![]() |
Tugu Siger, Lampung |
Hujan sejak semalam. Hujan yang syahdu
sekaligus sedih, begitu mengiris hati. Tak henti kupandangi ia dari jendela,
seakan-akan disana aku melihat diriku tengah menari-nari mengikuti irama air.
Hujan ini adalah yang kesekian sejak aku tiba di Bandar Lampung pada 29 Mei
lalu, yang selalu berhasil mengingatkanku pada puisi "Hujan Bulan
Juni" karya seniman legendaris Sapardi Djoko Damono. Juga ilusi
tentang kenikmatan aroma yang mengepul indah dari secangkir kopi hitam, yang
memabukkan dan menentramkan, yang memelukku seperti pelukan ibu yang telah lama
lenyap dari ingatan.
Dulu, aku adalah milik kota ini. Kota yang
segala sesuatu didalamnya mengajariku tentang hidup, tentang bagaimana menjadi
perempuan tegar, berani, dan punya mimpi. Perempuan yang tidak boleh kalah oleh
kecemasan yang berkecamuk hebat dalam dirinya sendiri. Kota yang memberiku
kesempatan bertemu orang-orang berbudi mulia dan menjadi guru bagiku yang
jasa-jasanya tak lekang oleh waktu. Yang kepada mereka aku berhutang selamanya.
Kembali ke kota ini adalah tercebur ke dalam lautan rasa asing yang menganggu dan membingungkan. Banyak hal berubah dan aku tak berhasil mengenalinya, sampai-sampai rasanya aku ingin menangis saat berusaha mengenali kenangan-kenangan yang berkelebat di kepalaku. Aku mencoba melihat diriku yang wara-wiri di kota ini sebagai pelajar yang pertama kalinya tinggal jauh dari keluarga dan menantang diri sendiri untuk memperjuangkan masa depan cerah. Kota yang bahkan berhasil membuatku sekarat dan aku berfikir akan mati muda, saat itu juga.
Aku ingin kembali menjadi milik kota ini, meski rasanya aku melihat ketidak mungkinan, yang entah apa. Dan hujan hari ini membuatku ingin segera pergi lagi, entah kemana, kepada mimpi.
Bandar Lampung, 17 Juni 2016
Selamat berjuang di kota lain, bandar lampung selalu siap menerima siapaun yang kembali 😊
ReplyDelete