![]() |
Wanggi Hoed dibawah payung hitam |
Kali ini aku akan mengulas tentang seorang aktivis muda yang seharusnya menjadi inspirasi bagi anak-anak muda galau nggak karuan. Lelaki yang lebih muda 3 tahun dariku ini memiliki kepiawaian dalam menyampaikan pesan perdamaian dan keadilan melalui seni pantomim. Menekuni seni olah tubuh sejak SMU, ia mendalami seni dengan mengambil jurusan Teater di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung.
Pilihannya tak sia-sia sebab karirnya sebagai aktivis-seniman kemudian
mendorongnya mendirikan organisasi pantomim di kota Bandung bernama Mixi
Imajime Theater dan aktif di Teater Cassanova yang juga membesarkan namanya. Ia
telah banyak tampil di berbagai pertunjukan jalanan hingga gedung-gedung di
dalam maupun di luar negeri. Nama dan aktivitasnya juga telah direkam banyak
media dan ia menjadi salah satu seniman yang setia mengkampanyekan 'perayaan
kematian' untuk menghidupkan ingatan manusia Indonesia yang lupa ingatan.
Pertama kalinya bertemu dengan lelaki muda dan sederhana ini ketika menghadiri acara puncak penggalangan dana program #wesavemoromoro di Bandung yang diselenggarakan oleh komunitas Rumah Bintang and friends. Pada momen itu Wanggi berkolaborasi dengan musisi Galih Su menampilkan hiburan tentang sekolah itu indah dan menyenangkan. Kami sempat ngobrol tentang banyak hal dan bertukar nomor HP. Kali kedua, kami bertemu dalam pameran lukisan Andreas Iswinarto di kantor WALHI di Jakarta.
Pada kesempatan itu lelaki ceking dan rendah hati ini memukau para aktivis dengan tarian diam memabukkan tentang kerasnya perjuangan bertarung melawan ketidakadilan. Kami juga sempat mengobrol tentang banyak hal, termasuk kemungkinan beliau bertemu kawan-kawan komunitas di Lampung. Kali ketiga, kami sengaja janjian bertemu di salah satu warung kopi di TIM untuk membicarakan rencana proyek kerjasama kami berdua.
![]() |
Jadi cover majalah |
Sebagian dari kita mungkin lebih suka mengaitkan seni pantomime dengan hal
lucu, nggak bermakna dan sekedar buat senang-senang umpama pada acara ulang
tahun anak-anak yang menampilkan badut. Wanggi, yang belum menemukan benang
merah mengenai kisah para seniman pantomim di tanah air memang mencoba
melakukan terobosan. Out of the box lah kalau kata orang
Inggris mah. Ia mencoba berfikir progresif. Maju dan beda dari
kebanyakan.
Ia menjadikan pantomim, gerak tubuhnya dan puisi dalam jiwanya yang tanpa kata-kata sebagai alat berjuang. Memangnya berjuang untuk apa? bisakah kita berjuang tanpa berkata-kata sedangkan Soekarno saja perlu berlatih berpidato yang baik untuk merebut hati rakyat. Juga pemimpin-pemimpin besar semacam Mandela, Martin Luther King, hingga Obama. Lagipula zaman canggih gini sekalinya kita berkata-kata kan bisa direkam dan disebar ke seluruh jagat raya. Beres.
"...untuk merayakan kematian. Karena titik yang semua manusia tuju itu kematian," begitu kira-kira ucapnya ketika tampil di acara beken Mata Najwa tahun lalu.
Baginya kematian
bukan semata-mata klimaks dari perjalanan kehidupan setiap makhluk di bumi ini,
tapi juga bagaimana kita menjaga ingatan pada mereka yang telah mengalami
kematian sebelum kita. Di kalangan para aktivis dan pegiat seni, pemuda ini
diakui sering tampil dalam berbagai kegiatan untuk memberikan pesan non-verbal
tentang kehidupan, kematian, kasih sayang, perlindungan, kesetaraan, keadilan
dan berbagai isu lainnya. Nampaknya, ia memilih membuat orang lain sebagai
penikmat seninya menerjemahkan sendiri renungan-renungan batin atas sebuah
peristiwa agar setiap orang menjadi penggerak kebaikan bagi dirinya sendiri.
Berikut salah satu aksi Wanggi Hoed saat melakukan aksi pantomim di puncak
gunung Semeru dan danau Ranu Kumbolo. Aksinya dilakukan agar manusia, khususnya
para pendaki, menghormati alam dengan tidak merusaknya apalagi membuang smapah
sembarangan. Ia ingin agar manusia melindungi dan mencintai semesta sebagaimana
melindungi dan mencintai dirinya sendiri. Juga menjadi rekor baginya sebab baru
pertama kalinya seorang seniman pantomim melakukan aksinya di gunung dan untuk
menyuarakan kecintaan pada semesta. Keren ya.
AKSI
KAMISAN BANDUNG
Ada yang menarik dari
hasil obrolanku dengan seniman ini. Ia menjadi seorang pemrakasra Aksi Kamisan
Bandung sebagai bagian dari Aksi Kamisan di
depan Istana Merdeka, Jakarta. Ia dan beberapa kawannya melakukan aksinya di
depan gedung Sate, kota Bandung. Ia mengatakan bahwa pada suatu hari tak
sengaja membaca berita mengenai Aksi Kamisan Jakarta di salah satu koran
nasional dan ia merutuki dirinya sendiri karena tak tahu menahu ada aksi yang
sedemikian konsisten dilakukan setiap hari Kamis sore untuk menuntut
keadilan.
