![]() |
Perempuan. Sumber: chairish.com |
Oleh: Husein Muhammad
Jilbab
dan Hijab, adalah dua kosakata klasik yang terus diperbincangkan dan
diperdebatkan secara timbul tenggelam. Isu ini telah ditulis dalam beribu buku,
kitab kuning dan berbagai jurnal ilmiah, selama berabad-abad. Hari-hari ini ia
dibincangkan kembali di antara kaum muslimin di negeri ini dalam suasana yang
sengit dan menegangkan. Situasi caci maki dan sikap tanpa etika berhamburan.
Ini memperlihatkan bahwa kita, bangsa muslim terbesar ini semakin mundur ke
belakang.
Secara
singkat, Jilbab pada mulanya dipahami sebagai kain yang digunakan untuk
menutupi kepala perempuan dan hijab bermakna sekat/pemisah antara dua ruang.
Dalam perjalanan sejarahnya terminology tersebut mengalami proses perubahan
pemaknaan dan persepsi. Dewasa ini keduanya dipersepsi sebagai sebuah pakaian
seorang perempuan, bahkan lebih khas lagi ia adalah busana muslimah yang
memberi kesan kesalehan dan ketaatan dalam beragama. Persepsi ini secara sosial
akan membawa dampak kebalikannya. Yakni bahwa perempuan yang tidak mengenakan
Jilbab/Hijab cenderung dipandang bukan perempuan muslimah dan bukan perempuan
yang taat. Dalam bahasa yang lain dan mungkin emosional, ia adalah perempuan
yang kurang/tidak berakhlak baik. Betapa tingkat kesalehan, kebaikan budi dan
ketaatan beragama seseorang seakan-akan hanya dilihat dan diukur dari aspek
busana yang dipakainya. Pandangan ini telah menyederhanakan persoalan.
Dalam
beberapa tahun ini, di Indonesia, jilbab dan hijab sebagai busana muslimah
menjadi isu politik paling hangat dan telah memasuki ruang kebijakan negara.
Komnas Perempuan mencatat perkembangan ini dari tahun ke tahun, sejak 2008.
Dalam catatan tahunan pemantauannya atas kebijakan publik di daerah-daerah,
Komnas Perempuan menemukan puluhan kebijakan yang mengatur busana masyarakat
Indonesia, khususnya perempuan. (Lihat, Catahu Komnas Perempuan, 8 Maret
2013). Dalam analisisnya, keberadaan aturan busana muslimah ini didorong oleh
hasrat memenangkan pertarungan merebut kekuasaan politik. Jilbab/Hijab
ditangkap sebagai isu yang menarik para politisi dari semua partai politik.
Mereka menggunakan indentitas busana muslimah di atas untuk politik pencitraan
diri. Mereka berargumen bahwa pengaturan pakaian tersebut merupakan tuntutan
publik mayoritas. Masuknya isu ini ke dalam kebijakan public/negara tentu
menjadi masalah sosial yang serius, karena mengandung unsure diskriminatif
terhadap perempuan dan warga negara dan berpotensi terjadinya kriminalisasi
terhadapnya.
KEMBALI
KE ASAL MAKNA
Saya
sudah pernah menulis tema ini beberapa tahun yang lalu. Disebutkan di dalamnya
bahwa dua kata ini: Jilbab dan Hijab sesungguhnya memiliki pengertian asli
yang berbeda. Keduanya disebutkan dalam ayat suci Al-Qur’an dalam surah yang
sama, surah Al-Ahzab. Pertama, Hijab. Ia disebut dalam ayat 53:
وَإِذَا
سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَآءِ حِجَابٍ . ذَلِكُمْ اَطْهَرُ
لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
“Jika
kamu meminta sesuatu kepada mereka (para isteri Nabi saw), maka mintalah dari
balik “hijab”. Cara ini lebih mensucikan hatimu dan hati mereka”.(Q.S. al-Ahzab, [33]:53).
Hijab
dalam ayat 53 di atas menunjukkan arti penutup/tirai/sekat/pemisah/pembatas
yang ada di dalam rumah Nabi Muhammad SAW sebagai sarana untuk memisahkan ruang kaum
laki-laki dari kaum perempuan agar mereka tidak saling memandang. Pengertian
ini merujuk pada asbab nuzul, latar belakang turunnya ayat ini. Al-Thabari,
mufassir besar menyebut sejumlah latar belakang turunnya ayat ini. Antara lain:
Sebagian menyebut ia turun berkaitan dengan peristiwa di rumah Nabi Muhammad SAW. Para
sahabat berkumpul di rumah beliau dalam rangka menghadiri walimah Zainab bint
Jahsy. Mereka bercakap-cakap di sana. Nabi Muhammad SAW tampak merasa kurang nyaman manakala
memerlukan Zainab, isterinya itu. Sebagian ahli tafsir menyatakan bahwa ia
turun berkaitan dengan usulan Umar bin Khattab. Kepada Nabi Umar mengatakan:
“Wahai Nabi, mereka berkumpul di rumahmu dan menemui isteri-isterimua ada
orang-orang yang baik dan ada yang tidak baik (al-fajir). Sebaiknya engkau
memasang “hijab”. Maka turunlah ayat ini.
