![]() |
Ilustrasi kekuatan maritim di Nusantara |
Dulu
waktu kecil, aku sering mempertanyakan hidup saat menunggu matahari terbit.
Setelah shalat subuh, sebelum bersiap-siap berangkat sekolah, aku bertugas
menyapu halaman. Saat itulah aku selalu terkesima dengan sinar matahari pagi,
venus (aku bingung itu venus atau bulan) yang menggantung di langit, dan awan
putih halus yang berbeda-beda bentuk dan
formasi. Aku mengira bahwa diatas awan Allah bersemayam dan
mengatur kehidupan bumi (maklum kebanyakan nonton film dari China) dan selalu
bertanya seperti itu setiap pagi. Aku juga terkesima dengan suara angin dan
tarian perdu di atas bukit, pada pohon-pohon yang warnanya
biru-hijau-kelabu-gelap di kejauhan, pada hujan yang menciptakan gelombang
indah di halaman, pada cahaya bulan saat malam tiba, pada bayang-bayang
pepohonan yang misterius. Juga pada kenyataan bahwa aku adalah aku.
Sejak
kecil aku menyukai ide tentang petualangan di alam liar. Hari minggu aku
akan nimbrung keluargaku di kebun hanya demi menikmati buah pepaya atau jambu
atau pisang yang matang di pohon (aku tak pernah membantu urusan pekerjaan).
Aku suka saat bersama teman-temanku naik ke bukit untuk mengambil bambu demi
membuat tongkat pramuka; aku suka saat bersama teman-teman pramuka berlatih
menyeberang sungai yang hampir membuatku tenggelam dan hanyut; aku suka
saat buah-buah jambu menguning, memanjat pohonnya dan menikmatinya seperti
seekor monyet (seorang tetangga mengatakan begitu); aku suka saat mandi di
sungai bersama teman-temanku dan berfikir kami adalah para putri; aku suka
menangkap ikan-ikan kecil di sungai; aku suka memotong batang
tebu, membuang kulitnya dan menyesap rasa manis yang alami.
Aku suka saat mengejar bebek demi memburu telurnya; aku suka saat seorang kakek
memberi aku dan teman-teman buah jambu bangkok besar saat
melintas dekat rumahnya; aku suka memanjat pohon jambu bol yang tinggi,
licin dan rapuh demi memetik buah paling merah dan manis; aku suka saat bersama
teman-teman SMU kemping ke gunung dengan jejak harimau, sunyi dan
sepi serta tidur beratap bintang-bintang. Aku menyukai petualangan
dan aku ingin menari bersama angin. Aku berkhayal menjadi peri
yang terbang kemana-mana demi berpetualang dengan sayapnya yang indah dan
kuat.
Karena itulah, saat pertama kali melihat buku
berjudul Selimut Debu di sebuah toko buku aku jatuh hati. Lalu
buku kedua berjudul Garis Batas dan buku ketiga Kembali ke
Titik Nol. Aku melahap ketiganya dengan bahagia dan berterima kasih pada
Tuhan karena telah menciptakan lelaki unik bernama Agustinus Wibowo, yang sekampung dengan moyangku dari pihak ibu. Ketiga buku
itu telah memberiku kesempatan untuk memahami bagaimana sebuah petualangan
liar, unik, eksentrik dan menantang dilakukan. Agustinus Wibowo bukanlah
traveller yang mencari kesenangan dan demi mendapat pujian.
Ia melakukan perjalanan demi menemukan jati dirinya, menemukan kehidupan dengan
cara berbeda, menikmati alam yang liar dan ganas sekaligus eksotik.
Alih-alih berwisata ke tempat-tempat yang direkomendasikan para penyedia
jasa traveling, ia memilih melakukan perjalanan darat yang
kejam dari China ke negara-negara di Asia Tengah. Bagiku, petualangannya
sungguh mempesona dan mengagumkan.
![]() |
Buku-buku Agustinus Wibowo |
Ia tidak punya biaya untuk menjejakkan kaki di Afrika Selatan sebagaimana
tujuan awalnya, dan setelah mengikuti sebuah kegiatan para penulis di
Australia, ia memilih melancong ke Papua New Guinea (PNG), negara tetangga
di wilayah paling timur Indonesia. Negara yang nyaris tidak pernah
diperbincangkan dalam percaturan dunia, yang bahkan mungkin tidak
dipedulikan oleh sebagian besar warga negara Indonesia. Dan perjalanannya yang
seru ke negara itu memberinya kesadaran baru tentang konsep
Nusantara, sebuah konsep yang akhir-akhir ini ramai didengungkan berbagai
kalangan sebagai upaya mengembalikan semangat nasionalisme.
KONSEP NUSANTARA
Orang-orang menanti buku terbaru lelaki ini, setidaknya
mengenai petualangannya di Papua New Guinea, negeri yang asing bagi sebagian
besar masyarakat Indonesia meski satu pulau dengan provinsi Papua dan Papua
Barat. Lelaki ini memang memiliki rencana menulis buku tentang Nusantara,
namun petualangannya memerlukan waktu dan dana yang tidak sedikit. Baginya,
melihat Nusantara bukan melihat dari dalam sebagaimana telah dilakukan
banyak travel writer. Tapi menjelajahi dan mengisahkan Nusantara
dari wilayah-wilayah perbatasan.
