![]() |
Rumah tua yang telah dirawat selama 7 generasi. Foto: Rinto Macho |
Sebagai orang Sunda-Jawa kelahiran Lampung (Pujakesuma) yang
tumbuh di lingkungan sesuku alias homogen, aku nggak paham apalagi tertarik
mempelajari budaya Lampung. Saat sekolah dulu memang ada pelajaran Muatan
Lokal: Bahasa Lampung. Selain belajar membaca dan menulis dalam Had
Lampung (Ka Ga Nga...), juga belajar membuat sulaman Tapis
yaitu kain tenun khas Lampung yang diperindah dengan sulaman aneka motif dari
benang emas atau benang perak. Aku paling suka membuat dompet. Tapi itu dulu,
saat aku masih SMP. Setelah itu sungguh aku lupa.
Bersama waktu yang berlalu maka pengalamanku bertambah, pola pikirku berubah
dan lingkaran pertemananku semakin luas. Nampaknya, dengan daya dukung latar
pendidikan, pengalaman, pertemanan, pekerjaan, hobi, dan mimpi-mimpi, semesta
lantas menarik tanganku dan keseluruhan diriku untuk melihat hal-hal luar biasa
dari tanah kelahiranku sendiri. Lampung, tanah berjuluk Sang Bumi Ruwa Jurai.
Ada
magnet yang menarikku untuk melihat sebuah potensi yang dapat menjadi
kesempatanku mewujudkan mimpi-mimpi, menjadi bagian dari pembangunan Lampung
dan Sumatera. Manis banget kan idealismeku hehehe...
Jadi,
setelah mengulur waktu untuk menjajal kesempatan baru di Lampung, akhirnya aku
tergoda juga. April 2017 adalah pertama kalinya aku mengunjungi Kampung Wisata
Lestari Gedung Batin, di kecamatan Blambangan Umpu, Kabupaten Way Kanan,
Lampung. Saat itu ada sebuah even lokal pembukaan atraksi wisata "Bamboo
Rafting" dari kampung Banjarmasin ke desa Banjarsari.
Bersama Bupati Way Kanan, para blogger dari Batam, Banten dan Jakarta, komunitas wisata Way Kanan, photografer dan Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata Way Kanan di depan sebuah rumah khas Lampung yang berusia nyaris 300 tahun. Foto oleh: Rinto Macho
|
Kegiatan
itu sendiri adalah satu dari rangkaian kegiatan Festival Radin Djambat ke-17
untuk memeriahkan HUT Way Kanan ke 19 tahun. Dalam kegiatan ini aku bahkan
bertemu, makan bareng, diskusi bareng dan photo bareng dengan Bupati Way Kanan,
Bapak Raden Adipati Surya yang ternyata merupakan anak kandung Gedung Batin.
Kira-kira begini kesimpulan diskusi kami dengan Bapak dari dua anak ini:
"Way Kanan itu kabupaten yang kaya potensi baik sumber daya alam, sumber daya manusia hingga warisan budaya. Saya yakin semua itu dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan sektor pariwisata. Saya ingin semua pihak terlibat secara aktif dalam mengembangkan pariwisata Way Kanan. Gedung Batin ini kampung saya. Maka saya berharap kampung ini akan menjadi yang terdepan dalam pembangunan sektor pariwisata. Kami dari Pemda sudah coba fasilitasi perbaikan jalan, listrik dan sebagainya. Sekarang saya minta masyarakat mau berpartisipasi dengan baik."
Hal yang tentu saja menarik
perhatianku di kampung ini adalah rumah-rumah tua berusia ratusan tahun dengan
segala isinya seperti guci, tempayan, lemari, peralatan makan, batu pepadun
(tempat duduk Raja), meriam, alat musik, hiasan dinding, engsel pintu dan
banyak lagi. Rumah-rumah tersebut serupai museum hidup yang memanggil-manggil
meminta keseluruhan dirinya dipandangi, disentuh, dipertanyakan dan mungkin
diceritakan ulang.