Para
ahli fiqh kemudian mengubah dan memperluas makna “hijab” di atas, sehingga
menjadi penutup tubuh perempuan, bukan lagi tirai pemisah ruang antara
laki-laki dan perempuan dan tidak hanya untuk para isteri Nabi saja tetapi juga
perempuan-perempuan muslimah lain. Alasannya adalah agar tidak menimbulkan
gangguan bernuansa seksual dan dalam kerangka “mensucikan hati.”
Jadi
“hijab” atau sekat, pada dasarnya dimaksudkan sebagai alat atau cara
“pencegahan” terjadinya tindakan bernuansa seksual. Pertanyaan kita adalah
apakah tujuan pencegahan dan “pensucian hati”, atau agar menjadi saleh, hanya
bisa dilakukan dengan alat dan cara ini? Ini adalah cara pandang legal-formal
dan menyederhanakan masalah serta kedangkalan berpikir. Kesucian hati atau
kesalehan, dalam banyak sekali ayat Al-Qur’an maupun hadits Nabi lebih
ditekankan dan terletak pada cara pandang, pikiran dan hati manusia: “Dan
pakaian Taqwa itulah yang terbaik?”
Selanjutnya
kita bicara tentang Jilbab. Kata ini disebutkan dalam surah yang sama,
Al-Ahzab, ayat 59:
يا
أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ
عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ
ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا (59)
“Wahai
Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mukmin ; hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya. Hal itu
agar mereka lebih mudah dikenal dan karena itu mereka tidak diganggu”.(al-Ahzab, [33]:59).
MAKNA
JILBAB
Jilbab
berasal dari kata kerja 'jalaba' yang berarti menutupkan sesuatu di atas sesuatu
yang lain sehingga tidak dapat dilihat. Para ahli tafsir dari berbagai generasi
menggambarkan pakaian jilbab dengan cara yang berbeda-beda, sesuai dengan
pengetahuan dan pengalamannya masing-masing saat itu di tempatnya. Ibnu Abbas
dan Abidah al Salmani merumuskan jilbab sebagai pakaian perempuan yang menutupi
wajah berikut seluruh tubuhnya kecuali satu mata.
Imam
Qatadah dan Ibnu Abbas dalam pendapatnya yang lain mengatakan bahwa makna
mengulurkan jilbab adalah menutupkan kain ke dahinya dan sebagian wajahnya
dengan membiarkan kedua matanya tampak. Mengutip pendapat Muhammad bin Sirin,
Ibnu Jarir mengatakan: “Saya bertanya kepada Abidah al-Salmani apakah arti
kalimat: ‘yudnina ‘alaihinna min jalabibihin’ (hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya). Maka dia menutupkan wajahnya dan kepalanya sambil menampakkan mata
kirinya”. Ibnu al Arabi dalam tafsir Ahkam Al Qur-an, menyebutkan dua pendapat,
pertama menutup kepalanya dengan kain itu (jilbab) di atas kerudungnya, kedua,
menutup wajahnya dengan kain itu sehingga tidak tampak kecuali mata
kirinya”.(III/1586).
Ibnu
Katsir mengemukakan :
والجلباب
هو : الرداء فوق الخمار . قاله ابن مسعود ، وعبيدة ، وقتادة ، والحسن البصري ، وسعيد
بن جبير ، وإبراهيم النخعي ، وعطاء الخراساني
“Jilbab
adalah kain selendang di atas kerudung (al-Rida fauqa al-khumar). Ini yang
dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, Ubaidah, Qatadah, Hasan Basri, Sa’id bin Jubair,
Ibrahim al Nakha’i, Atha al Khurasani dan lain-lain. Ia seperti/mirip “izar”
(sarung) sekarang. (Baca : Ibnu Katsir, Tafsir, juz III/518).
