![]() |
Register 45 Tidak Lagi Berbentuk Hutan sebagaimana Statusnya |
Ini tulisan lama dan lumayan panjang dan tidak saya ubah. Tulisan ini pernah kuikutsertakan dalam lomba menulis reportase yang diadakan oleh AJI Bandar Lmapung tahun 2014 silam. Tulisan ini memenangkan juara 3. Selamat membaca.
***
Bau busuk menguar di dalam bis ketika
saya masuk ke wilayah perbatasan Tulang Bawang dan Mesuji, saat kernet bis
sesekali menurunkan dan menaikkan penumpang dalam perjalanan. Dari kaca bis
yang saya tumpangi dari Bandar Lampung saya melihat asap kelabu mengepul dari
beberapa lokasi pabrik yang tak lain merupakan pabrik pengolahan kelapa sawit
dan singkong. Lelah dan kantuk akibat perjalanan panjang dengan kondisi jalan
yang buruk saya acuhkan manakala mata saya melihat asap kelabu yang
berduyun-dutun keluar dari cerobong yang menantang langit seakan-akan
mengabarkan bahwa langit di wilayah ini tak akan pernah biru.
Saya juga melihat sebuah pabrik besar dengan lokasi yang luas dan penjagaan yang ketat dikenal masyarakat milik perusahaan Bumi Waras sedang beroperasi mengolah singkong. Kabarnya, ke pabrik itulah para petani di Tulang Bawang dan para okupan di Register 45, Mesuji menjual singkong mereka. Pabrik itu adalah milik sebuah perusahaan raksasa yang selama ini tak tersentuh hukum, yang juga induk perusahaan yang berkonflik dengan okupan di Register 45.
Saya juga melihat sebuah pabrik besar dengan lokasi yang luas dan penjagaan yang ketat dikenal masyarakat milik perusahaan Bumi Waras sedang beroperasi mengolah singkong. Kabarnya, ke pabrik itulah para petani di Tulang Bawang dan para okupan di Register 45, Mesuji menjual singkong mereka. Pabrik itu adalah milik sebuah perusahaan raksasa yang selama ini tak tersentuh hukum, yang juga induk perusahaan yang berkonflik dengan okupan di Register 45.
Register 45, Mesuji adalah tujuan
perjalanan saya kali ini. Meski beberapa hari sebelumnya saya melihat sebuah
berita yang menjadi headline di salah satu koran lokal, saya memilih
mengumpulkan keberanian saya alih-alih berbalik karena takut menjadi korban
salah tangkap atau tindakan kekerasan. Beberapa berita di media massa dan hasil
penelitian secara marathon menjelaskan bahwa konflik di Register 45 semakin tak
terbaca pasca penggusuran 2011 dan keluarnya rekomendasi TGPF pada Januari
2012.
Jumlah okupan bertambah menjadi sekitar
17.000an orang. Sebagian dari mereka adalah okupan lama yang berkali-kali
menjadi korban penggusuran, dan sebagian lainnya adalah okupan baru yang datang
sejak 2011 hingga beberapa bulan kebelakang. Saat ini, okupan di Register 45
terbagi kedalam 3 wilayah besar yaitu Moro-Moro, Pekat dan Brabasan dengan 18
kelompok yang masing-masing dipimpin ketua kelompok atau korlap. Kelompok-kelompok
tersebut terbagi lagi kedalam tiga kelompok berdasarkan kepentingan, yaitu yang
mengatasnamakan masyarakat adat, okupan yang mengorganisir diri dan korban spekulan.
Konflik di Register 45 bukan saja
secara hukum menghilangkan hak warga negara atas akses lahan, juga atas hak-hak
dasar warga negara seperti akses atas perlindungan sosial dan program-program
kesejahteraan sosial. Melihat banyaknya jumlah okupan dan beberapa tragedi
kemanusiaan yang dilakukan secara struktural, sistematis dan berkelanjutan
menjadikan Register 45 sebagai wilayah ‘battlefield’ yang berdampak buruk bagi
generasi yang lahir di wilayah itu. Bukan saja karena ketiadaan dokumen
kewarganegaraan dan perlindungan tas hak pendidikan dan kesehatan, juga karena
ketidak pedualian negara untuk menyediakan ‘solusi’ yang manusiwi atas konflik
ini menjadikan mereka sebagai ‘masyarakat tanpa berkewarganegaraan’.
Selama bertahun-tahun tragedi
kemanusiaan berlangsung di Register 45. Darah dan keringat tertumpah dan
bersatu bersama tanah, seolah menjadi pupuk bagi tanaman singkong yang tak saja
menghidupi para okupan, juga pemilik pabrik, dan pihak lainnya seperti pebisnis
dan preman. Meski marah, kecewa dan tak berdaya atas sikap pemerintah yang
berat sebelah, para okupan tak pernah berniat hengkang dari tempat itu dan
memilih melawan sebagai cara bertahan paling natural. Jumlah mereka kini
mencapai lebih dari 17.000 orang dan lahan yang mereka duduki mencapai kurang
lebih 10.000an hektar. Apa yang sebenarnya terjadi?
