![]() |
Secangkir kopi yang nikmat. |
BEN membawa kopi dan kisah masa lalunya kemana-mana. Dia
hidup untuk kopi. Ambisinya menjadi seorang peracik kopi terbaik di Jakarta,
kalau bisa se-Indonesia membuatnya keliling berbagai tempat untuk menemukan
cara membuat kopi terbaik dari biji kopi terbaik. Ambisi itu bertemu dengan
ambisi Jody, sahabatnya yang ingin menjadikan kopi sebagai sumber kekayaan.
Lantas mereka berkolaborasi membangun kedai 'Filosofi Kopi' di sebuah tempat di
Jakarta, dimana saat makan siang atau sore-sore orang-orang akan datang hanya
untuk menikmati secangkir kopi. Minuman hitam-pahit-asam-unik itu seakan-akan
sengaja berkolaborasi untuk mempertemukan rasa dan prestasi Jody dan Ben.
Suatu hari,
seorang pebisnis datang menawarkan sebuah tantangan pada Ben untuk membuat kopi
terbaik se-Indonesia dengan iming-iming Rp. 100 juta. Ia ingin menyuguhkan kopi
itu pada pengusaha terkenal yang sedang keliling dunia hanya untuk menikmati
kopi, demi memenangkan sebuah tender bisnis. Ben dan Jody berkolaborasi lagi
untuk memenangkan taruhan yang telah berlipat menjadi Rp. 1 Milyar. Meski
keuangan kedai sedang seret karena hutang, Jody mau membelikan Ben biji-biji kopi
terbaik untuk Ben racik. Jika mereka menang, maka semua hutang kedai akan
terlunasi dan mereka bisa membangun kedai yang lebih besar dan elegan.
Siang malam Ben
meracik kopinya. Mencampur aneka biji, menakar berat, merasai aroma, mengukur
temperatur air dan membaca berbagai literatur tentang cara mengolah kopi. 'Ben's
Perfecto' itulah nama sebuah produk karya Ben yang ia yakini akan
memenangkan 1 milyar untuk menyelamatkan kedainya dan mengangkat martabatnya
sebagai barista terbaik. Penjualan meningkat, pelanggan bertambah dan Ben makin
terkenal.
Meski film ini tidak sempurna, tetapi cukup bagus.
|
Sayangnya, seorang
perempuan bernama El bilang bahwa 'Ben's perfecto' biasa aja. Kopi terbaik yang
ia minum justru berada di sebuah desa hasil racikan seorang petani. Namanya
kopi tiwus. Ben marah dan menganggap El nggak tahu apa-apa tentang kopi. Meski
Ben tak terima, demi kesehatan keuangan kedai, Ben yang telah bertengkar dengan
Jody akhirnya mengunjungi petani kopi yang disebut El sebagai peracik kopi
terbaik.
Secangkir 'Kopi
tanpa harga' ala kedai-kedai di kampung-kampung yang Ben temui di kedai Pak
Seno membuatnya marah. Betapa tega El membandingkan kopi kampung dengan kopi
racikannya yang dibuat dengan perhitungan teliti dan mesin modern. Namun,
setelah Ben belajar dari Pak Seno tentang filosofi kopi, dan belajar dari masa
lalunya yang keluarga petani kopi, ia akhirnya paham bahwa ada hal krusial yang
membedakan antara 'Kopi Tiwus' dan 'Ben's Perfecto'. Cinta. Ben meracik kopinya
dengan ambisi, sedangkan pak Seno dengan cinta.
Setelah
memenangkan taruhannya dan kedai 'Filosofi Kopi' kembali sehat dengan uang 1
Milyar, Ben memilih merenung dan kembali ke kampung halamannya di Liwa, Lampung
Barat. Ia menemui ayahnya yang ia anggap telah menjadi penyebab kematian
ibunya. Luka masa lalu dimana aparat dengan beringasnya menghancurkan hidup
para petani kopi agar menggantinya dengan kebun sawit belumlah sembuh. Rupanya
Ben dan kopi tak bisa dipisahkan. Ben hidup dari dan untuk kopi. Sejak kecil ia
tahu bagaimana meracik kopi terbaik. Ia juga tahu bagaimana cara menikmati
secangkir kopi panas ditengah heningnya suasana pedesaan yang segar berteman
suara binatang malam.
Belajarlah Ben tentang cinta dalam secangkir kopi. Dari Pak Seno dan Bu Seno
yang mengajarkan bagaimana memperlakukan tanaman kopi dengan penuh kasih sayang
layaknya manusia, juga dari ayahnya yang menjadikan kopi sebagai hidupnya. Ya,
kopi akan terasa nikmat jika diracik dengan cinta, bukan ambisi untuk menjadi
hebat atau pemenang.
Kopi juga menjadi bagian hidupku. Keluargaku petani kopi
dan aku telah berkenalan dengan kopi sejak masih balita. Aku telah mencicipi
rasa kopi sejak masih kecil. Rasa yang hingga saat ini menjadi yang terbaik
dari semua kopi metropolitan yang pernah kunikmati. Aku masih ingat bau lembab
di kebun kopi saat musim hujan, juga saat betisku terluka karena aku
bergelayutan di batang kopi untuk mengambil buahnya yang merah. Lidahku juga
masih menyimpan rasa manis kulit buah kopi yang merah. Juga harum bunga kopi
yang serupa melati. Ah, aku jadi kangen masa kecil saat aku diajari mencintai
kekayaan kebun kopi keluarga kami....