Rencananya ia akan melakukan perjalanan dari wilayah perbatasan Papua
New Guinea dan Papua, lalu Timor Leste dan NTT, Sangihe Talaud dan Mindanao,
lalu Kalimantan dan Sabah Serawak. Ia juga berencana melakukan perjalanan
ke wilayah-wilayah seperti Thailand, Singapura, Brunei hingga
India yang merupakan wilayah akar budaya Melayu. Sebuah perjalanan liar dan
menegangkan, bukan?
Dalam perjalanannya ke berbagai negara di Asia Tengah lalu ke PNG, ia
selalu bertanya mengenai garis batas. Misalnya, Papua dan PNG adalah satu
komunitas besar masyarakat Melanesia yang dipisahkan oleh garis batas di atas
peta, garis batas yang dibuat orang Barat (penjajah) pada masa lampau, yang
memisahkan antar kerabat beserta antar tanah adat dan suku
pemiliknya. Garis batas ini juga yang dikemudian hari membedakan bagaimana
kehidupan secara politik dan ekonomi dijalankan.
![]() |
Agustinus Wibowo bersama orang-orang Papua-PNG, saudara se-Nusantara tapi beda negara. Dari mereka ia belajar tentang hidup sederhana dan tidak rakus, saling berbagi dan percaya satu sama lain. |
Di timur, orang PNG ketakutan dengan Indonesia dan masih trauma dengan
kericuhan masa lampau dan soal komunisme, tetapi juga menggantungkan
perekonomian mereka dengan orang Indonesia di perbatasan. Sementara di
Barat orang Indonesia masih tidak tahu bahwa PNG adalah sebuah negara
merdeka (meski masih didikte Australia). Orang-orang Papua, baik di Papua-Indonesia
atau di PNG saling merindukan satu sama lain karena memang mereka
berkerabat. Tapi, garis di atas peta yang dibuat orang Barat menjadi pemisah,
menjadi tembok yang tidak bisa ditembus dan dihancurkan.
Bagi Agustinus, Indonesia, negara dimana ia dan keluarganya
hidup dan juga diperlakukan tidak adil sebagai etnis minoritas, adalah tanda
tanya besar. Bagaimana bisa berbagai kelompok etnis yang terpisah antar pulau
bisa saling bersatu dan menjadi Indonesia, dan masih selamat sampai sekarang
sebagai Indonesia? Apakah karena roh Gadjah Mada yang
bersumpah Palapa menjaga kepulauan ini dari alam lain? Dan aku masih
bertanya-tanya kapan peta Indonesia menjadi sangat cantik dengan bergabungnya
PNG sebagai provinsi termuda tanah ini? -aku sebenarnya merasa
terganggu melihat peta Indonesia dengan garis batas yang memotong pulau
Papua sehingga berada di dua negara berbeda- Ah, mungkin khayalanku
terlalu tidak masuk akal.
Nusantara (Indonesia) adalah sebuah negara yang dibangun oleh keberagaman,
yang demi urusan politik dan ideologi tertentu diingkari oleh sebagian
orang. Kaum mayoritas bahkan menganggap dirinya pribumi dan berhak
memperlakukan mereka yang minoritas dengan tidak adil. Bagi Agustinus itu
terkesan sangat lucu sekaligus bodoh. Bagaimana mungkin seorang Indonesia
mengaku dirinya pribumi sedangkan Nusantara sejak berabad-abad silam merupakan
satu wilayah kepulauan yang dibangun para pendatang dari berbagai wilayah
di dunia? Generasi yang hidup saat ini, termasuk aku, adalah generasi
kesekian hasil perkawinan campur di masa silam.
Jadi siapa sebenarnya pribumi wilayah Nusantara? Aku harus membaca banyak
buku dan hasil penelitian untuk menjawab pertanyaan ini untuk diriku sendiri.
Bisa jadi, pribumi wilayah Nusantara adalah orang-orang Melanesia yang kita
anggap terbelakang karena mereka berbeda warna kulit dengan sebagian besar
kita.
Setelah membaca semua artikel tentang perjalanan Agustinus ke PNG, aku
menyadari satu hal, bahwa manusia itu naive dan sombong. Kita manusia sangat
suka membatasi diri satu sama lain karena perbedaan warna kulit, ras, bahasa,
agama, level pendidikan, tingkat ekonomi, ideologi, pilihan politik, dan
sebagainya untuk mengingkari bahwa semua manusia sama dan bersaudara.
Dan di lain kesempatan manusia bisa sangat mengagungkan atau merendahkan antar
sesama mereka karena perbedaan-perbedaan itu. Dan aku berharap aku punya cukup
waktu untuk menunggu terbitnya buku Agustinus tentang perjalanannya ke
wilayah-wilayah perbatasan terluar Indonesia untuk menemukan Nusantara.
Jakarta, 12 Mei 2016
Bahan bacaan:
http://kabarindiependen.com/2013/06/pelaut-nusantara-jauh-mendahului-cheng-ho-dan-colombus/
https://www.getscoop.com/berita/narasi-perjalanan-agustinus-wibowo-keliling-dunia/
http://www.cnnindonesia.com/hiburan/20150513220101-241-53197/agustinus-wibowo-menjamah-perbatasan-papua/
Halo mba, wah saya juga suka semua bukunya agustinus wibowo, bahkan sampai menitikan air mata waktu baca buku titik nol (bcs he told us about his mother). gaya menulis bagus bgt bikin pembaca serasa ikut dalam perjalanannya ya
ReplyDeleteTerima kasih sudah mampir mba Fahdiana,
DeleteIya, ketiga bukunya bagus semua. Saya juga setuju bahwa buku ketiganya bikin sedih. Dan saya menunggu buku keempat beliau...
Salam,