Saya merasa heran mengapa orang
berbondong-bondong datang ke Register 45 yang dikenal sebagai kantong konflik
agraria dan tragedi kemanusiaan di provinsi Lampung dalam beberapa tahun
terakhir ini. Pengalaman banyak peneliti dan jurnalis yang masuk secara
bergantian ke wilayah ini dalam beberapa tahun belakangan belum memberikan
gambaran menyeluruh dan utuh mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Pemberitaan
media massa dan hasil penelitian belum mengungkap sepenuhnya tentang ‘sesuatu’
yang sedang berlangsung dan tak diketahui.
Oleh karena itu, atas bantuan seorang guide lapangan yang saya percaya, saya masuk ke seluruh wilayah Register 45 demi mendapatkan informasi atas sudut pandang para okupan. Mengumpulkan informasi dari mereka yang dianggap tak memiliki informasi merupakan tantangan yang menarik.
Oleh karena itu, atas bantuan seorang guide lapangan yang saya percaya, saya masuk ke seluruh wilayah Register 45 demi mendapatkan informasi atas sudut pandang para okupan. Mengumpulkan informasi dari mereka yang dianggap tak memiliki informasi merupakan tantangan yang menarik.
Mereka yang Terlempar ke Register 45
Pertama-tama saya bertemu seorang
perempuan yang dikenal sebagai Mbah Pekat/ Mbah Sekret (E). Ia dan suaminya
tinggal di salah satu kamar di sekretariat Persatuan Petani Moro-Moro Way
Serdang (PPMWS) atau yang dikenal sebagai rumah panjang. Perempuan berusia 57
tahun tersebut dikenal pekerja keras, tangguh, dan memiliki cara pandang unik
mengenai keberadaannya di Register 45.
Tubuhnya yang setinggi 165 cm terlihat masih tegap untuk perempuan seusianya, juga kulitnya yang masih segar dan bersih. Rambutnya yang memutih dan menipis, kulitnya yang mulai bergelambir dan kakinya yang sering terkena rematik tak membuatnya mengeluh. Sehari-hari ia bekerja sebagai buruh tani di kebun-kebun singkong milik masyarakat Moro-Moro. Ia dan suaminya biasa berangkat jam 7 pagi dan tiba kembali di pondoknya pukul 4 sore. Mereka selalu menggunakan sepeda ontel secara berboncengan karena tak memiliki sepeda motor.
Tubuhnya yang setinggi 165 cm terlihat masih tegap untuk perempuan seusianya, juga kulitnya yang masih segar dan bersih. Rambutnya yang memutih dan menipis, kulitnya yang mulai bergelambir dan kakinya yang sering terkena rematik tak membuatnya mengeluh. Sehari-hari ia bekerja sebagai buruh tani di kebun-kebun singkong milik masyarakat Moro-Moro. Ia dan suaminya biasa berangkat jam 7 pagi dan tiba kembali di pondoknya pukul 4 sore. Mereka selalu menggunakan sepeda ontel secara berboncengan karena tak memiliki sepeda motor.
Sesungguhnya E dan suaminya berasal
dari Lampung Timur dan menjalani hidup seperti orang kebanyakan. Untuk
menghidupi keluarga dan menyekolahkan keempat anaknya, E dan suaminya bekerja
di pabrik sebagai buruh tani di PT. Indo Lampung. Ia terpaksa bekerja keras
karena ia harus membayar hutang yang sangat besar karena ia telah tertipu dan
sertifikat rumahnya digadaikan orang.
Sebagai pekerja keras yang tak bisa bekerja lagi di pabrik karena usianya yang sudah uzur, ia melihat-lihat peluang untuk mencari pekerjaan baru untuk memperbaiki kehidupan keluarganya. Meski tak lagi muda, sebagai seorang ibu, ia merasa masih memiliki kewajiban memberi nafkah kepada anak-anaknya meski keempatnya telah menikah.
Sebagai pekerja keras yang tak bisa bekerja lagi di pabrik karena usianya yang sudah uzur, ia melihat-lihat peluang untuk mencari pekerjaan baru untuk memperbaiki kehidupan keluarganya. Meski tak lagi muda, sebagai seorang ibu, ia merasa masih memiliki kewajiban memberi nafkah kepada anak-anaknya meski keempatnya telah menikah.
Ia mengaku saat mengantar anak
bungsunya yang baru menikah ke wilayah Ogan Komering Ilir, ia melihat lahan
bukaan baru di sepanjang jalan Lintas Timur. "Waktu saya ke Ogan sana saya lihat itu di Pekat banyak bukaan baru, Katanya wilayah pemekaran untuk dua desa. Jadi saya pingin punya tanah disana." Ia melihat peluang baru dan
berusaha mendapatkan informasi.