Ada begitu banyak
cara memandang kopi. Mulai dari sekedar menjadikannya minuman eksotik yang bisa
menentramkan jiwa yang lelah atau mempertemukan mereka yang sedang kasmaran,
hingga mengkajinya sebagai bagian dari rantai ekonomi bangsa. Terkhusus bagiku,
kopi adalah tentang rumah, tempat dimana aku membangun kenangan masa kecilku.
Kopi menjadi bagian yang membuat kami bahagia. Kopi adalah sumber rezeki
sekaligus tali pengikat kami untuk berkumpul.
Dulu aku punya
kebiasaan menyeruput kopi milik ayahku atau pamanku saat kami menikmati suasana
sore yang hujan atau mendung. Saat keluarga berkumpul biasanya kami hanya
membuat beberapa cangkir kopi untuk diminum bersama-sama dengan camilan berupa
pisang goreng, singkong bakar atau ubi goreng. Aroma kopi telah menyatukan kami
dan tak peduli bibir siapa saja yang menempel di pinggiran cangkir. Kami hanya
peduli soal kebersamaan dan nikmatnya kopi. Kopi hitam murah meriah racikan
kami sendiri. Tak lupa, kami juga menyuguhkan kopi pada tamu yang datang.
Seiring bertambahnya
usia, pengalaman dan daya jelajahku sebagai manusia aku mengenal kopi bukan
sekedar minuman eksotik, juga politik. Ya, kopi adalah politik. Kopi bukan saja
menjadi sumber konflik pertanahan antara petani dan negara, atau petani dengan
perusahaan. Juga menjadi jurang pemisah antara petani kopi dengan pebisnis kopi
di kota-kota metropolitan. Secangkir kopi di kedai-kedai ternama berharga
berkali-kali lipat dari harga satu kilogram biji kopi di kalangan petani.
Berlipat-lipat pula jarak 'ekonomis' yang memisahkan garis hidup petani
kopi yang keras dengan pebisnis kopi yang bergelimang harta. Itulah yang
menjadi salah satu alasanku 'emoh' menikmati kopi-kopi mewah di
kedai-kedai kopi bertaraf nasional atau internasional. Aku seperti menjatuhkan
keluargaku sendiri, seperti merontokkan matahari yang panas ke kulit ayah dan
keluargaku. Itulah pilihanku terkait kopi. Aku berpihak pada petani dan
keluargaku.
KOPI LIWA
adalah kopi yang
menjadi salah satu yang disebut dalam film Filosofi Kopi. Kopi jenis ini
dihasilkan oleh petani kopi di kabupaten Lampung Barat, Lampung. Tempat dimana
aku lahir dan tumbuh. Kopi Liwa menjadi salah satu produk unggulan kopi Lampung
yang terkenal, termasuk Kopi Luwak yang naik daun beberapa tahun belakangan ini.
Kopi Liwa sudah terkenal sejak lama, bahkan ketika kopi Luwak yang harganya
selangit mulai dikenal dunia, banyak pecinta kopi berkunjung langsung ke
pemilik usaha kopi luwak di Lampung Barat.
Senyum bahagia petani kopi
|
Lampung Barat dengan topografi perbukitan
memang sangat cocok sebagai lokasi tumbuh kembang tanaman kopi. Sebagian besar
masyarakat Lampung Barat menanam kopi di kebun-kebun mereka dan menjadikan kopi
sebagai komoditas utama selain lada dan sayuran. Bahkan saking bagusnya
kabupaten ini untuk perkebunan kopi, banyak masyarakat nakal yang membuka
perkebunan kopi di lahan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan beberapa
lokasi hutan lindung. Konflik antara petani kopi dan aparat memang banyak
terjadi di tahun-tahun lampau.
Kopi Liwa, kopi kebanggaan masyarakat Lampung
|
Namun, beberapa tahun belakangan ini konflik
tersebut mulai mereda ketika masyarakat dan pihak Dinas Kehutanan melakukan
kolaborasi melalui sistem Hutan Kemasyarakatan (HKm) sebagai salah satu bentuk
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Karena pada dasarnya memang sulit
untuk membuat masyarakat tidak mengakses kawasan hutan, sementara sebagian
besar penduduk adalah petani, dan petani hanya bisa bekerja dengan tanah.
![]() |
Beberapa dari banyak variasi produk Kopi Lampung |
Datanglah ke
Lampung Barat pada saat musim panen kopi. Wajah-wajah gembira akan terlihat
dimana-mana. Perkebunan kopi di bukit-bukit akan ramai oleh para pemilik yang
memanen kopi, lalu lintas kendaraan bermotor yang mengangkut kopi ke kampung,
halaman-halaman rumah yang penuh dengan biji kopi yang tengah dijemur, deru
mesin penggiling kopi dimana-mana, beranda-beranda rumah yang penuh canda tawa,
pasar-pasar yang hiruk pikuk oleh transaksi musiman sebagai dampak positif
musim kopi hingga aroma kopi panas yang menguap di udara. Oh senangnya....
Jadi, kopi mana
kesukaan kamu? Aku pastinya black coffee.
Depok, 28 April 2015
Sumber gambar;
www.duniaberbicara.com
mangkoko.com
uzone.id
lifestyle.okezone.com
http://www.filosofikopimovie.com/archipelago.php
www.dinomarket.com
www.ahlikopilampung.com
ekspedisimagz.com
No comments:
Post a Comment