Rumah keluarga Ibu Devi, Kepala Kampung Gedung Batin. Terdapat banyak sekali peninggalan sejarah di rumah ini yang membuat aku terpana, kagum, penasaran dan perasaan lain campur aduk. Foto: Rinto Macho
|
Pengalaman singgah di
kampung eksotik ini bertambah seru ketika aku berksempatan menginap di rumah
keluarga pak Rajamin yang nyaris berusia 300 tahun dan menikmati menu Lampung
dengan sambal 'Seruit' dan 'pijok-pijok'nya yang terkenal di rumah ibu Devi,
sang Kepala Kampung. Saat menginap di rumah tua itu, aku mendapat banyak
informasi tentang kondisi rumah, bahkan benda-benda warisan pemilik rumah
sebelumnya yang tidak diketahui berfungsi sebagai apa, dibuat tahun berapa dan
bagaimana cara menggunakannya.
Setelah kenyak makan siang dengan menu 'Pijok-pijok', kami berdiskusi santai dengan Bapak Bupati Way Kanan tentang potensi pengembangan pariwisata di Way Kanan. Foto oleh: Rinto Macho |
Juga tentang arsitektur rumah yang unik karena teknik penempatan batang-batang kayunya baru pertama kali kulihat (cupu dan kudet banget ya aku hehehe). Misalnya ada kayu di bagian tertentu yang dibiarkan tetap bulat seperti bentuk aslinya dan diameternya besar sekali sampai susah dipeluk, sementara di bagian lain dibuat berbentuk persegi delapan dan persegi empat (seperti ukuran balok pada umumnya).
Rumah keluarga Pak Rajamin yang dibangun pada tahun 1741. Sebagian besar materi pembuat rumah ini masih bagus dan tahan rayap. Hanya di beberapa bagian saja yang sudah diganti dengan papan dari kayu-kayu zaman modern. Foto oleh: Yopie Pankey.
|
Rumah-rumah
berbentuk panggung tersebut konon dibangun untuk menghindarkan penghuninya dari
serangan binatang buas seperti harimau, macan, beruang dan lainnya. Maklum lah,
dulu saat kondisinya masih berupa hutan belantara atau desa-desa kecil di
pinggir sungai yang dikelilingi hutan, binatang buas ada di mana-mana, siap
menerkam jika lapar dan menjahili kalau penasaran dengan kehidupan manusia,
atau dengan alasan lain yang tidak dipahami manusia.
Bagian atas rumah
digunakan sebagai tempat tinggal, sementara bagian bawah untuk menyimpan
berbagai barang seperti kayu bakar, hasil panen dan sebagainya. Nah, zaman
sekarang fungsinya malah bertambah, yaitu sebagai garasi kendaraan bermotor.
Dan berpengalaman menginap di rumah ini serta berinteraksi dengan anggota
keluarganya merupakan pengalaman berharga.
BACA
JUG: Ngopi Pagi di Rumah Berusia 300 tahun
"Fotoin kami dong," ujarku kepada mba Dian Radiata saat kami ngopi pagi di beranda rumah Pak Rajamin. Bukan karena rasa kopinya yang uenaakkkkk level dewa, tapi karena suasana pagi di rumah eksotis inilah yang membuatku merasa sangat bahagia. Soal kopi, ternyata Way Kanan memiliki varietas kopi sendiri yang disebut 'Kopi Way Kanan'.
Perbedaannya
dari kopi-kopi lain di Lampung adalah bentuk buahnya yang sangat kecil. Hanya
saja karena kurang terkenal, maka kopi jenis ini kurang dikembangkan dan hanya
dinikmati warga lokal saja. Harta karun banget nih kalau kopi Way Kanan bisa
menjadi salah satu komoditas unggulan Gedung Batin. Bisa heboh banget kan dunia
perkopian internasional!