Ia berharap bisa membuka lahan untuk bertani sehingga tak perlu menjadi buruh dengan upah kecil. Takdir kemudian membawanya bertemu dengan seorang lelaki etnis Bali bernama (K) yang ternyata memiliki lahan garapan di lokasi yang ia maksud. Atas bantuan K, ia memperoleh tempat untuk menumpang hidup di gubuk seorang Bali bernama (N) secara gratis. Pada 8 Januari 2010, ia dan suaminya masuk ke wilayah bukaan baru yang kemudian ia ketahui bernama Pekat atau eks Nanasan. Baginya, lahan baru adalah harapan baru.
Ia berharap bisa membuka lahan untuk bertani sehingga tak perlu menjadi buruh dengan upah kecil. Takdir kemudian membawanya bertemu dengan seorang lelaki etnis Bali bernama (K) yang ternyata memiliki lahan garapan di lokasi yang ia maksud. Atas bantuan K, ia memperoleh tempat untuk menumpang hidup di gubuk seorang Bali bernama (N) secara gratis. Pada 8 Januari 2010, ia dan suaminya masuk ke wilayah bukaan baru yang kemudian ia ketahui bernama Pekat atau eks Nanasan. Baginya, lahan baru adalah harapan baru.
Karena tak memiliki lahan garapan dan
hanya bermodal uang Rp. 500,000, E dan suaminya memulai hidup baru mereka
sebagai buruh tani. Ia memperoleh pekerjaan pertamanya dari seorang Bali
bernama (W) yang tak lain adalah tetangga yang pertama ia kenal di wilayah itu.
Meski hanya diupah Rp. 40.000/ hari (Rp. 200.000/5 hari) untuk memupuk tanaman singkong,
ia bersyukur karena dengan demikian ia bisa berpenghasilan dengan keringatnya
sendiri.
Dari (W) pula ia memperoleh informasi bahwa lahan yang mereka tenpati meurpakan lahan Register. Meski ia merasa khawatir akan keselamatan, namun dengan melihat banyaknya orang yang membuka lahan di Pekat, ia merasa punya banyak teman senasib sepenanggungan dan menyerahkan kepada Tuhan atas apa yang akan terjadi kemudian atas hidupnya.
Dari (W) pula ia memperoleh informasi bahwa lahan yang mereka tenpati meurpakan lahan Register. Meski ia merasa khawatir akan keselamatan, namun dengan melihat banyaknya orang yang membuka lahan di Pekat, ia merasa punya banyak teman senasib sepenanggungan dan menyerahkan kepada Tuhan atas apa yang akan terjadi kemudian atas hidupnya.
Setengah tahun kemudian ia memperoleh
lahan garapan seluas 3 ha yang ia sewa dari tetangganya. Melihat tanah yang
luas itu ia dan suaminya bergiat mengumpulkan bibit singkong yang ia peroleh
dari pohon-pohon singkong milik tetangganya yang baru panen. Ia juga membeli
pupuk sebanyak 4 kwintal seharga Rp. 250.000/ kwintal sebagai modal.
Karena tak memiliki uang untuk mengupah orang menanam lahan seluas itu, ia dan suaminya mengerjakan sendiri pekerjaan berat itu selama berminggu-minggu. Senyum terkembang di wajahnya dan ia menerawang pada mimpi yang tak lama kemudian hancur berkeping-keping.
Karena tak memiliki uang untuk mengupah orang menanam lahan seluas itu, ia dan suaminya mengerjakan sendiri pekerjaan berat itu selama berminggu-minggu. Senyum terkembang di wajahnya dan ia menerawang pada mimpi yang tak lama kemudian hancur berkeping-keping.
September 2011, ketika tanaman
singkongnya masih berusia antara 3 atau 4 bulan, terjadilah penggusuran. Ia
melihat dengan jelas bagaimana wajah-wajah beringas brimob, orang Pemkab dan
Pam Swakarsa (orang perusahaan) merubuhkan gubuk W, gubuknya dan gubuk-gubuk
lainnya. Serta merta rematiknya kambuh dan ia terpaksa kembali ke kampunya di
Lampung Timur. Tak lama ia kembali dan tinggal di tenda-tenda yang dipasang
untuk pengungsi penggusuran di wilayah Moro-Moro.
Selama tiga bulan sejak Januari-Maret 2012 ia dan suaminya tinggal di Moro-Moro hingga mereka memperoleh kehidupan baru. Saat di Moro-Moro itulah ia bertemu dengan ketua Komnas HAM, Wakil Menteri Hukum dan HAM dan banyak orang penting dari Jakarta yang menurutnya peduli dengan nasib korban penggusuran.
Selama tiga bulan sejak Januari-Maret 2012 ia dan suaminya tinggal di Moro-Moro hingga mereka memperoleh kehidupan baru. Saat di Moro-Moro itulah ia bertemu dengan ketua Komnas HAM, Wakil Menteri Hukum dan HAM dan banyak orang penting dari Jakarta yang menurutnya peduli dengan nasib korban penggusuran.
