![]() |
Amerika |
Sudah
mendekati pertengahan Maret dan aku baru memulai tulisan ini setelah merenung
tentang 3 kegagalan yang menambah panjang daftar kegagalan dalam hidupku.
Sejenak, aku melupakan kegiatanku menulis meski banyak hal yang layak
diceritakan disini. Pertama, ketika aku sempat pulang ke kampung halaman
dan memiliki beberapa pengalaman menarik aku terhambat menulis karena tak ada
jaringan internet untuk provider yang kugunakan.
Kedua, aku kemudian sibuk dengan pekerjaanku dan harus bolak-balik ke Lampung Selatan. Kegiatan yang melelahkan itu cukup menyita waktuku. ketiga, karena aku sakit. Sekitar 3 hari lamanya aku hanya bisa berbaring di tempat tidur, tak bisa makan dan minum. Ya, sakit seperti itu ibarat liburan yang dipaksakan oleh kehendak Tuhan. Jadi, aku baru bisa kembali hari ini.
Kedua, aku kemudian sibuk dengan pekerjaanku dan harus bolak-balik ke Lampung Selatan. Kegiatan yang melelahkan itu cukup menyita waktuku. ketiga, karena aku sakit. Sekitar 3 hari lamanya aku hanya bisa berbaring di tempat tidur, tak bisa makan dan minum. Ya, sakit seperti itu ibarat liburan yang dipaksakan oleh kehendak Tuhan. Jadi, aku baru bisa kembali hari ini.
PENTINGNYA BERCERITA KEGAGALAN
Apakah perlu menceritakan kegagalan? Dulu, bertahun-tahun lamanya kegagalan adalah hal yang menyakitkan bagiku. Seiring waktu, aku lebih suka menyikapi kegagalan sebagai tantangan. Semakin aku gagal, semakin aku berambisi untuk meruntuhkan 'hal' yang menyebabkan aku gagal. Jadi, aku tak akan pernah merasa takut, malu atau sedih saat bercerita tentang kegagalan.
Aku selalu ingat bahwa kegagalanku belum sebanyak kegagalan Edison dan Einstein.
Belum waktunya menangis, bukan?
Akhir tahun lalu aku memberanikan diri melamar untuk sebuah short course yang diselenggarakan oleh sebuah Universitas di Belanda, dan aku gagal. Aku diberi tahu bahwa tanggal deadline aplikasi beasiswa sudah habis sejak beberapa hari sebelumnya. Oke, aku paham dan aku mengajukan aplikasi yang sama di awal tahun 2014 dan aku kembali gagal. Katanya, karena kemampuan bahasa Inggrisku masih belum memenuhi kriteria.
Apakah perlu menceritakan kegagalan? Dulu, bertahun-tahun lamanya kegagalan adalah hal yang menyakitkan bagiku. Seiring waktu, aku lebih suka menyikapi kegagalan sebagai tantangan. Semakin aku gagal, semakin aku berambisi untuk meruntuhkan 'hal' yang menyebabkan aku gagal. Jadi, aku tak akan pernah merasa takut, malu atau sedih saat bercerita tentang kegagalan.
Aku selalu ingat bahwa kegagalanku belum sebanyak kegagalan Edison dan Einstein.
Belum waktunya menangis, bukan?
Akhir tahun lalu aku memberanikan diri melamar untuk sebuah short course yang diselenggarakan oleh sebuah Universitas di Belanda, dan aku gagal. Aku diberi tahu bahwa tanggal deadline aplikasi beasiswa sudah habis sejak beberapa hari sebelumnya. Oke, aku paham dan aku mengajukan aplikasi yang sama di awal tahun 2014 dan aku kembali gagal. Katanya, karena kemampuan bahasa Inggrisku masih belum memenuhi kriteria.
Padahal, kursus yang ingin kuambil itu, Local Economic Development, adalah pelajaran yang paling kuinginkan dari semua kursus yang ditawarkan sepanjang 2014-2015. Ini adalah kegagalan ketigaku untuk masuk, studi dan jalan-jalan di Belanda. Harus gagal berapa kali hingga aku bisa berhasil masuk ke negeri yang menyimpan banyak benda sejarah Indonesia ini?
