![]() |
Terpasung |
"jika engkau ingin mengetahui siapa yang berdosa dan kurang ilmu di dunia ini, engkaulah satu-satunya. Semua manusia di bumi ini selain dirimu adalah lebih baik dari engkau.
- Gobind Vashdev-
Sebelum memutuskan untuk membuat dua tulisan tentang kekerasan seksual, aku sudah membaca kasus Sandhra Waworuntu yang menjadi korban perdagangan orang untuk industri seks di Amerika Serikat (baca DISINI, DISINI, dan DISINI). Keinginan mulianya untuk mendapatkan pekerjaan lebih baik di industri perhotelan berujung nestapa. Ia malah menjadi korban penjualan orang untuk industri seks, dimana ia dan banyak perempuan lain dari berbagai negara jadi budak seks.
Ia tak saja dipaksa menjadi mesin seks, juga mengkonsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang. Setelah ia mampu membebaskan diri serta membebaskan para korban lain, dan membuat para pelaku ditangkap, deritanya belumlah selesai.
Sebagaimana para korban perdagangan orang, semua dokumennya telah disita
sindikat saat ia tiba di Amerika. Ia tak memiliki satupun dokumen untuk
menunjukkan siapa dirinya sehingga ia ditolak oleh konsulat RI yang
memberlakukan hukum yang kaku. Penolakan itu membuatnya hidup menumpang dari
satu penampungan ke penampungan lain. Atau dari satu keluarga Indonesia ke
keluarga yang lain.
Namun masalah utamanya bukan itu. Bukan ketiadaan dokumen,
uang dan pekerjaan. Tapi stigma yang dilekatkan padanya. Ia dipandang rendah
dan hina, bukan sebagai korban perbudakan seks melainkan sebagai pelacur.
Bahkan ketika ia beribadah di Gereja, dia dianggap sebagai pendosa yang dosanya
sangat memalukan dihadapan Tuhan. Ia serupa jatuh tertimpa tangga pula.
![]() |
Perempuan terpenjara |
Sebagian besar masyarakat Indonesia, bahkan
dunia masih belum berubah sudut pandangnya tentang korban kekerasan seksual.
Yang dialami Sandhra juga dialami korban lain, dimana korban kekerasan seksual
juga menjadi korban stigma atau victim blaming oleh keluarga
dan masyarakat. Tetapi hal demikian nyaris tak pernah disematkan kepada pelaku.
Buktikan saja dengan kasus-kasus yang pernah terjadi dan razia-razia tempat
prostitusi. Stigma selalu dilekatkan kepada perempuan.
Apapun alasannya,
pokoknya perempuan selalu salah. Dan laki-laki sebagai pelaku selalu mendapat
angin segar untuk melakukan dosa yang sama karena tak akan ada yang menstigma
mereka sebagai pendosa. Laki-laki punya uang, kekuasaan dan hukum untuk
mendukung mereka melakukan kekejaman yang sama dengan menindas perempuan secara
seksual. Bahkan dimata hukum.
Industri seks atau prostitusi mungkin tidak
akan mati selagi belum kiamat. Bahkan saat ini industri ini merupakan industri
yang mendatangkan profit terbesar kedua setelah industri obat-obatan terlarang.
Ada banyak yang terlibat dalam industri ini, termasuk tukang sapu, tukang cuci
baju, sampai tukang cuci piring. Bahkan jika perbudakan itu terjadi
di hotel-hotel, sangat tidak mungkin jika para pekerja hotel tidak tahu apa
yang sedang terjadi. Tapi, sebagaimana dituturkan Sandhra, daripada berusaha
membuat bangkrut industri ini, lebih banyak yang bergantung padanya demi sesuap
nasi.
Sandhra bertanya satu hal: mengapa mereka tak melapor pada pihak
berwajib tentang perbudakan seks di tempat mereka bekerja? Atau justru mereka
menikmati keuntungan diatas penderitaan pada budak seks? Jika demikian adanya
mengapa korban yang selalu disalahkan dan mendapat stigma negatif seumur hidup
mereka? Mengapa yang lain tidak? Mengapa dosa sebuah sindikat dilekatkan pada
korban seorang?
Banyaknya peristiwa kekerasan seksual
belakangan ini bisa jadi karena kita sama sekali tak memiliki kepedulian untuk
memberantasnya. Atau malah menikmati keuntungan finansial dari industri
tersebut sembari menyatakan bahwa mereka kotor sedang kita suci. Kita membangun
tembok tebal tapi bolong-bolong untuk sengaja memisahkan diri dari kelompok
pendosa. Kita menolak para korban pemerkosaan atau budak seks di industri
pelacuran, tapi menikmati uang hasil mereka bekerja ketika mereka membeli
produk-produk yang kita jual.
Itulah yang terjadi saat terjadi penggusuran
tempat-tempat prostitusi. Ada banyak perut yang bakal kelaparan dan dapur yang
kehilangan asap saat para budak seks mendapatkan kemerdekaannya dan menjadi
mandiri. Ada banyak yang tidak ikhlas jika industri perbudakan seks berhenti
dan semua orang menjadi baik.