Belajar dari peristiwa yang dialaminya,
E kemudian tahu bahwa benar disatu sisi bahwa dirinya dan okupan lainnya
bersalah karena telah menggarap lahan Register. Namun, melihat hidupnya ke
belakang dan perlakuan buruk yang ia alami dari negara membuatnya ingin tinggal
sampai waktu yang tak ditentukan di Register 45. Kembali ke Kampung halamannya
sama dengan bunuh diri, karena tak ada pabrik manapun yang mau mempekerjakan
perempuan setua dirinya. Ia tak mau jadi pengangguran.
Ia juga tak mau tinggal di rumah anak dan menantunya tanpa melakukan apa-apa. Sebagai orang miskin yang pernah gagal menyekolahkan keempat anaknya, ia dan suaminya bertekad akan membantu membiayai sekolah cucu-cucunya dari hasil kerja kerasnya di Register 45 sebagai buruh tani.
Ia juga tak mau tinggal di rumah anak dan menantunya tanpa melakukan apa-apa. Sebagai orang miskin yang pernah gagal menyekolahkan keempat anaknya, ia dan suaminya bertekad akan membantu membiayai sekolah cucu-cucunya dari hasil kerja kerasnya di Register 45 sebagai buruh tani.
Ia justru heran pada banyak masyarakat
Bali yang dianggapnya sudah kaya raya tetapi masih menggarap lahan di Register
45. Selama di Moro-Moro, ia bekerja upahan di kebun milik seorang Bali bernama
(L) yang memiliki kebun singkong seluas 11 ha. Ia mengaku pernah ke rumah (L)
di Lampung tengah dan menyaksikan sendiri bahwa (L) mampu membangun rumah mewah
bak istana, membeli mobil keluaran terbaru dan membeli lahan di wilayah lain
hasil dari Moro-Moro.
Meski ia melihat dengan jelas kejanggalan atas perbedaan mencolok antara (L) dan banyak buruh tani miskin seperti dirinya, ia tak ambil pusing. Sebagai masyarakat tak pendidikan, tanpa harta dan pekerjaan tetap, ia memilih bertahan hidup selagi keadaam masih memungkinkan dan berharap pemerintah segera melepaskan Register 45 untuk dipinjamkan kepada orang-orang tak berdaya seperti dirinya.
Meski ia melihat dengan jelas kejanggalan atas perbedaan mencolok antara (L) dan banyak buruh tani miskin seperti dirinya, ia tak ambil pusing. Sebagai masyarakat tak pendidikan, tanpa harta dan pekerjaan tetap, ia memilih bertahan hidup selagi keadaam masih memungkinkan dan berharap pemerintah segera melepaskan Register 45 untuk dipinjamkan kepada orang-orang tak berdaya seperti dirinya.
Kisah E yang terlempar dari kampung
halamannya karena kemiskinan, juga dialami sesama korban penggusuran lokasi
eks.Pekat bernama (S). Lelaki Bali berusia 29 tahun, bertubuh tinggi kurus dan
berkulit cokelat karena terbakar matahari ini mengaku pertama kali masuk ke
lokasi Pekat pada tahun 2008. Karena hanya berpendidikan SMP dan tak memiliki
kehalian lain selain bertani, maka ia dan keluarganya memutuskan untuk mengikuti
ajakan kawannya untuk masuk ke Register 45 dan membuka lahan untuk menanam
singkong. Meski ia tahu resikonya masuk ke lahan Register, tetapi ia memilih
berhadapan dengan resiko yang tak pernah terbayangkan daripada bertahan di
kampung halamannya dan hidup dari ketika rentenir.
Di kampung halamannya di Kecamatan
Bakauheni, Kalianda, Lampung Selatan ia dan keluarganya hanya bisa menyambung
hidup dari bertani jagung. Kehidupan miskin yang ia jalani tak lepas dari
suntikan dana rentenir yang memberi pinjaman berjangka dengan bunga 20%. Hasil
panen yang sedikit tak pernah mampu memberi mereka ruang untuk bernapas.
Demi menjaga nafas keluarga, mereka harus mengembalikan modal beserta bunganya yang besar kepada rentenir. Tak mau hidupnya berada dalam baying-bayang rentenir, bermodal uang pinjaman dari kerabatnya, ia dan lima orang anggota keluarganya yang lain masuk ke Register 45 wilayah Pekat dan menebang tanaman albasia untuk membuka lahan baru pada 2008.
Demi menjaga nafas keluarga, mereka harus mengembalikan modal beserta bunganya yang besar kepada rentenir. Tak mau hidupnya berada dalam baying-bayang rentenir, bermodal uang pinjaman dari kerabatnya, ia dan lima orang anggota keluarganya yang lain masuk ke Register 45 wilayah Pekat dan menebang tanaman albasia untuk membuka lahan baru pada 2008.
Menjelang tanaman singkongnya masuk
masa panen untuk yang kedua kali pada 2010, terjadilah penggusuran. Alih-alih
pergi ke kampung halaman, ia memilih mengungsi ke Simpang D dan kembali ke
Register pada 2011 dengan modal pinjaman. Ia kembali membuka lahan baru seluas
1 ha dengan modal Rp. 2 juta dan membangun gubuk 3x4m seharga Rp. 3 juta dengan
beberapa barang seperlunya yang dipinjamnya dari saudaranya.
