![]() |
Potret Raeni dan ayahnya |
Aku
yakin setiap orang benci pada kemiskinan. Sebab seringkali kemiskinan membuat
seseorang menjadi tak berdaya, juga menjadi jahat untuk tetap hidup. Di
Indonesia, kemiskinan akut di beberapa wilayah bahkan menimbulkan sikap risih
dan kasihan sebab menimbulkan kerusakan lingkungan, pencemaran, kekumuhan,
kriminalitas, hingga maraknya penyakit 'gila' dan kematian. Meskipun, beberapa
kasus kemiskinan dan kisah orang miskin menjadi olok-olok dalam beberapa reality
show yang sesungguhnya tak mengubah nasib si miskin menjadi kaya. Melainkan
menambah kekayaan si kaya sebab menemukan potret yang selalu laris manis
dijual.
Apakah salah
menjadi miskin atau terlahir miskin? sebenarnya, setiap bayi yang lahir ke
dunia dilahirkan telanjang dan tak memiliki apa-apa selain apa yang diberikan
kedua orangtuanya. Terminologi miskin dan kaya pun sebenarnya hanya diukur
berdasarkan kepemilikan harta. Bahwa banyak harta adalah kaya dan sedikit harta
adalah miskin. Meskipun sebenarnya, banyak orang menjadi kaya karena menipu
atau menjadi miskin karena malas dan ceroboh. Ya, kaya dan miskin dan jurang
diantara keduanya selalu menarik perhatian.
Akhir-akhir
ini aku mendapati bahwa jurang antara terminologi kaya-miskin itu semakin
kentara dan sangat ramai di layar kaca. Ia menjadi tontonan yang renyah seperti
kacang goreng. Sebut saja Syahrini, penyanyi yang kemudian menjadi kaya raya
dan tergabung dalam kelompok para pecinta mobil mewah Indonesia. Ketika
beberapa kali membaca berita tentang si artis dan mobil mewahnya, aku jadi
ingat tentang seorang kakek yang meninggal karena dibuang di jalanan oleh
petugas rumah sakit karena dia miskin.
Memang tak ada hubungannya antara Syahrini dan si kakek malang. Namun, sebagai bangsa yang katanya suka bergotong royong, aku menjadi sangsi bahwa sikap itu benar-benar milik bangsa ini. Syahrini yang menikmati hasil kerja kerasnya tidak salah memamerkan mobil mewahnya, dan si kakek malang mungkin memang bernasib naas saja.
Memang tak ada hubungannya antara Syahrini dan si kakek malang. Namun, sebagai bangsa yang katanya suka bergotong royong, aku menjadi sangsi bahwa sikap itu benar-benar milik bangsa ini. Syahrini yang menikmati hasil kerja kerasnya tidak salah memamerkan mobil mewahnya, dan si kakek malang mungkin memang bernasib naas saja.
![]() |
Bertemu SBY |
Melihat kenyataan yang demikian, dimana masyarakat kita dipisahkan berdasarkan lapisan kepemilikan harta, baru-baru ini kita kembali dikejutkan oleh berita tentang Raeni. Ya, siapa yang tak kenal Raeni, si mahasiswa fenomenal dari Jawa Tengah yang mendapatkan beasiswa melanjutkan S2 ke luar negeri gara-gara menjadi wisudawan terbaik di Universitas Negeri Semarang yang diantar bapaknya pakai becak ke kampus? kenyataan tentang Raeni dan sikap kesatria ayahnya adalah contoh yang baru-baru ini menjadi makanan empuk bagi media untuk menaikkan kelas si miskin menjadi setenar Syahrini.
Kisah Raeni dan ayahnya sedang memberi tahu kita semua: jangan malu hidup miskin, berprestasilah dan kamu akan dielu-elukan lalu mendapat beasiswa ke sekolah manapun yang kamu inginkan di dunia ini. Kelak, setelah Raeni berhasil menyelesaikan pendidikannya dan bekerja di perusahaan dengan bayaran mahal, maka ia akan naik kelas dan mungkin bisa melampaui Syahrini. Raeni bisa saja memiliki perusahaan, pesawat pribadi, rumah mewah dan menjadi tokoh terkenal.
Nah,
setelah kisah Raeni ramai dibicarakan orang, muncul berita lain tentang seorang
anak petani yang menjadi peraih IPK tertinggi di Universitas Negeri Solo yang
mendapat beasiswa ke Belanda. Mungkin, kedepan akan banyak berita serupa
bermunculan, dimana prestasi seorang anak disandingkan dengan bangga dengan
pekerjaan orangtuanya.
Apakah
ini pertanda bahwa si miskin sedang naik daun?
Sadar
atau tidak, setiap hari kita selalu disuguhi potret kemiskinan yang menjadi
olok-olok di media. Mengapa kusebut olok-olok, karena tayangan-tayangan tentang
kemiskinan yang banyak muncul di media tak seimbang dan cenderung mendiskreditkan
etnis tertentu. Sebut saja dalam berbagai kisah FTV si sebuah stasiun televisi,
si miskin selalu identik dengan seorang Sunda atau Jawa. Selalu identik dengan
petani, peternak atau pedagang kecil. Kemiskinan menjadi komoditas murahan yang
tak pernah menampilkan prestasi selain bahwa si miskin akan naik kelas jika
menikah dengan orang kaya yang kebetulan bertemu dan jatuh cinta.
Kemiskinan tak pernah dipandang sebagai sebuah posisi 'akibat' dari struktur kebijakan yang politis. Dan kemiskinan si miskin menjadi sangat laris untuk dijual pada pemirsa yang kemudian menjadi termehek-mehek. Kemiskinan, justru menambah pundi-pundi si pemilik media dan jurnalisnya.
Kemiskinan tak pernah dipandang sebagai sebuah posisi 'akibat' dari struktur kebijakan yang politis. Dan kemiskinan si miskin menjadi sangat laris untuk dijual pada pemirsa yang kemudian menjadi termehek-mehek. Kemiskinan, justru menambah pundi-pundi si pemilik media dan jurnalisnya.
Kisah
Raeni dan anak-anak lain yang memiliki prestasi serupa berserakan di negeri
ini. Bahkan aku punya seorang teman anak tukang beka dengan 7 adik yang menjadi
wisudawan terbaik ketiga waktu S1 dan sekarang mendapat beasiswa S3 untuk
kuliah di IPB. Apakah dia dikenal dan diberi beasiswa oleh pemerintah? tidak!
sebab tak ada media yang menyorotnya dan kampus waktu itu tak memberikan
apa-apa selain ucapan "Selamat.."
Tetapi
ya, mungkin takdir setiap orang berbeda. Semoga keberuntungan Raeni menular
pada anak-anak cerdas lain di negeri ini dan beasiswa diperoleh oleh mereka
benar-benar berhak. Juga agar kisah-kisah mereka menjadi pelajaran bagi kita
tentang mimpi, kerja keras, kasih sayang dan kebanggaan. Saatnya anak petani,
tukang becak, nelayan, buruh, pedagang dan sebagainya naik daun (dan naik
kelas) karena prestasi mereka, bukan karena berita negatif yang menghebohkan
jagat raya. Dan semoga, Syahrini yang sekarang sudah kaya raya tidak pelit dan
lupa diri, tidak lebih sayang mobil mewahnya ketimbang tetangganya yang
merintih kelaparan.
Bandar Lampung, Juni 2014
No comments:
Post a Comment