Dalam sebuah buku
berjudul "Jakarta Uncovered" karya aktivis Nori Andriyani
yang tebrit pada 2010 dijelaskan secara gamblang bahwa industri seks (trafficking)
merupakan industri yang tersistem dan selalu dijaga pada trafficker/sindikat
agar permintaan selalu naik. Buku ini ditulis sebagai tandingan dari buku "Jakarta
Undervover" karya Moamar Emka yang cenderung menggambarkan industri
seks di Jakarta dibentuk oleh penawaran yang dilakukan perempuan/korban trafficking.
Nori membongkar fakta mengapa para lelaki mau mengeluarkan uangnya demi membeli
layanan seks. Dan dalam hal ini perempuan sebagai korban menjadi pihak yang
dirugikan dan mendapat stigma sebagai pelacur, sementara laki-laki sebagai penyedia
dan pemakai tak pernah digugat baik oleh hukum maupun oleh konsensus sosial.
Aku akan membuat tulisan khusus tentang buku ini.
Kambali pada kisah Sandhra, setelah mengalami
stigmatisasi selama bertahun-tahun oleh saudara sebangsanya sendiri dan dibuang
oleh perwakilan bangsanya. Ia memutuskan menerima tawaran sebagai warga negara
Amerika. Di negara itu ia memulai hidup barunya bersama keluarganya. Ia juga
mendirikan sebuah lembaga bernama "MENTARI" sebagai
lembaga yang membantu para korban perdagangan orang dan kekerasan seksual untuk
bangkit dan menjalani kehidupan normal bersama beberapa kenalannya.
Sebagai korban budak seks, Sandhra mengalami gangguan sulit tidur, depresi,
ketakutan pada suara dering telepon, mati rasa pada kulitnya, sakit kepala
berlebihan, sakit tulang dan sebagainya. Kita yang tidak mengalami apa yang ia
alami tak akan mengerti betapa menderitanya ia sebagai korban perbudakan budak
seks sekaligus korban stigmatisasi masyarakat. Kita juga mungkin masih
menganggap diri kita suci dibanding para korban kekerasan seksual, dan
menganggap bahwa ada tembok tebal pemisah antara yang suci dan yang
pendosa.
Tapi bagiku sendiri, kesadaranku mulai berubah bertahun-tahun silam. Bagiku,
dosa bukan melulu urusan personal. Tapi urusan sebab akibat dari kehidupan yang
kompleks dalam masyarakat. Tak ada ide dan masalah yang tunggal, sebab semua
saling berkaitan satu sama lain, seperti jejaring saraf dalam tubuh kita. Juga
hubungan antara mereka yang melakukan dosa dan mereka yang memilih suci
sendirian tanpa berupaya menyelamatkan si calon pendosa. Aku, mungkin kita
semua yang merasa tak berdosa lebih suka suci sendirian dan masuk surga
sendirian. Pada akhirnya, kita mungkin lupa bahwa kita tak diciptakan
sendirian.
Dalam buku Happiness Inside karya Gobind Vashdev aku
menemukan pencerahan yang belum pernah kutemukan seumur hidupku. Intinya
begini: jika engkau ingin mengetahui siapa yang berdosa dan kurang ilmu
di dunia ini, engkaulah satu-satunya. Semua manusia di bumi ini selain dirimu
adalah lebih baik dari engkau.
Depok, 4 Mei 2016
ga pernah abis pikir ama org2 yg slalu men-judge org lain sbg pendosa mbak.. kok mereka bisa seyakin itu kalo mereka sendiri suci dan tanpa dosa yaa.. aku malah takut kalo sampe punya pikiran seperti itu.. disentil gusti Allah bisa-bisa sambil diliatin daftar dosa :D
ReplyDeleteTerima kasih sudah mampir mba Fanny.
DeleteBisa jadi kita adalah salaha satu atau pernah menjudge para korban kekerasan seksual semisal perkosaan, seakan-akan korban lah yang menggoda pelaku untuk melakukan kejahatan. Mudah-mudahahan kita terhindar dari sifat yang demikian.
Salam.
Baca kisah Sandhra ini miris :" salut sama beliau bisa tetap tegar dan menolong orang lain
ReplyDeleteSebagai korban human trafficking untuk industri seks, Sandhra pernah ditolak orang konsulat RI dan jadi gelandangan. Jadi, dia tahu rasanya ditolak sehingga ia harus membantu mereka yang tertolak karena menjadi korban seperti dirinya. Sosok seperti beliau inilah yang kita butuhkan di Indonesia karena sebagian besar korban kekerasan seksual di tolak masyarakat. Mba pasti pernah dengar beberapa kasus pemerkosaan terhadap siswa dan si korban malah dikeluarkan dari sekolah. Masa udah jadi korban mereka harus jadi sampah, yang sampah kan si pemerkosa.
DeleteDemikian. Salam