Tragedi serupa kemudian terulang lagi, penggusuran kembali terjadi saat singkongnya masuk usia panen. Karena lelah, ia melarikan diri ke Sumatera Selatan dan bekerja sebagai buruh di perkebunan karet. Ia berharap jika ia sukses di Sumatera Selatan, maka ia tak perlu kembali ke Register.
Pada 2012 ia menikah dengan seorang gadis di kampung halamannya di Kalianda dan setelah kelahiran anak pertama, ia kembali ke Register 45. Kali ini ia mendapat lahan baru di Karya Jaya (masuk wilayah Brabasan). Sebagaimana okupan lainnya, ia mendapat jatah lahan 1 ha untuk kebun dan 1/8 ha untuk pekarangan rumah. Lahan itu diberikan oleh pemimpin kelompok yang memimpin mereka masuk ke wilayah dudukan baru dan sebagai penjamin keselamatan mereka dari penggusuran dan kekerasan yang dilakukan preman.
Kisah lain datang dari perempuan bertubuh sedikit tambun, berkulit gelap karena terbakar matahari berusia 50 tahun bernama (M). Perempuan yang berasal dari Lampung Timur ini masuk ke Register 45 di wilayah Pekat karena tertipu. Karena kehidupannya sebagai buruh tani di kebun jagung dan cokelat tak menjanjikan, ia memilih mengikuti saran temannya untuk masuk ke Mesuji. Temannya memperoleh informasi bahwa ada wilayah pemekaran desa yang sedang dibuka, sehingga siapapun boleh datang dan menggarap lahan semampu mereka, dan dijamin tak aka nada penggusuran.
Bermodalkan sedikit uang untuk makan sehari-hari, ia bersama suami dan dua anak lelakinya berburu nasib ke Mesuji. Saat datang ke lokasi pada 2009 ia terkejut karena lokasinya tak sama dengan yang ada dalam imajinasinya. Kebiasaannya mengelola tanaman tumpang sari ke tanaman monokultur singkong membuatnya harus belajar teknik berkebun singkong. Ia belajar dari nol sebagai buruh dan ‘ngleles’ singkong (memungut sisa panen) di lahan-lahan okupan yang lain.
![]() |
Sebuah sekolah dasar di Register 45 |
Tragedi serupa kemudian terulang lagi, penggusuran kembali terjadi saat singkongnya masuk usia panen. Karena lelah, ia melarikan diri ke Sumatera Selatan dan bekerja sebagai buruh di perkebunan karet. Ia berharap jika ia sukses di Sumatera Selatan, maka ia tak perlu kembali ke Register.
Pada 2012 ia menikah dengan seorang gadis di kampung halamannya di Kalianda dan setelah kelahiran anak pertama, ia kembali ke Register 45. Kali ini ia mendapat lahan baru di Karya Jaya (masuk wilayah Brabasan). Sebagaimana okupan lainnya, ia mendapat jatah lahan 1 ha untuk kebun dan 1/8 ha untuk pekarangan rumah. Lahan itu diberikan oleh pemimpin kelompok yang memimpin mereka masuk ke wilayah dudukan baru dan sebagai penjamin keselamatan mereka dari penggusuran dan kekerasan yang dilakukan preman.
Kisah lain datang dari perempuan bertubuh sedikit tambun, berkulit gelap karena terbakar matahari berusia 50 tahun bernama (M). Perempuan yang berasal dari Lampung Timur ini masuk ke Register 45 di wilayah Pekat karena tertipu. Karena kehidupannya sebagai buruh tani di kebun jagung dan cokelat tak menjanjikan, ia memilih mengikuti saran temannya untuk masuk ke Mesuji. Temannya memperoleh informasi bahwa ada wilayah pemekaran desa yang sedang dibuka, sehingga siapapun boleh datang dan menggarap lahan semampu mereka, dan dijamin tak aka nada penggusuran.
Bermodalkan sedikit uang untuk makan sehari-hari, ia bersama suami dan dua anak lelakinya berburu nasib ke Mesuji. Saat datang ke lokasi pada 2009 ia terkejut karena lokasinya tak sama dengan yang ada dalam imajinasinya. Kebiasaannya mengelola tanaman tumpang sari ke tanaman monokultur singkong membuatnya harus belajar teknik berkebun singkong. Ia belajar dari nol sebagai buruh dan ‘ngleles’ singkong (memungut sisa panen) di lahan-lahan okupan yang lain.
Selama tinggal di Pekat, ia menemui
kejanggalan lain yang dikemudian hari diketahuinya sebagai modus penipuan. Ia
dan okupan lainnya ditipu sekelompok orang yang menamakan diri mereka penolong
masyarakat. Setiap orang dijanjikan akan diberikan dokumen seoerti KTP dan KK.
Karena ketidaktahuan, ia menyerahkan Rp. 100.000/orang untuk biaya photo, KTP
dan KK. Ia juga diminta menyerahkan data jumlah tanaman dan umurnya sehingga
kalau ada penggusuran bisa diklaim dan memperoleh ganti rugi.
