![]() |
Suasana sekolah di Moro-Moro |
Tulisan ini sudah lama dibuat sebenarnya, dan diterbitkan
kedalam sebuah monograph bersama 8 tulisan dari penulis lain. Behubung nggak
ada text dalam bentuk online yang bisa dibagi ke publik, aku tulis ulang
disini. Tulisan ini sendiri dibuat sebagai klimaks lokatulis para aktivis pada
tahun 2014 yang diselenggarakan oleh lembaga Kemitraan-Partnership. Pada tahun
ketika tulisan ini dibuat aku masih bekerja di WALHI Lampung.
Pada bulan
Agustus 2013, belasan orang mahasiswa asal Belanda melakukan penanaman bibit
pohon nangka dan mahoni di kampung Moro-Moro, Mesuji, Lampung. Mereka mengaku
senang bertemu dengan orang Moro-Moro yang ramah dan pekerja keras. Mereka
bahkan membantu masyarakat Moro-Moro membersihkan rumput di ladang singkong
dalam cuaca panas.
Kedatangan mereka berawal dari rasa penasaran mereka pada orang Moro-Moro yang diceritakan Oki Hajiansyah Wahab dalam buku berjudul "Terasing di Negeri Sendiri". Buku itu dijual di beberapa negara seperti Belanda, Amerika, dan Jepang dalam bentuk digital. Buku tersebut bercerita tentang perjuangan masyarakat Moro-Moro dalam meraih hak mereka sebagai warga negara. Telah lima belas tahun lamanya masyarakat Moro-Moro kehilangan haknya sebagai warga negara karena tinggal di kawasan Register 45. Oki sang penulis merupakan Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum di Universitas Diponegoro dan aktivis yang telah mendampingi masyarakat Moro-Moro sejak tahun 2006.
Kawasan Register 45 sendiri dikenal sebagai wilayah konflik berkepanjangan di provinsi Lampung. Sebulan sebelum kedatangan pada bule itu, kampung Moro-Moro nyaris digusur oleh tim gabungan antara pemeirntah Mesuji, TNI dan Pam Swakarsa karena dianggap ilegal. Untung saja penggusuran itu tidak jadi dilakukan dan orang Moro-Moro kembali bekerja dengan tenang di ladang singkong atau kebun karet mereka.
Register 45 sesungguhnya dikelola oleh sebuah perusahaan bernama PT. Silva Inhutani Lampung (SIL). Pada tahun 1997 perusahaan itu memperoleh izin berupa Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) dari Menteri Kehutanan untuk mengelola lahan Register 45 seluas 43.100 hektar selama 45 tahun. Tapi karena perusahaan itu tidak punya cukup modal untuk mengelola lahan sebagai imbas krisis moneter pada tahun 1997-1998, lahan-lahan terlantar di wilayah itu dikelola pendatang untuk ditanami singkong akibat kesulitan ekonomi.
Masyarakat yang datang ke wilayah itu berasal dari berbagai daerah di provinsi Lampung dan Sumatera Selatan. Saat itu ada sekitar 40 kepala keluarga mulai menetap di beberapa wilayah di Moro-Moro. Nama 'Moro' sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti 'datang'. Di kampung Moro-Moro seluas 2.444 hektar itu terdapat 5 wilayah setingkat dusun bernama Asahan, Moro Seneng, Moro Dewe, Moro Dadi dan Suka Makmur. Masyarakat Moro-Moro dikenal sebagai masyarakat yang tangguh. Meskipun sejak 1997 mereka mengalami beberapa kali penggusuran baik oleh perusahaan maupun pemeirntah daerah setempat, tak sekalipun mereka bercerai berai apalagi meninggalkan kampung itu. Semakin hari mereka dikenal semakin kuat dan solid. Sikap itu diakui banyak membuat iri para pendatang yang menduduki wilayah lain di Register 45.
"Kami ndak pernah sertifikatkan tanah di Moro-Moro. Kami
hanya menanaminya dan numpang hidup," ujar 'S' dengan logal Jawa yang
kental. Lelaki berambut gondrong dan berkulit cokelat gelap itu mengaku bahwa
dirinya juga menjadi buruh di perkebunan PT. SIL. Sehari-hari ia bekerja nderes karet
dan siangnya baru mengurus kebun singkongnya atau upahan di kebun tetangganya.