Al-Qurthubi,
dalam kitab tafsirnya, mengatakan: “Jalabib, kata jamak dari Jilbab. Ia adalah
kain yang lebih lebar daripada kerudung”. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan
IbnuMas’ud: “ia adalah selendang. Ada yang mengatakan ia adalah
”qina”(cadar/penutup wajah). Sebagian ulama mengatakan bahwa ia adalah kain
yang menutupi seluruh tubuhnya.” (Al-Qurthubi, Tafsir Jami’ Ahkam al-Qur’an,
vol. 14/220)
Mengapa
dan untuk apa memakai Jilbab? Ini yang substansial. Pertanyaan
penting dalam isu jilbab ini adalah mengapa perempuan perlu mengenakan jilbab? Ayat Al-Qur'an tersebut sesungguhnya telah menyebutkannya secara eksplisit, yakni:
ذلك
ادنى ان يعرفن
“hal
itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali,”
dan
dengan demikian
فلا
يؤذين
“maka
mereka tidak akan dilecehkan/ atau disakiti.”
Pertanyaan
yang kemudian muncul adalah dikenali dari apa atau sebagai siapa? Jawaban
atas pertanyaan ini dapat dikaji dari penjelasan atas latar belakang ayat ini
diturunkan. Ada
sejumlah riwayat yang disampaikan para ahli tafsir mengenai latar belakang
turunnya ayat ini. Satu di antaranya disampaikan oleh Ibnu Sa’d dalam bukunya
al-Thabaqat dari Abu Malik. Katanya: “para isteri nabi saw pada suatu malam
keluar rumah untuk memenuhi keperluannya. Pada saat itu kaum munafiq menggoda
dan mengganggu mereka. Mereka kemudian mengadukan peristiwa itu kepada nabi.
Sesudah nabi menegur mereka, kaum munafiq itu mengatakan :”kami kira mereka
perempuan-perempuan budak. Lalu turunlah ayat 59 al-Ahzab ini." (Ibnu Katsir,
Tafsir al-Qur'an al-Azhim, Juz III/518).
Ibnu
Jarir at Thabari, maha guru ahli tafsir menyimpulkan ayat ini sebagai larangan
menyerupai cara berpakaian perempuan-perempuan budak. Umar pernah memukul
seorang perempuan budak yang memakai jilbab, sambil menghardik :”apakah kamu
mau menyerupai perempuan merdeka, hai budak perempuan?” (Ibnu al Arabi, Ahkam
al Qur-an,III/1587).
Dari
informasi sabab nuzul ayat di atas sangatlah jelas bahwa jilbab diperlukan
hanya sebagai ciri pembeda antara perempuan merdeka dari perempuan budak, bukan
pembeda antara perempuan muslimah dari perempuan non muslimah. Ciri tersebut
diletakkan di atas kain kepala atau kerudungnya dan atau dengan menyelimuti
tubuhnya sebagian. Jika tidak demikian, maka pertanyaan penting kita adalah
apakah sebelum ayat jilbab diturunkan, perempuan-perempuan Arabia saat itu
telanjang kepala, tidak mengenakan penutup kepala (kerudung)? Secara
antropologis, perempuan-peremuan Arabia, Muslim maupun non Muslim, sebelum
Islam sampai hari ini mengenakan penutup kepala. Bahkan bukan hanya perempuan,
tetapi juga kaum laki-laki. Laki-laki juga memakai kerudung, yang disebut kafiyeh
atau gutrah dll. Ini adalah pakaian tradisi mereka. Pemakaian kerudung bagi
perempuan dan laki-laki Arab adalah wajar dan sangat sesuai dengan kondisi
geografis mereka yang umumnya panas dan berdebu pasir.
Paling
tidak ada dua catatan yang mungkin perlu disampaikan dari uraian di atas.
Pertama bahwa ayat Al-Qur'an yang menyebutkan kata hijab dan kata jilbab,
bicara soal pembagian/pemisahan ruang sosial laki-laki dan peremuan dan tentang
pakaian. Ini merupakan mekanisme dan etika sosial. Kedua ayat tersebut tidak
menyebutkan sama sekali kata "aurat". Kata ini disebutkan dalam surah
lain. Pembicaraan tentang batasan-batasan aurat laki-laki dan perempuan
terdapat pada tafsir surah An-Nur, 30-31. Saya kira perbincangan publik yang
selalu heboh adalah pada soal batas-batas aurat ini. Kita mungkin perlu membaca
dua ayat ini lebih dalam dan cermat.
Kedua,
jika jilbab dengan pengertian di atas dimaksudkan sebagai identitas atau ciri
seorang perempuan merdeka yang membedakannya dari seorang perempuan budak,
sementara perbudakaan sudah dihapuskan, maka apakah jilbab masih diperlukan? Ini sekedar bertanya saja. Tidak usah dijawab juga tidak apa-apa.