Tak lama berselang, yaitu pada 2010, ia
menjadi korban penggusuran. Ia hanya bisa menangis sambil terduduk di tanah
karena merasa tak berdaya saat gubuknya dirobohkan dan tanaman singkongnya
dicabuti Pam Swakarsa. Brimob juga tak memperbolehkan korban penggusuran
beristirahat di Masjid atau Pura yang tak lama kemudian juga dirubuhkan. Terpaksa
Ia dan keluarganya harus mengungsi ke Moro-Moro dan tinggal di tenda.
Karena merasa tak memiliki harapan dan tak ada pekerjaan, kemudian ia dan keluargnya pindah ke Pasar Simpang Labar dan tinggal selama satu tahun dan kembali ke Brabasan pada 2012. Keluarganya mendapat jatah 1 ha untuk kebun dan ‘sawolon’ atau 1/8 ha untuk pekarangan rumah. Meski tak tahu menahu siapa pemimpin kelompoknya dan seperti apa kekuatan yang ada dibelakang keberaniannya menduduki lahan baru milik perusahaan setelah penebangan besar-besaran pohon albasia, M hanya berharap bahwa kedepan dan selamanya tak aka nada lagi penggusuran dan tindakan kekerasan lainnya dari aparat.
Karena merasa tak memiliki harapan dan tak ada pekerjaan, kemudian ia dan keluargnya pindah ke Pasar Simpang Labar dan tinggal selama satu tahun dan kembali ke Brabasan pada 2012. Keluarganya mendapat jatah 1 ha untuk kebun dan ‘sawolon’ atau 1/8 ha untuk pekarangan rumah. Meski tak tahu menahu siapa pemimpin kelompoknya dan seperti apa kekuatan yang ada dibelakang keberaniannya menduduki lahan baru milik perusahaan setelah penebangan besar-besaran pohon albasia, M hanya berharap bahwa kedepan dan selamanya tak aka nada lagi penggusuran dan tindakan kekerasan lainnya dari aparat.
Kisah E, S dan M merupakan kisah yang
menarik karena ternyata mereka merupakan korban penggusuran di wilayah Pekat
yang memulai hidup baru di dua wilayah berbeda di Register 45. Pencarian saya
kemudian sampai pada empat orang lainnya di kawasan Pekat. Keempatnya adalah K
(57) dan J (62), serta D (34) dan I
(33). Mereka adalah dua pasang suami istri dari generasi yang berbeda yang
menurut saya memiliki daya tahan yang tinggi dan mental yang kuat atas kondisi
di lapangan yang dikenal ‘ganas’ karena ulah para preman.
Jika K dan J adalah pasangan tua yang mengadu nasib di Register 45 sebagai buruh tani karena tak kuat lagi menanggung beban hidup sebagai buruh perkebunan di Menggala, maka D dan I adalah pasangan muda yang memang bermodal ‘nekat’ mengasi rezeki di Register 45 yang mereka pahami sebagai tanah Register dan wilayah berkonflik.
Jika K dan J adalah pasangan tua yang mengadu nasib di Register 45 sebagai buruh tani karena tak kuat lagi menanggung beban hidup sebagai buruh perkebunan di Menggala, maka D dan I adalah pasangan muda yang memang bermodal ‘nekat’ mengasi rezeki di Register 45 yang mereka pahami sebagai tanah Register dan wilayah berkonflik.
Kedua pasang keluarga itu sama-sama
masuk ke Register 45 pada tahun 2009 dan mengalami penggusuran pada 2010. Saat
masuk kembali pada 2011 dengan lokasi yang berbeda dari sebelumnya, dari
‘pemimpin’ kelompok keduanya sama-sama memperoleh jatah 1 ha lahan untuk kebun
dan 1/8 ha untuk pekarangan. Namun, pasca konflik pada 2011 kondisi yang
terjadi di lapangan berubah. Mereka mulai merasa kesulitan membedan maka
okupan, preman dan Pam Swakarsa.
Mereka curiga bahwa di wilayah Pekat semua orang membaur sebagai okupan dan melepaskan atribut mereka sehingga tak jelas mana orang yang butuh bertahan hidup dan mana yang menjadi mata-mata. Kepada saya D dan I bercerita bahwa kondisi saat ini begitu rentan dan tak jelas. Mereka sering menjadi korban preman dan sesama okupan.
Mereka curiga bahwa di wilayah Pekat semua orang membaur sebagai okupan dan melepaskan atribut mereka sehingga tak jelas mana orang yang butuh bertahan hidup dan mana yang menjadi mata-mata. Kepada saya D dan I bercerita bahwa kondisi saat ini begitu rentan dan tak jelas. Mereka sering menjadi korban preman dan sesama okupan.
Di wilayah Pekat, para preman bekerja
secara terorganisir. Bahkan D dan I menuturkan bahwa belum lama ini ada seorang
okupan yang menjadi korban preman dan okupan lainnya. Okupan bernama (A) pulang
ke kampung halamannya sehari menjelang panen singkong. Namun, ketika ia ia
kembali kebun singkongnya seluas 1 ha telah kosong. Rupanya sebelum ia pulang,
para preman tahu bahwa ia akan panen.
