![]() |
Ilustrasi tentang bahaya kekerasan seksual pada perempuan. Sumber: densho.org |
Oleh: Linda Christanty
Malam itu saya hampir terlelap ketika telepon seluler saya berdering. Seorang
aktivis perempuan menelepon untuk menceritakan sebuah kasus, yaitu kasus
pemerkosaan. Korbannya, mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Jakarta.
Pelakunya orang yang berteman dengan saya. Dia menceritakan kronologinya dan
setelah itu meminta saran saya agar tim pendukung korban dapat dipertemukan
dengan atasan si pelaku. Menurut saya, tindakan pertama yang harus dilakukan
dalam kasus pemerkosaan adalah melaporkan pelaku kepada polisi, bukan kepada
atasan pelaku.
Dia sangsi polisi akan benar-benar membantu korban pemerkosaan.
Sebagaimana kita ketahui bersama, pemerkosaan adalah tindak kejahatan pidana
yang sangat mengerikan dan sangat khusus sifatnya, karena kerusakan dan
kehancuran fisik maupun psikis yang terjadi terhadap korban sebenarnya tidak
dapat diperbaiki. Korban juga harus didampingi pengacara yang memahami kasus
ini dan membantunya berjuang untuk mendapatkan keadilan. Aktivis ini
memperkirakan atasan pelaku akan membantu pelaku untuk mengalihkan isunya kepada
isu bukan pelanggaran hukum. Beberapa bulan kemudian, saya juga hampir tertidur
saat mendapat pesan singkat dari orang yang berbeda melalui telepon seluler
bahwa korban dengan didampingi pengacaranya telah melaporkan pelaku kepada
polisi.
Setelah itu sejumlah orang membentuk tim untuk mendukung korban. Saya memutuskan untuk mendukung tim itu, berpihak kepada korban, bukan kepada pelaku. Saya mengenal istri pelaku dan anak perempuan pelaku, yang berpihak kepada pelaku. Sikap mereka ini sama sekali tidak mengherankan. Berkaca dari hadits Islam yang menyatakan jihad terberat adalah melawan hawa nafsu, maka melawan diri sendiri adalah jihad yang terberat dalam praktiknya. Melawan diri sendiri dalam tataran ini bukanlah melawan diri Anda sendiri secara harafiah. Melawan diri sendiri artinya melawan orang-orang terdekat, anak, istri, suami, ayah, ibu, adik, kakak, nenek, kakek, paman, bibi, cucu, cicit, kekasih, teman sejawat, sanak keluarga, handai taulan, dan kroni Anda yang melakukan kejahatan atau perbuatan buruk. Karena itu perjuangan melawan diri sendiri amat berat. Banyak orang tidak mau dan tidak sanggup melakukannya.
Anak
perempuan pelaku turut mengeluarkan pernyataan yang melecehkan dan ditujukan
kepada korban bahwa bila kelak korban melahirkan, dia siap menerima anak itu
sebagai adiknya dan siap mengurusnya dengan penuh kasih. Dia mengesankan anak
yang akan dilahirkan itu muncul dari perbuatan serong ayahnya, bukan kejahatan
seksual ayahnya yang telah menghancurkan korban yang juga seusia dirinya. Teman
perempuan pelaku kemudian menulis artikel yang isinya membentuk opini untuk
mengaburkan makna tindak kejahatan seksual dengan tindak kesepakatan seksual.
Hal ini pun sama sekali tidak mengherankan kita. Harvey Weinstein, produser
kenamaan Hollywood, juga memiliki ‘pelindung’ perempuan yang memihak kepadanya
dan bukannya memihak perempuan yang menjadi korban. Salah seorang di antara
mereka cukup ternama, yaitu Meryl Streep, bintang film pemenang Oscar. Jeffry
Epstein (sekarang sudah pergi ke alam baka, menurut media), seorang pedofil
yang menjadi pemasok anak-anak di bawah umur untuk menjadi mangsa seksual para
pelanggannya (dan menurut pernyataan salah seorang korban yang selamat,
Pangeran Andrew dari Kerajaan Inggris Raya turut terlibat dalam praktik kejahatan
Epstein) juga memiliki ‘pelindung’ jenis ini, yaitu Ghislaine Maxwell, putri
konglomerat media Robert Maxwell.
Melalui
kesaksian-kesaksian dan bukti-bukti yang kuat dan sah secara hukum, pelaku lalu
ditetapkan sebagai tersangka dan artinya siap disidangkan. Enam tahun berlalu
dan sidang pengadilan itu tidak pernah terjadi. Terakhir kali saya membaca
berita tentang pernyataan sikap sejumlah orang, termasuk dosen dan aktivis
perempuan, yang berhasil meyakinkan sebuah festival untuk tidak mengundang pelaku.
