![]() |
Kartini Kendeng melakukan aksi menyemen kaki di depan istana negara |
Pertama kali
mendengar soal Kendeng (masyarakat, wilayah dan promblematika yang mereka
hadapi) adalah ketika aku mulai mengikuti berbagai pemberitaan dan karya yang
dihasilkan oleh tim WacthDoc saat keliling Indonesia selama 1 tahun sejak
2014-2015. Ada sebuah film dokumenter yang mereka produksi, berjudul
"Samin vs Semen" yang menceritakan perlawanan para petani dan pemilik
tanah di wilayah pegunungan Kendeng, kabupaten Rembang, Jawa Tengah atas keinginan
PT. Semen Indonesia melakukan eksploitasi di wilayah tersebut.
Perjalanan yang dilakukan dalam menangkap
kisah-kisah masyarakat Indonesia bertema "Indonesia Biru" itu
berhasil merekam keinginan kuat masyarakat Kendeng menolak kehendak perusahaan
besar itu mengobrak-abrik tempat hidup mereka. Sebab, meraka yakin jika
eksploitasi dilakukan bukan hanya akan merusak wilayah resapan air dan
persawahan, tapi juga mengubah bentang alam yang dimasa depan bisa mendatangkan
bahaya.
"Manusia bisa hidup tanpa semen sebab bisa membangun rumah dari bambu. Tapi manusia nggak bisa makan semen kalau gunung dan sawah rusak," begitu kira-kita ungkapan salah seorang ibu dalam film "Samin vs Semen" yang menurutku menjadi kesimpulan perjuangan mereka.
Dan peran perempuan dalam perjuangan kelas bawah melawan kelas menengah patut diacungi jempol. Meski beberapa diantara mereka sempat mengalami kekerasan saat bentrokan dengan aparat keamanan, mereka tidak kapok. Malah, mereka datang ke jantung bangsa ini, Jakarta. Mereka tidak berteriak layaknya para demonstran saat turun ke jalan dengan yel-yel dan spanduk besar di jalanan ibukota. Cukup dengan melakukan aksi yang bikin bergidik: menanam kaki mereka kedalam semen!
Mengikuti pemberitaan mengenai aksi semen kaki 9 perempuan Kendeng ini sungguh membuatku bergidik. Sungguh nekat mereka. Tetapi itulah orang kecil. Demi tanah, air dan kehidupan yang 'hanya itu' mereka bahkan rela mempertaruhkan nyawa. Mereka berteriak dengan hati, menangis dengan air mata yang tak lagi mengalir. Mereka memperlihatkan bahwa masalah yang dihadapi benar-benar gawat dan bukan semata-mata soal tanah, air dan sawah.
Tapi soal kehidupan mereka sendiri. Soal kehidupan yang mungkin akan dihabisi jika pabrik raksasa itu mengeruk, menguruk dan menghabisi wilayah mereka. Ruh kehidupan petani adalah tanah, air dan sawah. Jika semua itu hilang bagaimana mereka hidup?
Tapi pemerintah yang tergiur PAD ogah meladeni mereka. Bahkan dalam berbagai pemberitaan, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menganggap remeh aksi ini, seakan-akan perjuangan masyarakat Kendeng bisa diselesaikan dengan 'janji' Gubernur (disini, disini). Sang kepala daerah bahkan tidak percaya bahwa aksi nekat itu idenya original dari kepala si petani sendiri. Mungkin 'beliau' ini mengira kita masih dalam masa penjajahan kolonial Belanda dimana petani itu bodoh sebodohnya.
![]() |
Para Kartini Kendeng dan sawah sebagai sumber penghidupan mereka |
Lain Gubernur lain rakyatnya. Paska aksi di Jakarta itu, para Kartini Kendeng
justru disambut gembira saat mereka tiba di Semarang, terutama dari masyarakat
yang mengatasnamakan Solidaritas Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng. Para
Kartini ini dihadiahi 'mahkota' berupa caping bertuliskan "Tolak Pabrik Semen" seakan-akan
mereka baru tiba dari medang perang. Mereka juga dijanjikan untuk menerima
kunjungan presiden Jokowi di Kendeng.
