MENJADI
SIAPAKAH AKU KELAK? Pertanyaan itu sering bertandang di kepala. Menjadi apa dan
siapa yang kupahami bukan tentang menjadi aku sebagai ilmuwan, dosen,
pengusaha, penulis, guru,petani atau pelukis. Tetapi menjadi sesuatu yang lebih
bijak dari suatu profesi yang tak mengenal kata expire alias
kadaluarsa entah karena usia, sakit menahun atau kecacatan fisik. Karena itu
aku mulai menjajal satu demi satu potensi yang kumiliki, selain tentu saja
bekerja untuk institusi tertentu dan mendapat bayaran. Ada aspirasi yang
menuntut dikembangkan dan ditanam benihnya.
Suatu kali dalam percakapan dengan seorang teman dari negeri jauh, aku
memintanya memberiku semacam masukan untuk menjdi pribadi bijak sebagaimana
seorang teacher dan lecturer lakukan kepada
murid-muridnya. "I am a professor," balasnya untuk
mengklarifikasi posisinya di kampus tempat ia mengajar. Ya, aku tahu dia
seorang professor. Gelar terhormat kaum akademisi. Tetapi yang sebenarnya
kumaksud bukan profesi, tetapi jiwanya sebagai seorang guru. Klarifikasinya
kemudian membuatku sempat berburuk sangka bahwa beliau bukanlah seorang yang
rendah hati dan selalu ingin dipanggil 'Prof' oleh
murid-muridnya. Dimana pada dunia yang lain aku mengenal seorang professor muda
yang justru nyaman dipanggil "Mas" oleh
murid-muridnya.
Terhadap dua akademisi yang sepertinya tak saling kenal itu aku belajar tentang menjadi manusia dengan sederet titel akademik dan manusia dengan jiwa pembebas. Tentang dua guru berbeda dimana yang satu suka dikenal dengan titel terhormatnya dan lainnya dikenal sebagai sahabat. Hal ini jadi mengingatkanku pada Paulo Freire, seorang Doktor di bidang Sejarah dan Filsafat dari Brasil yang justru menjadi aktivis pendidikan sebagai pembebasan jiwa-jiwa manusia.
Dalam bukunya berjudul "Pendidikan Kaum Tertindas", Paulo menegaskan bahwa pendidikan seyogyanya menjadikan manusia bertindak humanis, bukan menjadi penidas baru bagi kaum tertindas. Menurutnya, kaum penindas yang menindas kaum tertindas tidak akan mungkin menemukan kemampuan dan kekuatan untuk membebaskan dirinya sendiri dari tindakan menindas. Soal ini, maka seorang terdidik sekaligu pendidik pertama-tama harus membebaskan dirinya (dan jiwanya) terlebih dahulu sebelum membebaskan manusia-manusia malang (dan katanya uneducated) lain.
Dalam upaya membebaskan diriku, aku berusaha menemukan diriku. Seperti sebuah upaya menemukan keseimbangan dalam beberapa titik dalam diriku sendiri. Karena aku berlatar belakang dari keluarga gagal (broken, separated) maka pertama-tama aku berusaha membebaskan diriku (dan jiwaku) dari kesedihan berkepanjangan dan rasa ketidakadilan yang sepajang 25 tahun kuanggap datangnya dari Tuhan. Karena selama ini aku selalu berusaha memberitahu dunia bahwa keluargaku baik-baik saja, dan nyatanya aku menjajah alam pikirku sendiri.
Kuberitahu, tak pernah ada kata 'tidak sedih' dari anak-anak dari keluarga gagal. Aku bertemu beberapa orang bernasib serupa dan kami sama-sama mengalami proses melepaskan diri dari penjajahan alam pikir kami sendiri, dimana kami menganggap Tuhan tidak adil dan kedua orangtua kami jahat. Sebuah proses yang sangat sulit dan sakit. Umpama seseorang melepaskan kakinya yang terjepit eskalator. Ada darah dan biru lebam disana. Begitulah.
Aku juga
dibesarkan dalam lingkungan pendidikan formal (sekolah) yang menumbuh suburkan
diskriminasi terhadap makna kecerdasan. Seorang murid cerdas dan tidak cerdas
dipisahkan dalam kotak-kotak (kelas berbeda). "Engkau cerdas nak
jika nilai Matematika, Fisika, Bahasa Inggris, Biologi dan Kimiamu diatas 7,"
begitu kan para guru menilai? dan "Engkau ini mau jadi apa nak jika
semua nilai Matematika, Fisika, Bahasa Inggris, Biologi dan Kimiamu
dibawah enam (bahkan sadisnya dibawah lima)," dan hey aku pernah
nilai ulangan Matematikaku dua '2'.