![]() |
Belajar |
Tahun
lalu juga aku mengajukan aplikasi untuk sebuah training yang akan
diselenggarakan di Amerika pada pertengahan tahun 2014. Kandidatnya adalah para
perempuan penerima beasiswa IFP di ASIA. Oke, sebagai penerima beasiswa IFP
dari ASIA aku berfikir bahwa aku telah memenuhi beberapa kriteria. Tak perlu
repot bersaing dengan para aktivis dari Amerika Latin dan Afrika. Hanya saja,
aku tahu, bersaing dengan alumni beasiswa IFP dengan jarak pengalaman
kepemimpinan kurang lebih 13 tahun adalah ganjalan terbesarku untuk diterima.
Di Indonesia saja, ada ratusan alumni yang kutahu track recordnya bagus dan mereka tentu memiliki kualifikasi lebih tinggi dariku. Meskipun demikian, aku memutuskan untuk mengisi form aplikasi berbahasa Inggris dengan percaya diri dan mengirimkannya. Dan pada 22 Januari 2014 aku mendapat jawaban, bahwa aku gagal.
Ini adalah potongan email yang mengatakan bahwa aku masih 'hijau' dan belum layak mendapatkan training sebagaimana tujuan training tersebut. Nah, karena jawaban inilah aku jadi tahu penyebab kenapa aku gagal. Setidaknya, aku telah bersaing bersama 599 kandidat lain dari 50 area delegasi di seluruh ASIA. Semoga kelak, aku memperoleh kesempatan yang sesuai dengan pengalamanku.
Akhir Januari lalu aku juga mengirimkan aplikasi untuk mengikuti sekolah 8 hari di Isis International Women's House di Manila. Kalau aku berhasil, maka aku akan mendapatkan pengalaman mengikuti sekolah HAM untuk para aktivis perempuan. Menjadi bagian dari sebuah gelombang besar Women Human Right Defenders. Dan, aku gagal.
Di Indonesia saja, ada ratusan alumni yang kutahu track recordnya bagus dan mereka tentu memiliki kualifikasi lebih tinggi dariku. Meskipun demikian, aku memutuskan untuk mengisi form aplikasi berbahasa Inggris dengan percaya diri dan mengirimkannya. Dan pada 22 Januari 2014 aku mendapat jawaban, bahwa aku gagal.
![]() |
Women in Education |
Ini adalah potongan email yang mengatakan bahwa aku masih 'hijau' dan belum layak mendapatkan training sebagaimana tujuan training tersebut. Nah, karena jawaban inilah aku jadi tahu penyebab kenapa aku gagal. Setidaknya, aku telah bersaing bersama 599 kandidat lain dari 50 area delegasi di seluruh ASIA. Semoga kelak, aku memperoleh kesempatan yang sesuai dengan pengalamanku.
Akhir Januari lalu aku juga mengirimkan aplikasi untuk mengikuti sekolah 8 hari di Isis International Women's House di Manila. Kalau aku berhasil, maka aku akan mendapatkan pengalaman mengikuti sekolah HAM untuk para aktivis perempuan. Menjadi bagian dari sebuah gelombang besar Women Human Right Defenders. Dan, aku gagal.
Oke, ketiga upaya yang gagal ini memberiku pelajaran penting
tentang cara pandang terhadap kesempatan yang datang. Kegagalan ini pula
menjadi cambuk yang hebat agar aku terus memperjuangkan kesempatan-kesempatan
yang lain. Juga agar kedepan aku memiliki kenangan yang bisa diceritakan pada
anak cucuku, bahwa aku bukan perempuan cengeng dan hanya bisa menunggu.
Aku bisa bercerita bahwa sejak muda, aku telah berusaha untuk menjadi kuat dan pemberani, dan kegagalan-kegagalan yang kuhadapi adalah bagian dari ujian atas keduanya. Terdekat, aku akan memperjuangkan beasiswa Australia Award Schorlaship (AAS) dan ASEAN Foundation. Pokoknya, dimanapun itu, tahun 2015 aku harus sekolah lagi, bismillah.....
Aku bisa bercerita bahwa sejak muda, aku telah berusaha untuk menjadi kuat dan pemberani, dan kegagalan-kegagalan yang kuhadapi adalah bagian dari ujian atas keduanya. Terdekat, aku akan memperjuangkan beasiswa Australia Award Schorlaship (AAS) dan ASEAN Foundation. Pokoknya, dimanapun itu, tahun 2015 aku harus sekolah lagi, bismillah.....
Bandar
Lampung, 10 Maret 2014
No comments:
Post a Comment