pengetesan massal Covid-19
di setiap rumah perlu diberlakukan, dengan dipersiapkan perangkat penjemputan,
proteksi, gedung-gedung isolasi yang direlakan untuk perawatan para terjangkit,
tenaga medis dan obat-obatan. Mungkin yang terakhir ini bukan hal yang mudah
dilakukan dan perlu waktu untuk mengorganisir.
PENTINGNYA KESEHATAN JIWA DAN MENTAL
Situasi
ketidakpastian ini mengakibatkan terjangkitnya depresi pada banyak orang, soal
hidup dan mati serta bagaimana bertahan hidup di masa mendatang,
benturan-benturan budaya dalam keseharian terjadi. Situasi stress menurunkan
imunitas tubuh dan menambah masalah. Setiap orang dipaksa untuk mencari jalan
keluar masing-masing untuk mengelola stress, dengan cara yang tidak biasa.
Interaksi sosial diputus entah sampai kapan, yang konon adalah sumber
kebahagiaan.
Kehangatan seperti berjabat tangan, berpelukan dan nongkrong
dengan komunitas tidak mungkin lagi dilakukan. Semua harus berjarak dan kondisi
menjadi dingin dan jiwa menjadi kering. Sumber-sumber kebahagiaan dengan
berkumpul, belanja, berlibur, menjadi hilang sama sekali. Perlu waktu dan cara
untuk menemukannya. Seorang yang terbiasa hidup soliter dan introvert mungkin
tidak masalah, tetapi kepanikan sosial bisa berdampak pada mereka, karena mudah
menyerap situasi emosi yang beredar si sosial media ataupun berita-berita yang
semakin menakutkan dan mencekam.
Buatlah
pintu-pintu baru, sebarkanlah hal yang positif untuk tidak semakin panik dan
menjatuhkan mental, kita masih bisa selalu saling membantu meski dalam jarak
sosial dalam bentuk yang paling mungkin. Semoga
Covid-19 segera berlalu.
Sabtu, 21
Maret 2020
No comments:
Post a Comment