Aku percaya
bahwa hidup adalah cinta. Ya, cinta. Hidup hanya akan dimenangkan oleh mereka
yang setia pada cinta. Seseorang berkata jika cinta berasal dari dua kejadian. Pertama,
cinta yang terbit karena kebersamaan dan persahabatan. Kedua, cinta yang
tiba-tiba datang dan dipilih hati. Namun, setiap manusia memiliki pengalaman
yang berbeda akan cinta, dan mungkin ada cinta yang dibangun oleh kejadian
ketiga. Bagaimana kalau kukatakan padamu bahwa cinta yang ketiga karena ibu?
Ya, cinta karena doa seorang ibu.
Hari itu
aku bertunangan. Wajahku datar seperti batu didasar sungai. Riuh rendah suara
keluarga besarku rasanya memenuhi seluruh rumah besar orangtuaku. Ibuku begitu
sibuk. Ia mengatur makanan agar terhidang rapi untuk keluarga dan para tamu.
Ibu juga sibuk berbicara dengan para paman dan bibi tentang hari itu. Wajahnya
sedikit berminyak karena letih. Tetapi sepasang matanya bersinar cerah. Hari
itu, ibuku bahagia.
Hari itu
aku adalah tema perbincangan ibuku dan semua orang yang hadir di rumah besar
yang penuh dengan aroma makanan. Nampaknya tak ada yang peduli bagaimana
hatiku. Semua peduli pada kebahagiaan ibuku, dan sorak sorai tetiba membahana
saat calon tunanganku dan keluarganya tiba di rumah kami. Betapa bahagianya
semua orang sampai mereka lupa padaku. Apakah aku ini Rapunzel malang yang
dikurung di tower kebahagiaan ibuku sendiri yang penuh sihir?
***
Saat
tiba di Jakarta aku melepaskan cincin itu dan menyimpannya rapi didalam sebuah
kotak cincin berwarna merah. Jakarta adalah hari baru. Jakarta adalah hari
baru. Dan saat training selama setengah tahun itu dimulai, aku terhanyut dan
melupakan statusku sebagai calon istri pemuda pilihan ibuku. Jakarta adalah
harapan dan aku berharap bisa merubah keputusan ibuku. "Dia pemuda
terbaik untukmu," hanya itu kata-kata sakti ibuku. Di rumah kami
kata-kata ibuku seperti hukum. Karena itu aku pergi.
Enam
bulan sudah berlalu dan aku akan segera terbang ke Hawaii. Aplikasiku diterima
sebuah universitas yang menjadi impianku sejak SMU. Sebuah beasiswa
internasional telah menjadi tiketku. Meski aku belum bisa meyakinkan ibuku,
setidaknya dua tahun terapung di tengah Pasifik akan membuatku menemukan
kesempatan baru sebelum kembali bicara pada ibuku.
"Kenapa
tak menikah dulu?" ibuku heran mengapa aku begitu senang akan
meninggalkan tunanganku. "Kalau saya hamil bagaimana, Ma? memangnya dia
mau hidup disana tanpa bekal apa-apa? itu pulau dengan biaya hidup mahal.
Kalau jodoh toh tak lari kemana," ujarku mencoba meyakinkan ibuku
bahwa aku tidak akan lari. Waktu itu, ibuku hanya memandangiku saat aku
mengepak barang.
"Kamu
bahagia ya mau belajar di Amerika? itu kan jauh sekali, Nak?" ibuku duduk di sisi ranjang sembari
memperhatikanku yang memang sedang bahagia karena akan jauh dari tunanganku. "Saya
seorang guru, Ma. Saya harus berilmu tinggi kalau mau jadi guru terbaik. Tak
apa lah kan hanya 2 tahun saja, hanya dua kali lebaran toh?" Aku
berusaha meyakinkan ibuku bahwa Amerika itu bisa dilompati dengan jari.
Ibuku
tak pernah tahu bahwa selama di Jakarta aku pacaran dengan teman sesama
penerima beasiswa. Hanya saja kami yang sama-sama keras kepala sering sekali
bertengkar. Meski aku pernah berharap bahwa ia akan menjadi tiket untuk
mengembalikan cincin tunangan itu, kami akhirnya putus. Dan meninggalkan
Indonesia menjadi satu-satunya harapan agar aku masih bisa hidup dengan
waras.
