![]() |
Tuhan Maha Tahu tapi Menunggu |
Dalam buku
kumpulan cerita Leo Tolstoy yang sangat terkenal itu, terdapat 11 cerita
mengagumkan. Cerita-cerita itu memang dibuat tahun 1980an dan kondisi masyarakat
ketika itu sangat berbeda dari sekarang. Tapi, cerita-cerita pendek yang kubaca
dan pahami tersebut bisa diselaraskan dengan kondisi kekinian. Waktu memang
terus bergerak, tahun berlalu, manusia berganti, tapi perangai manusia nyatanya
merupakan sejarah yang terus berulang. Manusia dan perangai mereka umpama
kesedihan, mereka tak pernah hilang melainkan berganti wajah.
Meski setting cerita Leo adalah Russia, maka menurutku ceritanya menampar hampir seluruh manusia di muka bumi. Dimana saja, perbuatan baik atau buruk manusia sama saja. Selalu terulang.
Meski setting cerita Leo adalah Russia, maka menurutku ceritanya menampar hampir seluruh manusia di muka bumi. Dimana saja, perbuatan baik atau buruk manusia sama saja. Selalu terulang.
Salah satau cerita
dalam buku ini berjudul 'Tuhan Maha Tahu tapi Dia Menunggu'. Cerita ini
berkisah tentang nasib sial yang menimpa seorang saudagar muda warga kota
Vladimir yang bernama Askenof. Dulu Askenof adalah seorang pemabuk dan sering
membuat kekacauan. Namun setelah menikah, ia berubah menjadi seorang yang baik
dan menjalani hidup dengan ceria.
Suatu hari di musim panas ia pergi ke kota
Nizhmi untuk mengunjungi pasar malam di kota itu. Istrinya melarangnya pergi
sebab ia khawatir akan keselamatan Askenof setelah mengalami mimpi buruk.
Askenof malah meledek istrinya kalau-kalau ia akan mabuk dan membuat kekacauan
lagi. Ia menenangkan istrinya, dan mengatakan bahwa ia akan mendapat rezeki lalu
akan membawa oleh-oleh untuk istrinya. Diperjalanan ia bertemu seorang
temannya, dan mereka menginap bersama disebuah pondok. Kamar mereka
berdampingan.
Pagi-pagi sekali
Askenof dan pelayannya meninggalkan penginapan dan segera menuju kota Nizhmi.
Namun, tiba-tiba keretanya dihentikan oleh serombongan polisi yang menanyainya
mengapa ia berangkat tergesa-gesa sekali. Askenof menjelaskan bahwa ia harus
segera tiba di kota Nizhmi, namun sang polisi justru memberinya kabar buruk.
Bahwa temannya telah terbunuh tadi malam. Polisi pun memeriksa barang-barang
Askenof dan menemukan sebuah pisau berumur darah dalam kopernya.
Kata sang
polisi meski askenof tak mengakui pisau itu miliknya, tak ada orang lain yang
patut dicurigai sebagai pembunuh dan pencuri uang sahabatnya selain Askenof
sebab hanya mereka berdua di pondok itu. Askenof hanya bisa menangis dan berdoa
saat ia digiring menuju penjara dan akan segera mendapat hukuman dengan tuduhan
membunuh dan mengambil uang sebanyak dua ribu rubel. Karena dimasa lalu ia
memang suka mabuk, mencuri dan membuat onar, maka semakin kuatlah dugaan bahwa
ia yang melakukan pembunuhan dan pencurian itu. Asknof hanya bisa pasrah.
Istrinya datang
menjenguknya dan mengatakan bahwa mimpinya tempo hari adalah benar dan
seharusnya Askenof mendengarkannya. Istrinya juga tidak percaya bahwa ia telah
membunuh. Ia telah meminta petisi kepada Tsar tapi ditolak. Askenof hanya bisa
menangis dan berdo'a, berharap Tuhan memberinya pertolongan. Ia pasrah. Ia
dihukum cambuk hingga luka-lukanya parah. Setelah luka-lukanya sembuh ia dan
tahanan lainnya dikirim ke Siberia. Selama dua puluh enam tahun ia bekerja di
tambang hingga rambutnya memutih, jenggotnya panjang dan punggungnya bungkuk.
Ia menjadi pendiam dan suka bersembahyang. Di penjara ia belajar membuat sepatu
dan hasil penjualannya dibelikannya buku-buku agama untuk dipelajarinya. Setiap
hari minggu ia pergi ke Gereja untuk beribadah. Begitulah ia menjalani
hari-harinya di penjara selama itu. Dipenjara ia disukai para polisi sebab
sangat patuh dan sopan. Ia juga dipanggil 'kakek' dan 'orang soleh'. Ia selalu
menjadi pendamai perselisihan di penjara. Ia tak pernah menerima surat dari
keluarganya dan tak tahu kabar anak-anaknya.
Suatu hari penjara
itu kedatangan tahanan baru. Lelaki itu bernama Makar, dan berasal dari Kota
Vladimir, kota tempatnya tinggal sebelum dipenjara. Maka Askenof bertanya
tentang keluarganya dan Makar menjawab bahwa keluarga itu telah menjadi
keluarga saudagar yang kaya raya, namun ayah mereka terkena kasus dan berada di
penjara. Lalu Askenof bertanya apakah Makar tahu tentang peristiwa pembunuhan
itu dan Makar menjawabnya bahwa ia hanya tahu sedikit sebab dulu orang-orang di
Kota Vladimir ramai membicarakannya.
