Menunggumu di Taman Malini, Lampung. Foto: Rinto Macho |
Malam menjelang puncak dan aku gelisah oleh kelembapan
udara yang menganggu. Kemarau memang menghidangkan langit biru pada siang.
Tetapi, sekaligus memanggang tubuh ini ke dalam tungku kesabaran tiada batas.
Lantas, disela gundah gulana yang tak usai, juga sesekali mimpi buruk yang
mengganggu tidur, aku ingat sesuatu.
Puisi. Ya, rasanya sudah lama sekali aku tidak menulis puisi. Puisi terakhir
yang kutulis sekitar penghujung 2016, saat aku sedang mabuk kepayang kepada
seorang lelaki bermata lembut. Dengan malu-malu kubacakan satu puisi singkat
untuknya di malam pembukaan pameran lukisan, dimana 9 buah lukisanku dipamerkan
bersama lukisan teman-temanku.
"Selamat untuk pembacaan puisinya," katanya,
dengan intonasi suara yang sangat kusukai. Ingin kupeluk dia saat itu
juga, sebuah pelukan yang hangat dan kuat ditengah keramaian pameran, saat kulihat dia berdiri diantara
orang-orang. Tetapi, tentu saja tak kulakukan. Rasa malu mengikat langkahku
untuk menunjukkan sosoknya di kerumunan teman-temanku yang tengah asyik
mengikuti lagu yang dibawakan temanku Michelle.
Lalu kami berjalan berdua dibawah langit malam Jakarta, meninggalkan lokasi pameran. Malam itu aku bahagia sekali. Belum pernah kurasakan bahagia yang tak mampu kugambarkan dengan kata-kata ketika bersamanya. Aku begitu mencintai dan menyayanginya.
Puisi itu berjudul: Firdaus Rahasia.
Ya, tentu saja puisi tentang aku dan dia, sebelum dengan kejam dia melukai hatiku
Di Firdaus Rahasia:
Jika hujan membuat bunga-bunga di hatimu merekah,
dan kau masih ingin mendefinisikan mawar sebagai merah,
kuning atau seputih kapas;
Datanglah padaku, sesaat setelah hujan reda.
Kita akan bersaksi atas warna yang lahir dari pekat
dan senyum yang terbit dari gelap;
Mungkin, walau sejenak saja,
kau akan menghargai bahagia
dan memeluknya dalam mimpimu selama-lamanya
Semoga cinta itu masih ada, untukku, yang setia menunggu.
Depok, 18 Oktober 2018
No comments:
Post a Comment