***
Aku
nyaris lupa bahwa aku pernah memiliki hari yang begitu lambat sejak aku belajar
di kampus ini setengah tahun lalu. Aku tak mau melewatkan kesempatan emas
menimba ilmu di kampus yang begitu canggih. Hari-hariku begitu sibuk dengan
kegiatan belajar dan sedikit bersenang-senang dengan teman-teman
internasionalku.
Pasca ujian aku kemping bersama teman-temanku dan tentu saja Akira. Aku bertemu lelaki Jepang itu dalam acara mahasiswa internasional di asrama. Lalu kami dekat sampai sekarang. Akira adalah keturunan Jepang-Amerika sehingga ia bertubuh tinggi dengan rahang cukup menyerupai wajah orang Amerika. Meski begitu kulit dan matanya masih Jepang dan ia sangat sopan.
Kemping di Hawaii memang berbeda dengan di Indonesia. Ya, seperti hanya berjalan-jalan kaki di taman saja. Tapi tak apa, toh aku tak lama di pulau cantik itu dan akan segera menikmati Indonesia. Dan menikmati liburan bersama Akira menjadi sangat menyenangkan. Dia selalu membawa banyak makanan Jepang buatannya sendiri.
Bersama
Akira yang jago masak, aku benar-benar lupa akan tunanganku. Ah, memangnya
siapa yang tahu aku berjodoh dengan siapa? Jika Akira adalah jodohku mengapa
tidak? mungkin pernikahan internasional akan membawaku pada kesempatan dan
pengalaman yang lebih baik dan global. Tentu itu akan menguntungkan untuk
murid-muridku.
Bersama
Akira aku membangun impian. Katanya dia ingin tinggal di Indonesia dan
membantuku mengembangkan pendidikan di kotaku. Tentu saja aku senang. Tapi
Akira tak lama di dunia ini. Ia meninggal dunia waktu pulang ke Jepang guna
menjenguk ibunya yang sakit. Ia menjadi korban kecelakaan mobil.
Selama
setengah tahun kemudian, hari-hariku kembali suram.
***
Lalu
Husein datang dalam hidupku yang hampa. Lelaki Iran itu seperti cahaya yang
menerangi kegelapan setelah Akira tiada. Aku menjadi mahasiswa kutu buku yang
hanya fokus belajar dan lupa bersenang-senang. Husein menawarkan kehangatan. Ia
membuatku tertawa sekaligus melupakan takdir yang menungguku. Husein juga yang
membuatku ingin menikah dan mengatakan kepada ibuku bahwa Tuhanlah dan bukan
ibuku yang mengatur jodohku. Entah karena terlalu benci pada kenyataan bahwa
aku bertunangan, atau karena kesepian setelah kematian Akira atau karena memang
aku menyukai Husein, aku jatuh cinta.
Aku
sudah lelah banjir airmata dan aku ingin Husein menjadi yang terakhir. Gayung
bersambut dan Husein menyatakan ingin menikah denganku. Selama beberapa waktu,
kami banyak berdiskusi mengenai pernikahan, rumah tangga, anak dan rencana
tinggal setelah menikah. Hatiku mekar seperti mawar dan langit Hawaii yang
selalu biru umpama surga yang tak pernah suram karena hujan. Aku bahagia.
Entah buta
karena cinta atau karena apa, aku mengembalikan cincin tunangan itu via pos.
Aku berharap ibuku mengerti meski tindakanku sangat tidak sopan dan
mencoreng nama baik keluarga. Tetapi aku ingin mengatakan kepada ibuku bahwa
ibuku tak bisa memaksaku tentang jodohku. Dan tak lama kemudian aku mendengar
kabar bahwa ibuku terserang stroke akibat ulahku. Semua keluarga mengecamku dan
mengatakan bahwa pendidikan Amerika telah merubahku menjadi anak durhaka.
Pada Husein
aku tak mengatakan apapun soal tragedi itu. Saat ia mendapatiku sering
menangis, aku hanya mengatakan bahwa aku kangen ibuku dan ibuku sedang sakit
keras. Pada Husein aku berbohong bahwa aku begitu merindukan ibuku
sampai-sampai aku tak bisa berhenti menangis.