Askenof lalu meminta pendapat lelaki itu
soal kasus pembunuhan itu dan Makar mengatakan bahwa yang paling tertuduh
adalah pemilik koper yang menyimpan pisau berdarah. Katanya, mana mungkin orang
lain bisa meletakkan pisau itu didalam koper Askenof tanpa diketahui Askenof.
Maka Askenof yakin bahwa pemuda itulah yang telah membunuh temannya malam itu.
Askenof tak bisa tidur. Ia bersedih.
Ia membayangkan
istrinya, anak-anaknya, dirinya yang dulu muda dan suka bergembira dan bermian
gitar. Juga teringat hukuman-hukuman cambuk yang diterimanya dan
penonton-penontonnya, juga tahanan-tahanan lainnya selama ia dipenjara 26 tahun
itu. Kini ia tahu orang yang menyebabkan ia dipenjara. Ia sangat marah pada
Makar dan ingin membunuhnya. Selama dua minggu ia gelisah meski tetap
bersembahyang. Suatu hari ia memergoki Makar yang sedang menggali tanah di
selnya.
Askenof pura-pura tak melihatnya, namun Makar menarik tangannya dan
berkata bahwa ia sedang membuat lubang untuk melarikan diri. Ia menawarkan
Askenof bantuan untuk melarikan diri bersama agar Askenof tidak melapor pada
sipir penjara, sebab kalau ia melapor maka Makar akan dicambuk oleh petugas
lalu Makar akan membunuhnya. Askenof berkata pada Makar bahwa ia tak peduli
jika Makar membunuhnya kali ini sebab Makar telah membunuhnya 26 tahun lalu
untuk kesalahannya yang tak yang tak pernah dilakukannya.
Suatu hari para
tahanan dikumpulkan di halaman dan polisi tahu bahwa ada yang membuat lubang
untuk kabur. Tak satupun tahanan mengakuinya, Makar pun tak mengakuinya. Maka
polisi bertanya pada Askenof sebab ia bisa dipercaya. Askenof mengatakan bahwa
apa gunanya memberi tahu pelakunya sebab tak ada untungnya baginya, toh pelaku
itulah yang telah membuatnya menderita selama ini. Ia tak mau memberi tahu
siapa pelakunya dan mengatakan bahwa biarlah Tuhan yang memberitahu mereka.
Malam harinya Makar mengunjungi Askenof yang tengah berbaring dan Askenof
bertanya apa keperluan Makar sampai-sampai harus datang padanya. Askenof
mengatakan kalau ia tidak segera mengatakan keinginannya maka ia akan melapor
pada sipir. Saat itulah Makar menangis dan meminta maaf pada Askenof bahwa
ialah yang telah membunuh saudagar teman Askenof. Sebenarnya waktu itu ia ingin
membunuh Askenof juga tapi karena mendengar suara ribut diluar, ia segera
meletakkan pisau di koper Askenof dan melompat lewat jendela.
Makar memohon maaf
sambil berlutut pada Askenof dan mengatakan bahwa ia akan mengakui segalanya
pada polisi agar Askenof bebas dan bisa kembali ke kampung halamannya. Tapi
Askenof mengatakan buat apa ia bebas, toh istrinya sudah meninggal dan
anak-anaknya mungkin telah melupakannya. Ia tak lagi punya tempat yang harus
dituju. Makarpun semakin menangis, ia lalu memukulkan kepalanya ke tanah sambil
terus meminta maaf pada Askenof. Ia merasa malu bahwa Askenof telah
melindunginya meski ialah yang menjerumuskan Askenof. Mendengar Makar menangis,
ia pun menangis. Jiwanya terasa tenang. Askenof berkata, Tuhanlah yang akan
memaafkan Makar.
Beberapa waktu
kemudian Makar mengakui perbuatannya pada yang berwajib dan Askenof akan segera
dibebaskan. Namun mereka kemudian tahu bahwa Askenof tak lagi bernyawa.
Hiks, sedih dan
tragis.
Seseorang harus
menjalani hukuman selama 26 tahun untuk dosa yang tak pernah dilakukannya, tapi
ia sangat menderita selama itu oleh hukuman-hukuman dunia. Setelah ia
kehilangan segalanya, ternyata Tuhan memberitahu siapa yang sebenarnya
bersalah. Bahkan sebelum hari kebebasan diberikan padanya, Tuhan memanggilnya pada
keabadian.
Kisah ini terkesan
bahwa Tuhan dan dunia tak adil, bahkan penyidik kepolisian tak melakukan
tugasnya dengan benar. Seorang Askenof yang baik hati dan memiliki cinta
keluarganya, harus menerima hukuman atas dosa yang tak dilakukannya. Dan kisah
ini umpama rangkuman kesedihan-kesedihan orang-orang baik di seluruh dunia, di
negara-negara dengan mimpi keadilan yang sama, bahwa kegelapan malam kadangkala
berdiam sangat lama sebelum matahari bertugas memberi cahaya.
Kisah ini juga
mungkin umpama cermin bagi kita yang pernah bahkan sering mengorbankan orang
lain untuk dosa yang kita lakukan karena kita sangat pengecut.
Jakarta, 12 Agustus 2015
No comments:
Post a Comment