Preman-preman tersebut memerintahkan beberapa okupan tetangga (A) untuk memanen singkong di lahan (A) dna kepada (A) para preman itu menyerahkan cek sebagai bukti bahwa sebenarnya mereka berniat membantu (A) memanen singkong agar mereka mendapat sedikit upah. Sayangnya, A tertipu sebab cek yang ia terima merupakan cek kosong.
Preman-preman tersebut memerintahkan beberapa okupan tetangga (A) untuk memanen singkong di lahan (A) dna kepada (A) para preman itu menyerahkan cek sebagai bukti bahwa sebenarnya mereka berniat membantu (A) memanen singkong agar mereka mendapat sedikit upah. Sayangnya, A tertipu sebab cek yang ia terima merupakan cek kosong.
Selain itu, D dan I bercerita bahwa di
Pekat, pereman lebih berkuasa daripada ketua kelompok. Pernah suatu hari
seorang okupan bernama (B) dipukuli para preman di lahan garapannya. Preman itu
lupa telah memberikan lahan itu kepada (B) dan menggunakan alibi bahwa ‘B keras
kepala’ untuk melakukan tindakan kekerasan. Wajah (B) pun bonyok karena
dipukuli. Melihat peristiwa itu, D dan I memilih legowo dan tidak melakukan
perlawanan atas sikap para preman sebab tak mau menjadi korban kekerasan
mereka.
Cukup sudah mereka menelan pil pahit dengan menyerahkan upeti berkala senilai Rp. 1 juta/ ha menjelang tanam singkong dan Rp. 1 juta/ha setelah panen singkong. Keduanya mengaku tak bisa menghindari ulah para preman sebab mereka diyakini memiliki mata-mata orang dalam yang bisa memantau jadwal tanam dan panen singkong. Tak jarang, para preman yang selalu datang menggunakan mobil mewah dan berjumlah 5-6 orang membuntuti truk singkong hingga ke penjual atau pabrik demi mendapatkan upeti mereka.
Cukup sudah mereka menelan pil pahit dengan menyerahkan upeti berkala senilai Rp. 1 juta/ ha menjelang tanam singkong dan Rp. 1 juta/ha setelah panen singkong. Keduanya mengaku tak bisa menghindari ulah para preman sebab mereka diyakini memiliki mata-mata orang dalam yang bisa memantau jadwal tanam dan panen singkong. Tak jarang, para preman yang selalu datang menggunakan mobil mewah dan berjumlah 5-6 orang membuntuti truk singkong hingga ke penjual atau pabrik demi mendapatkan upeti mereka.
Bertahan Demi Keadilan
Dari hasil liputan dan observasi saya
yang berdurasi 48 jam ini saya menyimpulkan bahwa seluruh informan saya memiliki
latar belakang yang serupa dan datang ke Register 45 dengan alasan serupa, juga
memiliki harapan serupa atas nasib mereka dan lahan ‘bertuah’ bernama Register
45. Pertama, mereka yang datang ke
Register 45 dan terus bertahan meski berkali-kali mengalami penggusuran dan
kekerasan dari para preman adalah orang-orang yang tidak memiliki harta benda
di kampung halaman sehingga keberadaan mereka di wilayah itu sebagai ungkapan
‘memaksa’ negara untuk meninjau ulang kebijakan distribusi lahan.
Mereka menganggap bahwa negara telah berlaku tak adil dan belum memberikan kemerdekaan secara penuh kepada rakyatnya, sehingga mereka merasa perlu ‘merebut’ hak mereka dari negara yang diberikan kepada perusahaan secara tidak adil.
Mereka menganggap bahwa negara telah berlaku tak adil dan belum memberikan kemerdekaan secara penuh kepada rakyatnya, sehingga mereka merasa perlu ‘merebut’ hak mereka dari negara yang diberikan kepada perusahaan secara tidak adil.
Kedua, mereka adalah
orang-orang dengan tingkat pendidikan rendah dan tak memiliki kemampuan lain
selain bertani sebagai cara bertahan hidup paling natural. Oleh karena itu
mereka membutuhkan lahan untuk bertahan dan menyambung hidup. Maka mereka akan
bertahan selagi mampu dan terus menggalang kekuatan dengan mengesampiangkan
gangguan-gangguan yang dilakukan para preman. Mereka pasrah saja atas nasib
yang belum mereka ketahui dan terus menjalani hidup di lahan yang menjadi jatah
mereka dari pemimpin kelompok/ korlap. Sikap mereka sekarang adalah: digusur ya
mengungsi, lalu kembali lagi.
Ketiga, terdapat rantai
bisnis yang melibatkan banyak orang dan bernilai Milyaran Rupiah. Jika dilihat
dari kebutuhan dasar para okupan yang memang tinggal dilokasi, terdapat
berbagai jenis komoditas dalam rantai perdagangan mulai dari sembako, bahan
bangunan, sandang, elektronik, sewa-menyewa truk pengangkut singkong, bahan
bakar, gas, dan bisnis-bisnis lain yang terus bermunculan.