***
Aku
pulang. Ibuku tak mau bicara padaku. Ia seperti teramat membenciku. Aku juga
benci. Tapi siapa yang harus aku benci karena aku bingung siapa yang bersalah.
Aku tak ubahnya pendosa yang menggantung leher seluruh anggota keluarga. Cincin
itu benar-benar sialan. Hakim, tunanganku, entah bagaimana caranya selalu bisa
menyenangkan ibuku dan membuatnya mau minum obat dan makan. Selama liburan
musim panas, aku terkurung di rumahku sendiri, menjadi suster bagi ibuku.
***
Aku
berhasil kembali ke Hawaii untuk merampungkan semester terakhir tanpa harus
menikah dengan Hakim. Aku bertemu Husein dan kami melewati hari dengan penuh
kebahagiaan. Sampai pada suatu malam Husein datang ke asrama dan dia bilang
bahwa dia harus pulang ke Iran. Ibunya sakit keras karena ia menolak dijodohkan
dengan Rahma, gadis pilihan ibunya.
Tuhan,
aku tertawa begitu keras dalam hatiku. Kami berdua seperti anak tolol yang
kabur dari takdir masing-masing dan saling berpegangan tangan untuk mengarungi
lautan. Dengan berat hati aku melepas Husein. Aku tahu ia tak akan kembali
karena ia telah resign dari kantornya dan tak memberi tanda apa pun
tentang rencana-rencana manis kami.
***
Menikah.
Ya, aku
menikah dengan Ahmed.
Hari
ketika Husein kembali ke negaranya aku mendapat sebuah email dari teman lamaku
asal Turki. Kami pernah mengikuti sebuah pertemuan mahasiswa internasional di
di Manila bertahun-tahun silam. Pesannya singkat saja. Ia merindukanku dan
ingin mengenalku lebih dekat.
Dua
minggu setelah Husein pulang aku mendapat kabar bahwa Ia telah menikah dengan
gadis bernama Rahma itu dan dua hari kemudian ibunya meninggal. Aku tak tahu
harus bagaimana saat itu dan memilih chatting dengan Ahmed yang sudah
lima tahun tinggal di Yaman. Aku berpikir bahwa Ahmed bisa jadi kesempatan baru
dan aku bisa kembali meyakinkan ibuku bahwa aku telah menemukan jodohku.
Aku
lulus dengan predikat baik dan buru-buru aku pulang ke Indonesia. Seminggu
kemudian Ahmed menyusul. Aku memperkenalkannya sebagai calon suamiku. Meski
merasa aku disidang oleh seluruh anggota keluarga, aku berhasil membuat ibuku
yakin bahwa Ahmed adalah yang terbaik untukku.
Kepada
Hakim dan keluarganya aku bicara baik-baik dan tanpa rasa malu. Bukan aku yang
bersalah, tetapi sikap keras kepala ibuku lah yang menyebabkan semuanya. Aku
tidak membantah ibuku soal lelaki yang baik sebagai imamku, tetapi aku tidak
mau menikah dengan lelaki yang bukan jodohku.
Setengah
tahun setelah semua pembicaraan panjang dengan keluargaku, aku dan Ahmed
menikah. Lalu aku mengikuti Ahmed ke Yaman. "Kamu pergi lagi, Nak?"
ibuku memelukku saat melepas kepergianku dan Ahmed di bandara. Aku hanya bisa
menangis dan memeluk ibuku. Aku meminta maaf jika telah menyakitinya dan
menjadi puterinya yang durhaka. Aku hanya ingin bahagia seperti yang selalu ibu
lantunkan dalam doa'-doa panjangnya.
***
Dua tahun berlalu dan kini aku menggendong bayiku. Aku dan Ahmed akan kembali ke Indonesia. Ia mendapat pekerjaan bagus di sebuah perusahaan milik pengusaha terkenal asal Uni Emirat Arab di Surabaya. Aku akan segera bertemu ibuku dan membuat sepasang matanya berbinar melihat betapa lucunya Raihana, puteriku. Kuharap, doa ibuku terjawab sudah.
No comments:
Post a Comment