
“Everything in the world is about sex except sex.
Sex is about power.” -Oscar Wilde-
Oleh: Arman Dhani
(Judul asli: "Kebiri")
(Judul asli: "Kebiri")
Jika seks adalah tentang penetrasi penis ke dalam
vagina untuk mendapat orgasme, maka mungkin kebiri adalah hukuman yang paling
efektif membuat pelakunya jera. Tapi seringkali, perkosaan bukan soal penetrasi
penis atau orgasme. Perkosaan dalam banyak kasus adalah perkara relasi kuasa.
Seperti kata Oscar Wilde “Everything in the world is about sex except
sex. Sex is about power."
Pada 1975 ada buku berjudul "Against Our
Will: Men, Women and Rape" yang disusun oleh Susan Brownmiller.
Brownmiller berargumen bawah perkosaan atau rape adalah "a conscious
process of intimidation by which all men keep all women in a state of
fear." Argumen ini kemudian berkembang dan menjungkir balikkan definisi
perkosaan. Jika dahulu perkosaan dianggap karena murni alasan seks, ingin
penetrasi penis ke vagina, penis ke anus, atau sebaliknya, maka ini menjadi
sama sekali berbeda.
Perkosaan adalah perkara relasi kuasa. Bahwa seseorang
ingin mendominasi yang lain, dengan membuat mereka ditundukkan, seks paksa
adalah salah satunya. Misalnya kamu lelaki jelek dengan penis mikro, suka sama
perempuan cantik, cerdas dan mandiri. kamu ditolak lalu kemudian memerkosa
untuk tujuan membuktikan bahwa kamu lebih kuat, superior dan sejenisnya. Perkosaan juga digunakan untuk membuat si korban jadi malu dan hina.
Audre Lorde dalam "Uses of the Erotic: The
Erotic as Power" dengan baik menuliskan bagaimana seorang
perempuan (juga feminis) memandang erotisme dan seks. Perempuan dipaksa untuk
menekan libido dan ekspresi seksualnya, sementara si lelaki tidak. Karena jika
perempuan mengekspresikan ekspresi seksualnya, ia berpotensi direndahkan
sebagai jalang, cabul, dan sejenisnya. Tapi kenapa harus demikian?
Kalau perkosaan soal ingin orgasme maka kamu tidak akan
menemukan pacul di dalam vagina korban perkosaan, atau benda-benda tumpul lain
yang digunakan untuk merusak alat kelamin korban. Penetrasi kelamin adalah
simbol di mana perempuan dianggap hina, tunduk, dan kalah. Ia tidak harus
dengan penis pelaku, ia bisa dengan apa saja.
Bayangkan, jika horni dan
penis berfungsi saja bisa memerkosa dengan kejam. Jika dikebiri, tidak
bisa ngaceng, kegilaan apa yang bisa dilakukan? Wayne Eugene
DuMond, seorang pemerkosa kambuhan dari Arkansas, telah di kebiri (bukan dengan
kimia tapi memotong testikel) tapi tetap mampu memerkosa dengan
kejam.
Wayne Eugene DuMond dikebiri dengan menghilangkan testikelnya. Tapi
toh ia tetap melakukan tidak sekali tapi dua kali perkosaan usai dikebiri.
DuMond, yang tak punya testikel itu, bisa memerkosa dan membunuh Carol Sue
Shields dan Sara Andrasek.
Dalam riset yang dilakukan pada 1960an, dari 1.000
pelaku kejahatan seksual di Jerman. 65 persen pelaku merasa libido dan
keinginan mereka untuk melakukan seks turun, tapi 18 persen di antaranya masih
tetap merasakan libido itu meski tidak bisa ereksi. Dari data yang sedikit itu,
18 persen, masih ada kemungkinan dari mereka yang tetap melakukan kejahatan
seksual. Perkembangan hukuman dari kebiri dengan memotong testikel bisa
diganti dengan kebiri kimia. Hukum ini bukannya asing. Setidaknya Argentina,
Australia, Estonia, Israel, Moldova, New Zealand, Poland dan Russia
memberlakukan kebiri kimia dalam hukuman mereka terhadap penjahat seksual.
Setidaknya sembilan negara bagian di Amerika yang memberlakukan hukuman serupa.
Kebiri kimia memang jauh lebih manusiawi daripada
kebiri operasi yang tak memungkinkan pelakunya punya fungsi kelamin normal.
Tapi bagi mereka yang mendukung, ini adalah hukuman yang sepadan bagi penjahat
seksual. Perkosaan, terlebih kepada anak-anak, adalah kejahatan luar biasa,
maka pelakunya perlu dihukum berat. Kalau perlu mati. Para pegiat HAM menolak pemberlakuan hukuman Kebiri,
bukan karena mereka menolak pelaku perkosaan dihukum. Ada perbedaan antara
menolak perilaku tidak manusiawi terhadap penjahat seksual, dengan mencari
alternatif hukuman. Hanya karena anda tidak percaya dengan hak asasi manusia,
bukan berarti anda tidak berhak mendapatkan perlindungan dan memperoleh hak
dasar itu bukan?
Hukuman kebiri mengurangi secara drastis libido, tapi
tidak menghilangkan sama sekali. Dalam buku "Das sogenannte Böse
zur Naturgeschichte der Aggression (On Aggression)" Konrad Lorenz
menyebut bahwa manusia, secara partikular laki-laki, memang terlahir untuk
bertikai dalam menguasai sumber daya. Dalam hal ini perempuan sebagai objek
pemuas seksual dan penerus keturunan. Argumen Lorenz digunakan oleh Donald Symons dalam "The
Evolution of Human Sexuality" untuk menunjukkan bahwa perkosaan
adalah satu bentuk dominasi maskulin. Symons menunjukkan pada banyak kasus
perkosaan, korban biasanya perempuan muda, cantik, dan berasal dari kelas
mapan. Sedangkan pelakunya bisa dari kelas yang lebih lemah. Menariknya Symons
menolak argumen Brownmiller bahwa seks adalah persoalan kuasa, ia beranggapan
seks adalah soal seks itu sendiri.
Padahal temuannya menunjukan bahwa perkosaan digunakan
untuk penaklukan daripada pemuas libido. Korban yang lebih muda dipilih karena
pelaku lebih kuat dan secara kuasa lebih dominan. Seringkali penetrasi penis
dilakukan setelah korban dibuat benar-benar tak berdaya dan dibuat hina, baik
dengan kata-kata maupun dengan serangan fisik. Jika demikian apakah kebiri
masih relevan?
Jika pelakunya dikebiri, ia hanya menyelesaikan satu
persoalan, tapi tidak menyelesaikan keseluruhan persoalan. Di sini persoalan
HAM bukan sedang membela pelaku perkosaan dan membenarkan pelakunya. Namun
mengajak publik untuk melihat lebih jauh, apa penyebab perkosaan? Mengapa
perkosaan terjadi? Dan bagaimana menyusun hukuman yang manusiawi tapi tidak
menciderai rasa keadilan.
Mengkebiri atau menghukum mati jelas memberikan rasa
puas, memberikan rasa lega. Tapi apakah memberikan keadilan?
Jakarta, 31 Agustus 2019
Jakarta, 31 Agustus 2019
No comments:
Post a Comment