Jika harga rata-rata singkong Rp. 700/ kg dan rata-rata panen per ha mencapai 12 ton ( atau rata-rata Rp. 8 juta per ha), maka akan diperoleh angka yang fantastis dari hasil penjualan singkong dari lahan seluas kurang lebih 10.000 ha dari seluruh kawasan yang diduduki okupan di Register 45. Siapa yang akan melepaskan peluang mempertahankan rantai bisnis dengan konsumen lebih dari 17.000 orang, ditambah anggota keluarga mereka?
Jika harga rata-rata singkong Rp. 700/ kg dan rata-rata panen per ha mencapai 12 ton ( atau rata-rata Rp. 8 juta per ha), maka akan diperoleh angka yang fantastis dari hasil penjualan singkong dari lahan seluas kurang lebih 10.000 ha dari seluruh kawasan yang diduduki okupan di Register 45. Siapa yang akan melepaskan peluang mempertahankan rantai bisnis dengan konsumen lebih dari 17.000 orang, ditambah anggota keluarga mereka?
Keempat, terdapat
‘kekuasaan’ yang tak tersentuh. Pasca rekomendasi TGPF, jumlah okupan terus
bertambah dan mereka berdatangan secara bergelombang seperti pasukan yang
dipimpin seorang panglima. Berkuasanya 18 kelompok di tiga wilayah utama
mengindikasikan ‘hidden agenda’ atas
pemetaan sebuah potensi. Misalnya, di lokasi bernama Brabasan terdapat
pembagian kampung-kampung atau blok-blok dengan berbagai macam modus.
Misalnya saya mendapati blok-blok yang dinamai sebagai ‘kampung masyarakat adat Labuhan Batin’, blok ‘pusat latihan militer’ hingga blok ‘perumahan veteran’. Sampai saat ini, saya belum mendapat informasi siapa sebenarnya ‘dalang’ dibalik klaim yang terencana dan rapi ini.
Misalnya saya mendapati blok-blok yang dinamai sebagai ‘kampung masyarakat adat Labuhan Batin’, blok ‘pusat latihan militer’ hingga blok ‘perumahan veteran’. Sampai saat ini, saya belum mendapat informasi siapa sebenarnya ‘dalang’ dibalik klaim yang terencana dan rapi ini.
Kelima, mengapa
perusahaan bernama PT. Silva Inhutani Lampung tak tersentuh? Secara kasat mata,
meski perusahaan tersebut telah kehilangan ribuan hektar lahan konsesinya,
tetapi anak perusahaan BW (yang merupakan induk PT. SIL) diketahui sebagai
penerima ribuan ton singkong dari kawasan Register 45. Jika perusahaan
menyalahi prosedur hukum sebagai pemilik konsesi yang berpotensi merugikan
negara, maka mengapa negara tak mencabut izin konsesinya dan menjadikan lahan
Register 45 sebagai lahan konsesi rakyat? Sayangnya, liputan dan observasi saya
belum mampu menjawan semua ini.
Keenam, okupan
Register 45 menginginkan pemerintah melakukan beberapa hal sebagai solusi
konflik, yaitu 1) Pemerintah mengeluarkan peraturan agar masyarakat bisa
meminjam atau menyewa lahan Register 45 untuk bertahan hidup dan menanam
singkong sampai mereka mendapatkan modal yang cukup untuk membeli lahan baru di
wilayah lain dan membangun usaha baru; 2) Pemerintah merelokasi para okupan ke
lahan baru dengan jaminan bahwa lahan baru tersebut adalah lahan ‘aman’,
bersertifikat sehingga bisa dijaminkan ke bank untuk memeproleh modal usaha dan
mereka mendapatkan pelatihan untuk mengasah kemampuan; dan 3) Pemeirntah
bersikap adil atas distribusi lahan antara masyarakat dan perusahaan. Keadilan
adalah unsur penting kemerdekaan yang mereka inginkan sebagai warga negara
Indonesia.
Jakarta, 30 Juli 2015
Jakarta, 30 Juli 2015
Referensi
Oki Hajiansyah Wahab, Dwi Wulan
Pujiriyani, Wijatnika. (2013). Bara Nan Tak Kunjung Padam’: Konflik
Agraria di Register 45 Mesuji Pasca Rekomendasi TGPF (dalam Monografi Membaca Ulang Politik dan Kebijakan
Agraria, Hasil Penelitian Sistematis STPN, 2013)
Wijatnika. (2013). Child
Protection Strategies at Agrarian Conflict Area: A Case Study at Moro-Moro
Village, Register 45, Mesuji Regency (dipresentasikan Konferensi
Internasional ICon-LBG Universitas Bandar Lampung, Lampung pada 23-24 Oktober 2013)
Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC). (Agustus,
2013). Mesuji: Anatomy of an Indonesian
Land Onflict
No comments:
Post a Comment