"Lucu memang. Perusahaan usir kami karena katanya kami ini ilegal atau
haram lah, tapi banyak buruhnya ya dari Moro-Moro juga," pungkasnya sambil
tersenyum tipis.
Selama 15 tahun masyarakat Moro-Moro telah menyulap sebagian kecil lahan terlantar PT. SIL menjadi sebuah kampung yang hijau dan rimbun. Mereka membangun rumah-rumah sederhana dari papan ataugeribik. Membangun jalan, rumah-rumah ibadah, posyandu dan balai pertemuan. Kebun-kebun singkong orang Moro-Moro juga menghampar hijau diantara rumah-rumah sederhana itu. Di bagian lain, kebun-kebun karet berdiri tegak dan rimbun seperti bersiap menjanjikan kesejahteraan. Sesekali terlihat sebuah truk mengangkut buah singkong atau motor-motor yang membawa barang dagangan.
Meksipun demikian, tak ada seorang pun yang berani membuat sertifikat atas tanah yang mereka kelola di Moro-Moro. "Kami hanya pinjam tanah ini untuk ditanami, karena kami tak punya tanah. Kami perlu hidup," Ujar Sahrul, ketua Persatuan Petani Moro-Moro Way Serdang (PPMWS). Ia mengaku memimpin masyarakat Moro-Moro untuk memperjuangkan hak mereka sebagai warga negara Indonesia. Kondisi Moro-Moro saat ini diakuinya merupakan hasil kerja keras masyarakat miskin yang menginginkan kehidupan yang lebih baik,
PPMWS berdiri tahun 2007 setelah terjadinya penggusuran pada tahun 2006. Masyarakat Moro-Moro dibantu Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Bandar Lampung dan aktivis mahasiswa memilih melakukan perlawanan secara bersama-sama agar mereka tidak diusir dari Register 45 meski mereka sadar bahwa itu tanah negara. Namun masyarakat Moro-Moro memiliki alasan bahwa ketika negara tidak adil dalam urusan pembagian tanah antara masyarakat dan perusahaan, maka mereka harus mengingatkan negara yang telah melanggar janji UUD 1945. Karena itu, dengan bersatu dalam organisasi, masyarakat Moro-Moro bisa melakukan komunikasi dengan banyak pihak terkait resolusi konflik di kawasna hutan tanaman industri itu.
"Kami tidak minta tanah ini dibuat sertifikat. Kita kan hanya pinjam pakai. Pemerintah itu kan aneh, memberikan perusahaan tanah seluas Register 45 tetapi mengusir rakyat yang butuh makan. Makanya kami bentuk PPMWS pada tahun 2007," tambah Sahrul.
Sahrul mengaku heran dengan tindakan pemerintah yang menurutnya tidak membela kepentingan rakyat kecil dan lebih membela kepentingan perusahaan. "Dulu kami mau direlokasi ke Tulang Bawang, cuma dapat 50 hektar. Lha, dengan masyarakat sebanyak ini kan ndak cukup, sementara perusahaan dapat puluhan ribu hektar," ungkapnya dengan nada kecewa. Bagi Sahrul, memimpin kelompok masyarakat ditengah konflik yang tak berkesudahan bukanlah perkara mudah. Selama memimpin ia telah puluhan kali bolak-balik ke kantor pemeirntah Mesuji untuk mengurus dokumen kependudukan masyarakat Moro-Moro.
"Kami warga negara Indonesia, tapi bukan penduduk Mesuji. Sampai saat ini kami tidak punya KTP, anak-anak tak punya akta kelahiran, ini kan aneh," kata Sahrul lagi. Ia dan pengurus PPMWS telah mengusahakan hak mereka sebagai warga negara sejak Mesuji masih menjadi bagian kabupaten Tulang Bawang. "Tahun 2004, Bupati Tulang Bawang pak sarbini janji mau jadikan Moro-Moro sebagai desa persiapan. Tapi, sampai ada pemekaran wilayah tahun 2008 janji itu ndak ditepati," katanya. Meski ia dan masyarakat Moro-Moro mengaku kecewa, tetapi mereka tetap melanjutkan hidup sebagaimana biasanya. Sebisa mungkin mereka tak melakukan tindakan yang memanicng pemerintah menggusur dan mengusir mereka."Kami berusaha terus," pungkas Sahrul sambil menghela nafas.