Memang benarlah,
kekayaan melimpah di tanah air ini merupakan sebuah kutukan berantai, dimana
kekayaan selalu menjadikan si kaya sebagai tuan atas warisan bangsa yang
seyogyanya dinikmati bersama-sama. Dan kutukan itu selalu saja menancapkan kuku
beracunnya pada si miskin yang lemah dan tidak berdaya. Bayangkan saja, aparat
keamanan yang merupakan alat negara yang dibiayai pajak tidak berpihak pada si
miskin yang merana ini, melainkan pada pemilik modal yang berlagak gagah
seakan-akan tanah air ini adalah kerajaan warisan kakek buyutnya. Selalu
begitu, berulang-ulang di banyak peristiwa menyedihkan sebagai perang si kaya
versus si miskin.
SAAT PEREMPUAN MELAWAN
Kisah para Kartini Kendeng bukanlah
kisah isapan jempol, apalagi atraksi cengeng yang mengumbar tangisan. Mereka
adalah simbol perlawanan langsung dari dapur para keluarga petani miskin yang
menggantungkan hidupnya dari tanah, air dan sawah di wilayah Kendeng. Kita bisa
melihat sejarah perjuangan mereka merawat kehidupan di kampung halaman dari
wajah mereka yang keras, tegas, yang sehari-hari terbakar matahari dan mungkin
tidak tersentuh kosmetik apalagi salon kecantikan yang mahal. Wajah-wajah
sederhana yang tidak meminta apa-apa pada negeri ini selain keadilan dan rasa
aman dalam menjalani hidup di desa, yang jauh dari hiruk-pikuk ibukota.
Saat perempuan
memilih bersikap atas ketidakadilan yang menimpa masyarakatnya, kita sedang
disuguhkan satu fakta bahwa mereka bukan hanya ratu urusan domestik. Tapi
mereka adalah anggota masyarakat yang memiliki hak untuk bersuara dan
menyampaikan aspirasi, apalagi jika itu menyangkut nasib seluruh anggota
keluarga. Itulah politik. Untuk berpolitik, perempuan tak melulu harus menjadi anggota
dewan atau menjadi pejabat ini-itu.
Dengan bersuara dan berpendapat sesuai kesadaran mereka sendiri, mereka sedang berpolitik. Mereka sedang menagih janji pemimpin yang mereka pilih saat pemilihan umum? Maka bagi siapapun yang memilih untuk mencibir aksi para perempuan pemberani ini, sebaiknya kembali membaca buku-buku ilmu politik atau sekalian ikut pelatihan-pelatihan politik tingkat akar rumput.
Depok, April 2016
Bahan bacaan:
http://www.mongabay.co.id/2014/08/18/doa-kemerdekaan-warga-rembang-lestarinya-sumber-mata-air/
http://www.aktual.com/tolak-pembangunan-pabrik-ibu-ibu-kendeng-tanam-kaki-semen/
http://beritajateng.net/9-kartini-kendeng-disambut-bak-pahlawan/
Mba nya udah pernah ke Rembang kah, Sehingga muncul tulisan ini?
ReplyDeleteBelum pernah mba Vie. Bahan tulisan ini dari bersumber dari berbagai berita di media dan informasi dari teman-teman yang melakukan advokasi kasus Rembang.
ReplyDeleteBtw terima kasih sudah mampir.
Salam.
Saya tinggal di Rembang Mba, baru saja pindah tp kondisi di sini sangat jauh berbeda dgn yg ada di media maupun tulisan Mba, secara sosial sedikit sekali yg menolak pabrik semen, dan dsni sulit air sejak lama, daerah yg dijadikan pabrik Dan tambang pun tdk bs ditanami untuk areal sawah.
DeleteKalau susah air dsni harus beli harganya bs 30 Kali lipat dr pdam. Klo pun mau yg gratis hrs 'ngangsu' sendiri.
Mdh2n masyarakat lbh cerdas lg melihat Dan menulis dgn hati, mdh2n rembang bs maju.
Oh ya semoga mafia tanah itu yg lbh baik diurus segera supaya TDK merugikan bnyk pihak terutama negara karna ini adalah perusahaan milik negara
DeleteTerima kasih sudah mampir mba Vie,
DeleteMungkin mba bisa membuat tulisan dan mempublikasikannya sehingga publik tahu kondisi yang sebenarnya dari masyarakat langsung.
Di banyak tempat, bisanya yang menolak eksplorasi tambang memang sedikit karena tergiir CSR. Tapi setelah tambang beroperasi dan menimbulkan dampak pada lingkungan baru sadar. Saya beberapa kali mengadvokasi kasus semacam ini mba.
Terima kasih atas masukannya dan saya tunggu tulisannya ya mba.
Salam.