Dan tentu saja kelas-kelas dibagi kedalam 'kelas teladan dan pintar' lalu kelas 'sedikit pintar' lalu 'kelas bodoh dan pembangkang'. Dan kini dalam kehidupan nyata hidup kita diatur para pejabat dan pengusaha yang rata-rata ketika sekolah nilai akademik mereka hancur yang dulunya didik dalam kelas 'bodoh dan pembangkang' dimana mereka suka bolos, minum alkohol, merokok dan suka tawuran.
![]() |
Karyaku yang sudah digitalisasi |
Pernah satu kali waktu aku kelas 4 SD. Pertama kalinya seorang guru memberiku
penghargaan atas gambarku. Beliau membingkainya dan menggantung gambarku di
dinding. Nama beliau adalah Ibu Sri, guru kesenian. Seisi kelas memberi
apresiasi kecuali seorang murid terpandai yang sejak kelas 1 sampai kelas enam
selalu juara satu. Padahal dia tetanggaku dan temanku bermain. Karena itu,
dalam upaya menumbuhsuburkan benih-benih keseimbangan aku melukis. Peristiwa di
kelas 4 SD itu memberiku semangat bahwa meski aku jeblok di Matematika dan Fisika, ada kok yang bisa melihat otak kananku bekerja.
Karena itulah, meski di Indonesia tercinta ini para pekerja seni (apalagi pelukis amatiran seperti diriku) tak dianggap sebagai orang sukses karena tak menghasilkan uang melimpah sebagaimana pengusaha dan dokter, aku menemukan jalanku sendiri. Nggak usahlah lukisanku masuk galeri mewah berharga ratusan juta hingga milirana rupiah. Cukup ada yang bilang "Aku mau dong adopsi," atau "Buatin aku dong," karena katanya bahagia itu berasal dari apreasi bukan harga.
![]() |
Karya awalku yang masih berantakan |
Dan taraaaaa aku sudah buat blognya, tinggal disiplin aja masukin isinya dan
bikin sedikit puisi atau kata-kata apalah agar sedikit romantias, hehehehe.
Kenapa namanya "LogIKA"? Hmmm, karena IKA berasal dari nama kecilku
dan sebagian orang memanggilku demikian. Lagipula nama itu kan bermakna 'satu'
seperti dalam Bhineka Tunggal Ika. Dan memang aku anak kesatu dan satu-satunya
dalam keluarga besarku yang ide-idenya 'katanya' aneh. Dan kata 'Log' berasal
dari kayu bulat alis log. Kalau pernah baca artikel-artikel tentang penangkapan
kayu-kayu log yang mau dijual ke luar negeri pasti paham makna 'Log'. Makna
lain dari log adalah catatan harian semisal log book.
Nah, kayu-kayu log ini biasanya kayu-kayu ukuran besar berusia puluhan tahun berharga mahal. Masyarakat adat biasa membuat mereka menjadi perahu. Dan kayu-kayu besar dan tua itu kalau di hutan-hutan tropis itu berfungsi semacam keran air. Kalau sebagai keran air kayu-kayu ditebang tanpa dipilih-pilih dan tanpa moratorium, maka habislah perkampungan-perkotaan di timur, direndam air bah. Dan semoga aku bisa konsisten belajar melukis untuk merepresentasikan perjuangan masyarakat dalam memelihara alam sebagai upaya pembebasan dari bencana, yang sering dibuat tangan-tangan manusia. Dan untuk menemukan keseimbangan bagi diriku sendiri.
Malam kemarin baru saja dapat ide, bahwa seharusnya aku bisa membuat sebuah proyek kecil-kecilan terkait tema-tema dalam lukisanku. Dan tentu saja berdasarkan pengalamanku bekerja bersama aktivis dan masyarakat selama beberapa tahun belakangan ini. Sebagai orang kecil dengan suara lemah, aku harus berguna. Setidaknya dalam menyuarakan pembebasan bagi komunitas-komunitas dimana aku pernah bersua dan bekerja bersama mereka. Mulai sekarang kuharap kegiatan melukis bukan lagi sekedar hobi dan upaya mencari keseimbangan diri, melainkan jalan bagi sebuah pembebasan.
Depok, Agustus 2015
No comments:
Post a Comment