Berbagai upaya telah dilakukan masyarakat Moro-Moro untuk hidup tenang dan damai di Mesuji. Meski mereka menunggu keputusan pemerintah atas nasib mereka, mereka tetap berusaha melakukan hal terbaik bagi kelompok mereka. Dua hal terpenting yang menjadi perhatian di Moro-Moro selain dokumen kependudukan adalah akses pendidikan dan kesehatan. "Kami bangun sekolah secara swadaya, sudah banyak lulusan Moro-Moro," ujar Budi, relawan guru di SMP Moro-Moro. Budi berkisah bahwa SMP itu pada awalnya bernama SMP terbuka Harapan Rakyat dengan jumlah murid sebanyak 13 orang. Sekolah yang didirikan tahun 2006 itu melakukan kegiatan belajar mengajar secara berpindah-pindah dari rumah murid yang satu ke rumah yang lain.
"Kami sudah bangu TK dua, dan 3 SD. Nah, SMP dibangun untuk lulusan SD itu," ujar Budi lagi. Meski sebagai relawan guru ia tak digaji sebagaimana layaknya guru PNS, tetapi ia mengaku senang dapat membantu anak-anak Moro-Moro mendapatkan pendidikan. "Kita harus didik anak-anak karena pemeirntahalpa," cetusnya. Budi mengaku khawatir jika anak-anakk di Moro-Moro tak sekolah maka mereka akan bernasib buruk karena tak memiliki keahlian.
Pernyataan Budi ini dibenarkan Karyadi, seorang relawna guru yang mengajar di dusun Moro Dewe. "Saya ke Moro-Moro untuk menjaid guru," ujar lelaki yang mengajar di Sd itu bersama istri dana anak sulungnya. "Anak saya yang nomor dua, Rico, lulusan Sd ini sudah diterima di Fakultas Hukum Universitas Lampung" ujarnya bangga. Sebagai anak Moro-Moro pertama yang berhasil lulus ke perguruan tinggi negeri dan bergengsi di Lampung, Rico menjadi kebanggaan. Sebagai ayahnya, Karyadi berharap ada banyak anak Moro-Moro yang bisa menyusul jejak Rico.
![]() |
Seorang relawan guru sedang mengajar di salah satu SD Swadaya di Moro-Moro |
Bagi masyarakat Moro-Moro, pendidikan dianggap sebagai modal utama agar mereka keluar dari kemelut kemiskinan. Selama 15 tahun berada dalam situasi konflik, mereka menyadari bahwa mereka harus memperjuangkan hak mereka sendiri sebagai warga negara sembari menunggu pemerintah memenuhi hak mereka. Rupanya keberhasilan Rico memicu semangat gadis 20 tahun bernama Wuri untuk mengejar paket C.
"Kalau aku lulus setara SMA kan bisa kuliah di Universitas Terbuka. Terus bisa menjadi guru di Moro-Moro," ungkap gadis bertubuh kecil dan ramping itu mengenai latar belakangnya melanjutkan pendidikan.
Selain mengikuti kegiatan belajar di sebuah SMU di Mesuji, sehari-hari Wuri berperan sebagai kader posyandu di dusun Suka Makmur. Ia bekerjasama dengan bidan Linda dalam memberikan penyuluhan kesehatan pada masyarakat Moro-Moro.
"Aku kasihan kok anak-anak Moro-Moro ini kurang gizi ya," ujarnya. Ia mengaku senang dapat belajar pada bidan Linda yang masuk secara sengaja ke Moro-Moro sebagai relawan. "Aku mau anak Moro-Moro sehat supaya bisa sekolah," ujar Wuri. ia juga mengaku berkewajiban membeir tahu pada ibu di Moro-Moro mengenai pentingnya kesehatan anak-anak demi masa depan yang lebih baik.
Di Moro-Moro, Wuri juga dikenal sebagai sosok perempuan muda pembelajar dan pantang menyerah. Setelah mengikuti program paket C, Wuri membuka PAUD untuk mendorong anak-anak agar mereka mau sekolah. "Kita ini kan di daerah konflik, Mbak. Jadi sebisanya kita harus berpendidikan, supaya punya masa depan baik," ujarnya sambil tersenyum manis.
Langkah Wuri tersebut ternyata diikuti Wayan, seorang lelaki Bali berusia 30an yang mengaku ingin kuliah dan menjadi relawan guru di Moro-Moro. "Saya kan bodoh makanya nasib saya begini, terdampar di Register 45. Makanya saya ikut paket C supaya nanti bisa kuliah," akunya. Lelaki bertubuh kekar, berkulit gelap dan bermata sayu itu ingin hidup tenang di Moro-Moro. Wayan mengaku bahwa Moro-Moro merupakan tempat yang baik, aman dan tenang.