Awal
tahun ini saya menerima pesan pendek melalui telepon seluler saya dari
seseorang yang jarang bertemu. Waktu itu juga sudah larut malam dan saya hampir
tertidur. Dia mengatakan dia adalah korban kekerasan seksual terhadap anak di
bawah umur. Pelakunya juga orang yang berteman dengan saya. Dengan demikian,
dua orang teman saya ternyata pelaku pemerkosaan dan kekerasan seksual. Karena
dia bercerita kepada saya dan meminta saran, saya menyarankan untuk melakukan
konsultasi hukum dan mencari pengacara.
Kami kemudian pergi ke LBH Apik,
lembaga bantuan hukum yang muncul di benak saya saat memikirkan ke mana harus
pergi membawa korban kekerasan seksual. Itu pula pengalaman pertama saya pergi
ke LBH Apik. Kantor lembaga ini terbilang sederhana dan sempat saya sangka
sebuah taman kanak-kanak. Seekor kucing mondar-mandir di teras kantor yang
terlihat sepi. LBH Apik tidak memiliki tenaga-tenaga psikolog atau pun psikiater
sendiri. Dari segi jumlah aktivisnya sukar dibayangkan lembaga ini mampu
menangani begitu banyak kasus yang dilaporkan. Apa jadinya kalau tidak ada LBH
Apik? Nasib para korban jauh lebih terlantar lagi.
Saya
juga bertanya kepada teman yang bekerja di Komnas Perempuan apa langkah
konkret yang dapat dilakukan untuk membantu perempuan korban kekerasan seksual
yang mencari keadilan. Ternyata teman saya memberi saran untuk pergi ke lembaga
bantuan hukum atau mencari pengacara untuk korban. Komnas Perempuan akan
mencatat kasusnya, katanya. Bagi saya, ini belum sebuah titik terang penanganan
kasus dan nasib korban. Tapi tanpa adanya pencatatan, orang-orang tidak tahu
bahwa kekerasan terhadap perempuan terus terjadi dan tidak akan ada yang
berjuang untuk mengakhirinya. LBH Apik menyarankan korban mencari psikolog
ataupun psikiater untuk mengikis traumanya yang luar biasa.
Di
bulan-bulan lalu saya pergi ke Ternate dan mendengar dari aktivis perempuan di
sana bahwa ada kasus pembunuhan yang diawali dengan pemerkosaan di rute yang
berkali-kali saya tempuh pulang-pergi dengan menumpang kendaraan umum di Halmahera.
Rute itu berhutan di kanan kiri. Jarak antar kampung cukup jauh. Pelaku
kejahatan itu, seorang residivis yang selepas dari penjara bekerja sebagai
pengemudi angkutan umum, berhasil ditangkap. Bukti-bukti yang kuat dan sah
menjeratnya sebagai tersangka. Dia disidangkan di Tidore dan mengakui
perbuatannya dalam persidangan. Korbannya, perempuan usia 20-an yang hendak
naik kapal cepat dari Sofifi ke Ternate untuk kuliah di Universitas Khairun.
Dia dibawa pelaku ke suatu tempat sebelum Sofifi dan diperkosa. Setelah itu,
dibunuh. Pelaku ingin menghilangkan jejak.
Jaksa
menuntut pelaku dihukum seumur hidup, tapi majelis hakim memutuskan pelaku
diganjar hukuman maksimal dalam hukum pidana Indonesia untuk tindak kejahatan
pembunuhan terencana yang diawali pemerkosaan: hukuman mati. Ketua majelis
hakim adalah juga ketua Pengadilan Negeri Tidore, seorang perempuan. Sejumlah
orang kurang bersenang hati, karena mereka mendeklarasikan diri menentang
hukuman mati terhadap pelaku.
Bagi
saya, hakim telah melakukan penghukuman maksimal yang tersedia dan sah dalam
hukum Indonesia terhadap kejahatan yang luar biasa keji itu dan dengan
demikian, hakim sama sekali tidak melanggar hukum dalam menjatuhkan hukuman
mati. Setuju atau tidak setuju terhadap hukuman mati dalam perkara ini, kita
bisa memperdebatkan tentang alasan-alasan yang melandasinya, yang kelak mungkin
dapat berguna untuk menghasilkan produk penghukuman yang lebih mutakhir dan
memiliki efek jera terhadap para pelaku kejahatan dan yang paling bersesuaian
dengan prinsip keadilan.
Jakarta, 19 Desember 2019
No comments:
Post a Comment