![]() |
Di halaman kantor CIFOR, Bogor. Foto oleh: Hesti. |
Aku
datang di kampus CIFOR cukup terlambat. Bus Damri yang aku tumpangi dari Lampung
terhambat macet jalanan Jakarta. Belum lagi Commuter Line Jakarta-Bogor yang
jalannya tersendat-sendat entah karena apa. Ya macam ada si Komo lewat saja.
Juga jalanan Bogor yang amburadul sulit ditembus mobil jemputan. Setibanya di
lokasi dan diantar seorang panitia, aku memasuki ruangan pelatihan dengan
kondisi tubuh berkeringat, bau, lusuh dan kusut. Aku duduk di kursi bagian
tengah, menghadap lurus pada layar putih. Di sebelah kiri duduk seorang lelaki
berkaos hitam. Ia adalah satu-satunya orang di ruangan itu yang memakai sandal
jepit. Usut punya usut, dialah jurnalis hebat bernama Farid Gaban.
Seluruh peserta pelatihan ini adalah para aktivis se-Indonesia yang lembaganya memiliki kerjasama dengan Kemitraan-Partnership, sebuah organisasi multipihak yang berfokus pada tata kelola untuk reformasi kebijakan di Indonesia. Nah, untuk lulus masuk kesini, para calon peserta harus mampu menunjukkan kemampuan menulis tiga bulan sebelumnya. Maka bertemulah 4 orang dari Sumatera, dan masing-masing 1 orang dari Kalimantan, Sulawesi, Papua, Jawa dan Nusa Tenggara Barat. Kami, diajari bagaimana melakukan perubahan pola menulis aktivis yang berbasis laporan dan kolom ke tulisan populer/feature.
Seorang aktivis harus memiliki kemampuan menulis bukan saja untuk menulis laporan untuk donor. Yang paling penting adalah bagaimana tulisan si aktivis bisa membawa pengaruh bagi publik. Oleh karena itu, menulis bukan hanya tentang benar atau salahnya cara menulis atau data dalam tulisan. Melainkan apa tujuan menulis dan siapa yang akan membaca tulisan. Semakin ringan bahasa sebuah tulisan, semakin menyentuh sebuah isu pada kepentingan publik dan semakin luas jangkauan pembacanya, maka semakin baik tulisan itu.
![]() |
Setelah pelatihan selesai. Foto: Panitia |
![]() |
Para Peserta yang budiman. Foto: panitia. |
Menulis
juga bukan tentang bagaimana seorang penulis mengikuti selera pasar. Menulis
adalah perjuangan. Sehingga ruh dari menulis adalah idealisme. Seorang aktivis
menulis untuk menyebarluaskan suatu isu agar semakin dipahami publik. Ia harus
memaksa masyarakat mengenal dan membaca tulisannya dengan menggunakan bahasa
yang dimengerti pasar. Tanpa itu semua, menulis hanya pekerjaan biasa tanpa
makna. Seorang penulis umpama seorang chef. Untuk menghasilkan sebuah tulisan bagus
dan renyah dibaca, penulis harus mampu meracik data mentah dengan idealisme,
perasaan dan imajinasinya tentang calon pembacanya. Selama
lima hari proses belajar, kami bukan saja diajari bagaimana cara menulis
populer dengan benar. Tetapi juga diberitahu mengenai dapur media dan tipe
jurnalis. Dari informasi itulah aku tahu mengapa ada media yang idealis dan 'matre'.
Nah, kami juga sempat melakukan kunjungan ke Radar Bogor untuk melihat
bagaimana sebuah media bekerja dari dapurnya langsung. Mantap, bukan?
![]() |
Kunjungan ke Radar Bogor. Foto: Panitia. |
![]() |
Di Depan Kantor Radar Bogor. Foto: panitia |
Menulis
adalah melawan. Itulah pesan yang kutangkap dari pelatihan ini. Setiap aktivis
diharapkan dapat memiliki pembaca dari tulisan-tulisannya agar ruh perjuangan
tidak hanya dibaca kaum terpelajar, juga oleh masyarakat umum yang tidak
mengenyam pendidikan tinggi. Sebuah tulisan harus seperti kacang goreng yang
bisa dinikmati siapa saja, renyah dan menyenangkan dinikmati. Sebab jika seperti steak maka ia hanya bisa
dinikmati segelintir orang.
Depok,
20 April 2014
kerennya mas farid gaban waktu aku pelatihan sehari bersama beliau. bisa mencetak temen-temen perempuan LSM bisa nulis dalam sehari.
ReplyDeleteYa, sekarang beliau punya majalah namanya The Geo Times. Yuk coba masukin tulisan isu lingkungan kesana, siapa tahu lolos seleksi, hehehe...
ReplyDeletegood.. perlawanan melalui pena...
ReplyDeleteYup. Apalagi kalau beneran jadi penulis tenar yang bisa memikat ratusan juta pembaca seperti J.K Rowling ya hehehe.
ReplyDeleteSalam pena...