"Dulu, waktu saya di daerah Pekat, saya malah ditangkap dan dipenjara karena dianggap provokator oleh Polisi," ujarnya mengenai kisahnya ketika belum lama tinggal di Moro-Moro. "Nah, mas Oki dan kawna-kawan AGRA itu yang bantu keluarkan saya, makanya saya suka tinggal di Moro-Moro ini, Mbak," tambahnya. Wayan mengaku bahwa masyarakat Moro-Moro merupakan masyarakat yang bersatu meski mereka juga rentan penggusuran.
Kisah Sahrul, Budi, Karyadi, Rico, Wuri dan Wayan merupakan potret kecil dari kisah ribuan masyarakat Moro-Moro yang berusaha untuk hidup untuk damai ditengah konflik di Register 45. Bagi mereka, konflik berkepanjangan tersebut diakui menyisakan trauma dan kesedihan. Namun, dengan bersatu dan melakukan hal-hal yang benar mereka percaya bahwa pemerintah akan mendukung mereka. Selain itu, mereka juga mengakui bahwa salah satu bukti bahwa pemerintah telah bersikap lebih baik adalah pada momen pemilihan umum legislatif pada 9 April 2014. Setelah belasan tahun kehilangan hak untuk ikut dalam pemilu, kini mereka bisa ikutan 'nyoblos'.
Hal ini diakui Sahrul selaku ketua PPMWS sebagai jawaban dari kerja keras mereka selama ini. "Ya, pemilu tahun ini kami bisa memilih meksi tanpa KTP. Kita akan terus berjuang. Kita belum punya KTP," ungkap sahrul yang tak bisa menyembunyikan kegembiraannya karena akan ikut pemilu tahun 2014.
"Hanya Moro-Moro yang didata oleh KPU. Yang lain tidak," ujarnya yang menjelaskan posisi istimewa masyarakat Moro-Moro dibanding masyarakat pendatang lain di Register 45.
Prestasi itu diakui Sahrul dapat mendorong masyarakat Moro-Moro untuk terus berjuang dan memberikan bukti bahwa mereka bisa membangun kehidupan yang lebih baik meski tanpa dukungan pemerintah. "Konflik ini sulit dipahami oleh pemerintah sendiri, apalagi kami," ujar Sahrul. Ia mengakui bahwa masyarakat Moro-Moro tak mau terlalu memusingkan konflik yang menurutnya sulit dipahami. "Kami berjuang untuk hak kami sebagai warga negara," ujarnya terkait arah perjuangan masyarakar Moro-Moro ke depan. Baginya, berjuang bersama masyarakat Moro-Moro umpama berjuang meraih kemerdekaan.
Kronologi konflik di
Register 45, Mesuji, Lampung per Medio 2014
Tahun
|
Keterangan
|
1917-1918an
|
|
1930-1940an
|
|
1985
|
|
1989
|
|
1991
|
|
|
|
1993
|
|
1997
|
|
1999
|
|
2000
|
|
2002
|
|
2003
|
|
2004
|
|
2006
|
|
2009
|
|
2010
|
|
2011
|
|
2012
|
|
2013
|
|
2014
|
|
Depok, 16 Januari 2016
Catatan penting:
- Pak
Budi, salah seorang relawan guru yang kuceritakan dalam tulisan ini
meninggal tak lama setelah aku menyelesaikan penelitian di
Moro-Moro.
- SMP
Moro-Moro ditutup tahun 2013 dan murid-muridnya kini harus PP ke sekolah
induk yang jaraknya cukup jauh dari Moro-Moro
- Pada Mei 2015, SD Moro Dewe ditutup akses kegiatan belajar mengajarnya setelah guru-guru dari sekolah induk yaitu SD N II Indraloka di kabupaten Tulang Bawang Barat ditarik. Akibatnya sebanyak 111 siswa harus tercerai berai. 45 orang diantaranya PP ke sekolah induk di Tulang Bawang Barat sejauh 12 km, 3 orang lainnya putus sekolah dan sisanya pindah ke dua SD lain di Moro-Moro yang terancam ditutup.
kerja yang baik
ReplyDeleteAlhamdulillah
Delete