JILBAB
TANDA KESALEHAN?
Nah,
terlepas dari perdebatan yang demikian luas dan beragam pandangan mengenai
penafsiran atas ayat jilbab diatas, pemakaian penutup kepala dan tubuh
perempuan tersebut dimaksudkan sebagai mekanisme perlindungan terhadap
perempuan dalam tradisi dan etika sosial Arabia saat itu.
Masalahnya,
belakangan ini persepsi umum memperlihatkan bahwa berjilbab atau berhijab
menjadi ukuran perempuan yang baik-baik, salehah dan berakhlak karimah. Ini
masalah krusial. Pertanyaannya adalah apakah ada jaminan bahwa perempuan
berjilbab/berhijab/ berkerudung rapat adalah pasti seorang perempuan yang baik,
saleh dan berakhlak mulia? Demikian pula sebaliknya, apakah perempuan yang
tidak berjilbab/berhijab/berkerudung rapat pasti perempuan yang berakhlak
rendah, bukan perempuan saleh?
Realitas
sosial memperlihatkan kepada kita bahwa banyak perempuan yang tak berjilbab/berkerudung
ketat justeru lebih saleh dari perempuan yang berjilbab/berkerudung ketat.
Bahkan pada masa lalu, selama berabad-abad, di negeri ini, ibu-ibu dan para
isteri ulama besar hanya mengenakan kerudung dengan membiarkan sebagian rambut
dan leher tetap terbuka? Para suami mereka yang ulama itu tidak pula
memasalahkannya. Tetapi tidak juga menolak kenyataan bahwa banyak pula
perempuan yang berjilbab berakhlaq mulia dan salehah. Ini sesuatu yang relative
saja.
Saya
kira menarik sekali pandangan Dr. Muhammad al-Habasy, direktur Pusat Kajian
Islam Damaskus, Siria ini. Ia mengatakan : “Seorang perempuan dapat
memilih pakaiannya sendiri untuk berbagai keperluan dan keadaan. Akan tetapi ia
bertanggungjawab atas pilihannya itu di hadapan masyarakatnya dan di hadapan
Allah. Ia punya hak sosial dengan tetap menjaga kesopanan dan kehormatan
dirinya. Akan tetapi mewajibkannya untuk semua perempuan dalam segala situasi
atas nama agama, sebagaimana yang berkembang di sejumlah Negara Islam dewasa
ini adalah tidak realistis dan menyalahi petunjuk Nabi dan keluwesan dan
keluasan fiqh Islam.” (Muhammad al-Habasy, Al-Mar’ah Baina al-Syari’ah wa
al-Hayah”, Dar al-Ahbab, Damaskus, Cet. V, 2001, hlm. 67-68).
Terima
kasih telah membaca tulisan ini. Semoga bermanfaat.
Tentang penulis:
Kyai Husein Muhammad adalah pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat. Sejak kecil beliau akrab dengan lingkungan pesantren dan pernah nyantri di Pondok Pesantren Lirboyo (1973) dan PTIQ Jakarta (1980). Setelah itu beliau melanjutkan pendidikan di Al-Ahzar, Mesir dan tamat tahun 1983 dan kembali ke Indonesia. Sejak 1993 beliau melanjutkan kepemimpinan Pondok Pesantren yang didirikan kakeknya, yaitu Pondok Pesantren Dar al-Tauhid, Cirebon, Jawa Barat. Profil lengkap beliau bisa dilihat di website pribadinya: www.huseinmuhammad.net
Tentang penulis:
Kyai Husein Muhammad adalah pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat. Sejak kecil beliau akrab dengan lingkungan pesantren dan pernah nyantri di Pondok Pesantren Lirboyo (1973) dan PTIQ Jakarta (1980). Setelah itu beliau melanjutkan pendidikan di Al-Ahzar, Mesir dan tamat tahun 1983 dan kembali ke Indonesia. Sejak 1993 beliau melanjutkan kepemimpinan Pondok Pesantren yang didirikan kakeknya, yaitu Pondok Pesantren Dar al-Tauhid, Cirebon, Jawa Barat. Profil lengkap beliau bisa dilihat di website pribadinya: www.huseinmuhammad.net
Allah udah ngasih aturan yg jelas di al quran dan Al.hadits.tugas kita hanya patuh. Soal kesalihan mah urusan diri masing-masing dg Allah, ga ada manusia yg bisa mengukur. Tapi menurutku sesuai dengan di al ahzab agar mudah dikenal dan tidak dilecehkan, dimana ayat2 al quran berlaku sepanjang zaman (meskipun asal mulanya adalah pembeda dg perempuan budak), di zaman ini tentu saja tidak demikian. Jilbab sendiri menjadi pembeda apakah dia muslimah atau bukan. Kalau di kepercayaan lain ada yg memakai jilbab tentu berbeda lagi. Kalau sudah memakai jilbab yg sesuai syariah tapi masih dilecehkan maka penyebab dilecehkan tentu berasal dari yg melecehkan. Setidaknya perempuan tsb sudah menjaga dirinya. Wallahualam
ReplyDeleteFirman Allah memang jelas, tapi kan manusia yang menafsirkannya. Apakah tafsir manusia sudah sesuai dengan tujuan Allah menurunkan Firman-Nya? Lagian tulisan ini bukan tulisan saya lho, melainkan tulisan Kyai Husein Muhammad, ulama asal Cirebon. Sudah saya tuliskan nama beliau di awal artikel.