Suasana saat ngopi pagi di beranda rumah Pak Rajamin. Foto oleh: Dian Radiata.
|
Hal lain
yang sangat menarik perhatianku adalah situs makam kuno. Jadi, oleh bang Rinto
Macho dan warga kami diajak berkunjung ke sebuah makam super kuno yang hanya
menyisakan satu nisan yang masih utuh. Nisan itu berbentuk sangat tidak biasa
untuk zaman sekarang dan terdapat tulisan huruf Arab terbaca "Fatimah" serta tulisan
angka latin "1305".
Nah siapakah sosok 'Fatimah' yang bersemayam disana,
darimana negeri asalnya dan apa yang dia lakukan semasa hidupnya? Mengapa hanya
nisan makam Fatimah yang tegar menantang zaman? Lalu bagaimana dengan makam
yang lain?
Travel blogger asal Batam, Dian Radiata mengabadikan nisan 'Fatimah'. Foto oleh" Rinto Macho
|
Lalu, aku juga tertarik pada
pecahan-pecahan keramik yang kutemukan di permukaan tanah saat menuju kuburan
'Fatimah'. Dari beberapa yang berhasil kukumpulkan, terdapat pecahan yang
memuat tulisan dengan huruf Sansakerta dan latin berbahasa Inggris. Apakah
mungkin mereka berasal dari Eropa dan India? Bagaimana mereka sampai di kampung
ini pada masa lampau? Apakah benda-benda tersebut merupakan barang dagangan,
atau hadiah dari pedagang asing kepada tokoh adat Gedung Batin? Benarkah mereka
dibawa ke Gedung Batin menyusuri Way Besay dengan menggunakan rakit
bambu?
Sebab sepanjang aku berkunjung ke kampung ini, belum ada informasi yang jelas tentang masa lampau Gedung Batin selain sebagai bandar perniagaan yang menggunakan sungai sebagai jalur transportasi, dengan rakit bambu sebagai kendaraannya. Nampaknya ramai sekali waktu itu. Dan menurutku sih misterius sekali masa lalu kampung ini. Kan, aku jadi semakin penasaran...
Soal sejarah kampung, cerita
yang kuperoleh masih simpang siur sebab tak ada warga desa bahkan kepala desa
yang memiliki catatan tertulis tentang sejarah kampung mereka (kira-kira apakah
Belanda memilikinya?). Semua orang yang berdiskusi dengan kami hanya memberikan
keterangan dengan mengandalkan ingatan, berbasis cerita yang diturunkan dari
kekek buyut serta ayah dan ibu mereka, yang bisa bertambah atau berkurang
sehingga agak sulit dianggap sebagai kebenaran.
Mengabadikan kebahagiaan selama di Gedung Batin. Fhoto oleh: Rinto Macho |
Bahkan, benda-benda warisan yang dipajang di banyak rumah, yang memang tidak
digunakan lagi pada zaman sekarang pun tidak memiliki keterangan apapun. Sulit
bagiku untuk mencerna fakta lapangan tanpa catatan tertulis. Dan inilah
tantangan terbesar warga Gedung Batin yang harus segera dituntaskan.
Dalam
pandanganku, masih
terdapat banyak hal yang perlu diperbaiki oleh warga kampung Gedung Batin jika
memang hendak menjadikan kampung mereka sebagai destinasi wisata level nasional
berbasis lingkungan, pendidikan dan budaya.
Terdapat berbagai prasyarat yang harus dipenuhi seperti
kapasitas warga kampung sebagai pengelola destinasi, menjaga dinamika kehidupan
kampung agar tidak kebablasan menikmati pemasukan dari sektor pariwisata tapi
melupakan esensi kehidupan 'rasa lokal' mengapa kampung ini layak disebut
Kampung Wisata Lestari, hingga bagaimana menjaga semangat agar keotentikan
kampung tua tetap terjaga termasuk kondisi ekosistem Way Besay yang alami.