Para pelaku Aksi Kamisan Jakarta adalah para keluarga korban tragedi HAM saat kecamuk Reformasi 1998. Banyak diantara korban tidak diketahui nasibnya sampai sekarang dan dinyatakan sebagai orang hilang. Aksi itu juga didukung dan diramaikan oleh para aktivis dna jurnalis.
Aksi Kamisan Bandung dikemas berbeda meski memiliki makna dan tujuan yang sama, yaitu menolak lupa atas tragedi-tragedi di negeri ini. Pertama, sebab Wanggi dan teman-temannya bukan keluarga korban dan tidak memiliki hubungan apa pun dengan tragedi 1998. Mereka beralasan bahwa tragedi 1998 adalah luka bangsa dan siapa saja berhak menuntut tanggungjawab negara. Meski Wanggi dkk diincar intel setempat, toh ia bersih dan hanya membantu bersuara dalam diam.
Kedua, Wanggi dkk menggunakan aksi diam khas pantomime saat melakukan aksi yang biasa dimulai ukul 16.00-18.00 setiap Kamis. Mereka tidak melakukan orasi sebagaimana yang dilakukan di Jakarta. Hanya diam. Sebab bagi Wanggi diam merupakan perlawanan yang paling keras dan lantang. Diam bermakna menolak lupa atas ketidakadilan yang disumpal hapalan lima sila Pancasila dan keelokan negeri dalam promosi destinasi wisata.
![]() |
Cara Wanggi Hoed berkesenian |
Ketiga, Aksi Kamisan Bandung dilakukan atas kemauan Wanggi dan
kawan-kawannya harus dirayu terlebih dahulu oleh para aktivis di Jakarta. Jadi
benar-benar inisiatif lokal dan berasal dari cinta. Karenanya, dalam riwayat
sewindu Aksi Kamisan kontribusi Wanggi dan kawan-kawannya di Bandung merupakan
dukungan berarti bagi kelelahan yang tak boleh ditampilkan oleh mereka yang
menunggu keadilan. Dan akhirnya, aksi ini kini menemukan dua tempat lainnya
yaitu Yogyakarta dan Batam.
Bangsa Indonesia yang dikenal dijalankan berdasar nilai-nilai luhur, ternyata
memiliki kisah kelam soal pelanggaran HAM atas warganya sendiri. Sedihnya,
kasus-kasus yang dimulai tak lama sejak kemerdekaan dan melibatkan orang-orang
berpangkat tak juga diselesaikan secara hukum. Bayangkanlah bagaimana kiranya
kita kehilangan anggota keluarga karena dituduh melakukan makar terhadap negara
tapi tak tahu dimana mereka sekarang. Sebab, dalam hukum jika seseorang memang
bersalah harus mengikuti proses peradilan sebelum dihukum. Nah ini, banyak
kasus penting diabaikan seakan-akan nyawa manusia Indonesia lebih murah dari
harga bibit sawi.
Wanggi Hoed sebagai seniman pantomim merespon aksi itu dengan caranya sendiri,
menampilkan olah tubuh dan diam. Sebab, telinga kita telah muak dengan
kata-kata. Diam mengindikasikan bahwa jiwa kita berteriak lebih keras dari
teriakan seorang orator saat aksi dan lebih tajam dari pedang seorang
pejuang.
Dan bagiku, komitmen seniman-aktivis seperti Wanggi ini harus diapresiasi bahkan didokumentasikan untuk menjadi pelajaran berharga bagi generasi mendatang agar tidak sengaja membutakan mata dan menulikan telinga atas ketidakadilan yang menimpa warga negara yang tidak berdaya. Sebab, sikap tidak peduli bisa jadi sebagai penyebab berbagai tragedi berdarah di negeri ini tak pernah diselesaikan. Jangan-jangan bukanlah mereka yang haus darah yang membunuh itu, tapi ketikpedulian kita akibat hati yang busuk dan mati.
Apakah ia tidak lelah dan bosan, sebab ratusan aksi diam setiap Kamis sore telah dijalaninya dalam kondisi hujan maupun panas? Tidakkan lelaki ini punya keinginan pergi ke luar negeri dan melejitkan karirnya sebagai seniman? Ia masih sangat muda dan memiliki potensi luar bias auntuk bisa tenar di pentas internasional. Dalam satu kesempatan ia berkata, "Sempat bosan sih, tapi memang begini cara menjalankan aksi ini," dan mungkin itu dalam aksi ini ai juga sedang bertarung melawan dirinya sendiri sebab rasa bosan tak mungkin tidak menghinggapi hati manusia atas aktivitas yang monoton.
Dan ia, karena
hatinya baik dan percaya janji Tuhan, selalu hadir di depan gedung Sate setia
Kamis sore. Bersama senja dan payung hitam, ia dan kawan-kawannya menunggu, dan
kita semua juga menunggu kiranya kapan akhir bagi babak menyedihkan bangsa ini.
Sebab proklamasi menjanjikan kedamaian dan kesejahteraan bagi segerap rakyat
Indonesia.
Salam hitam!
Depok, 17 Januari 2016
No comments:
Post a Comment