DeleteJilbab dan hijab ternyata berbeda ya. Saya baru tahu setelah membaca artikel ini.
ReplyDeleteYa, demikianlah adanya.
DeleteDuh mba, menafsirkan alquran itu perlu ilmu tafsir..
ReplyDeleteAkal itu hanya wadah, wadah untuk menampung alat, dimana alatnya ini adalah ilmu.
Contohnya nih, kita tdk bisa seenaknya meresepkan obat pada pasien yg kita pun tdk tau jelas sakit apa dia. Ini contoh dimana kita tdk bisa menggunakan akal saja tanpa ada ilmu di dalamnya.
Akal baru bisa berfungsi jika ada ilmu di dalamnya, dalam contoh di atas, akal seseorang baru bisa jalan memberikan resep obat ke pasien jika di dalam akalnya terdapat ilmu kedokteran.
Nahh, untuk hal dunia aja nih butuh ilmu yg terinstal di dalam akal.
Masa iyaaa sih untuk hal agama, akhirat, kita mengosongkan akal dari ilmu.
Untuk menafsirkan perkataan salafussoleh aja perlu ilmu mendalam, karena beberapa faktor, misal nahwu dalam bahasa Arabnya, belum lagi makna bahasa yg sering berubah.
Apalagi menafsirkan Alquran...
Jangan asal tulis mba, menggunakan akalmu yg tdk ada ilmu tafsir di dalamnya.
Ini sesat dan bisa menyesatkan orang lain.
Allahu yahdik.
Yang menulis artikel ini bukan saya lho, melainkan Kyai Husein Muhammad, seorang ulama asal Cirebon. Kan sudah saya tulis diawal artikel penulisnya siapa. Masa masih bilang ini tulisan saya.
DeletePas banget Mbak Ika. Sebelumnya aku menganggap bahwa jilbab itu wajib untuk muslimah, karena menutup aurat itu wajib. Tapi keputusan untuk berjilbab atau tidak tergantung dengan pribadi masing-masing. Dan akhlak adalah sesuatu yang berbeda dari berjilbab. Jadi berjilbab bukan berarti akhlaknya selalu lebih baik daripada yang tidak berjilbab. Ada kalanya yang tidak berjilbab memiliki akhlak yang lebih baik daripada yang berjilbab.
ReplyDeleteNah, kebetulan kemarin aku membaca artikel yang ditulis di blognya dr. Abimanyu. Beliau memiliki pendapat yang berbeda tentang jilbab dan batas aurat perempuan. Dan karena membaca artikel itu aku jadi bertanya-tanya sebenarnya jilbab itu wajib gak sih? Karena seperti yang Mbak Ika bilang juga para muslimah jaman dulu, termasuk dengan istri dari kyai banyak yang hanya menjulurkan selendang dan membiarkan sebagian rambut kelihatan. Dan tentunya para istri kyai memiliki ilmu agama yang mumpuni.
Ini bukan tulisan saya, melainkan tulisan Kyai Husein Muhammad, kyai asal Cirebon. Sudah saya cantumkan nama beliau di bagian awal artikel sebagai penulis artikel ini. Jadi, semua pendapat dalam tulisan ini ya pendapat dan hasil kajian beliau.
Deletesalam kenal mbak, saya sedang gugling mengenai perempuan dan hijab dan terdampar pada blog ini. terimakasih telah memberi tambahan ilmu melalui tulisan mbak tentang pandangan Kyai Husein Muhammad mengenai topik ini.
ReplyDeleteHalo Sita, terima kasih sudah berkunjung dan berkenan membaca blog ini. Yup, Kyai Husein Muhammad merupakan salah satu ulama Indonesia andalan saya dalam berguru. Orangnya bersahaja, ramah, cerdas, nggak pernah menghina dan merendahkan perempuan dalam berdakwah.
Delete