Bercengkerama dengan Way Besay. Foto oleh: Rinto Macho
|
Way Besay adalah sumber makanan. Ada banyak jenis ikan yang hidup di sungai ini. Yang paling terkenal adalah ikan Tapah yang bahkan beratnya bisa mencapai 160 kg. Foto oleh: Rinto Macho
|
![]() |
Varian bunga kenanga yang tumbuh subur di ekosistem Way Besay. Fhoto oleh: Rinto Macho. |
Hm, sebenarnya aku masih ingin bercerita. Namun, tanpa data yang akurat mengenai sejarah dan perkembangan Gedung Batin dari warga kampung, ya riskan juga menuliskannya disini karena bisa memberikan informasi yang salah kepada pembaca. Jadi, sementara sekian dulu tulisan sederhanaku tentang Gedung Batin sebagai 'Harta Karun' kabupaten Way Kanan yang harus mendapat perhatian jika memang akan dikembangkan sebagai destinasi wisata dengan tujuan tertentu. Lain kali kusambung lagi dalam tulisan lain yang mudah-mudahan lebih informatif.
Semoga bermanfaat...
Lampung, November 2017
Aku beneran jatuh cinta ama Gedung Batin. Pengen rasanya bisa tinggal lebih lama di sana. Mempelajari sejarahnya, merasakan kehidupan sehari-hari masyarakatnya..
ReplyDeleteMakasih sudah mampir mba Dian. Iya nih ingin ke Gedung Batin lagi, kemping di pinggir sungai untuk menikmati bintang-bintang di langit
DeleteRumah panggungnya masih kok banget. Pengen merasakan lantainya deh... Bunyi kriet2 gak
ReplyDeleteBtw...jasi fatimah itu siapa??
Makasih sudah mampir Artha. Masih ada 10 rumah panggung, yang tertua berusia nyaris 400 tahun. Ada sensasi tersendiri deh menginap di sana. Nah, itu dia nggak ada yang tahu 'Fatimah' itu siapa dan harus dicari tahu...
DeleteSebetulnya saya kurang suka dengan nuansa rumah kayu. Saya memang kurang suka gelap. Tapi, yang suka dari rumah kayu adalah rasa adem. Udah enak banget deh berkumpul d rumah dengan nuansa kayu
ReplyDeleteHai Jalan-Jalan Kenai, terima kasih sudah mampir. Btw, rumah panggung Lampung tipe yang hangat kok, apalagi pas musim hujan. Beda memang dengan rumah kayu di Jawa. Untuk merasakan sensasinya, yuk main ke Lampung.
Deletepaling suka lihat rumah adat setempat punya filosofinya sendiri
ReplyDeleteHai Mbak Tira, terima kasih sudah mampir. Iya, betul sekali. Membuat kita senang bahwa manusia hidup tidak hanya sekedar hidup, melainkan berkreasi demi kenyamamanan spesiesnya
DeleteRumah panggungnya, ngingetin ama rumah nenek di Kampungku sibolga :). Dulu itu, mereka bangun rumahnya pake kayu yg bener2 kuat, anti rayap pasti yaaa.. Sampe bisa bertahan 300 thn. Aku suka rumah2 model kayu gini krn sejuk.rumah nenekku begitu, pdhl ga pake AC. Bikin betah jadinya
ReplyDeleteHai Mbak Fanni, terima kasih sudah mampir. Iya, rumah kayu yang berusia ratusan tahun itu dibuat dengan menggunakan kayu kualitas terbaik zaman itu, dan menggunakan teknik tertentu yang sangat rumit tapi artistik. Seperti, tahan terhadap gempa dan rayap
DeleteAKu jadi kepo sama kopi Way Kanannya- Wah seru, ya bisa nginep di rumah-rumah antik bersejarah gini. Btw aku baru tau nih dirimu ternyata berdarah sunda-jawa lahir di Lampung :)
ReplyDeleteHai Mbak Efi, terima kasih sudah mampir. Hayuk atuh main ke Way Kanan biar langsung cussss ke kebun dan metik kopi untuk bisa merasakan sendiri sensasinya menikmati Kopi Way Kanan.
Deleteaku suka banget lihat rumah adat apalagi kalau ada filosofinya
ReplyDeleteHayuk lah main ke Lampung
Delete