![]() |
Love |
Minggu pagi kali ini Yanti mendengar alunan musik khas Lampung tak jauh dari kosannya. Ia mendapat informasi dari teman kosannya bahwa bunyi-bunyian itu adalah bunyi tarian Sigeh Pengunten atau juga yang dikenal Tari Sembah. Tak lama ia mendengar suara berat seorang lelaki yang menjelaskan siapa calon mempelai pria. Sambil menyeruput wedang Uwuh dan menikmati ubi goreng, dan juga mendengar bunyi-bunyian yang asing baginya, Yanti kembali membaca tulisannya di laptopnya.
Yanti menulis cerpen terbarunya
yang akan dikirimkannya ke sebuah tabloid langgananya. Kali ini, ia mencoba
kesepuluh kalinya menulis cerpen bertema cinta dan penantian yang sangat ingin
ia lihat di tabloid itu edisi bulan depan. Yanti memutuskan bahwa tokoh
perempuan dalam ceritanya kali ini bernama Damaya. Yanti menjadikan Damaya
sebagai tokoh mahasiswi sebuah universitas swasta jurusan akuntansi yang harus
bekerja di sebuah kafe pada siang hari dan kuliah pada malam hari.
Yanti juga
menjadikan Damaya mengalami penantian panjang dan sangat suka bekerja di kafe
itu dibanding ruang kuliahnya. Dalam cerita itu, Yanti membuat Damaya memiliki
dua orang sahabat terbaik sepanjang masa. Sahabat Damaya yang pertama adalah
seorang mahasiswi jurusan Matematika di sebuah universitas milik pemerintah, dan
seorang lagi adalah seorang mahasiswa tingkat akhir jurusan Manajemen yang
mempekerjakan Damaya di kafenya.
Yanti tersenyum. Kemudian ia
bertanya lagi pada temannya apakah orang Lampung juga memproduksi lagu dangdut?
Saat menulis ia mendengar suara seorang biduan wanita yang menyanyikan sebuah
lagu dangdut dengan syair yang tak dikenalnya. Temannya bilang bahasa Lampung
juga dipakai para biduan di daerah sebagai improvisasi saat mereka manggung.
"Kenapa juga harus selalu pakai bahasa Indonesia, ntar lupa
bahasa Daerah lagi.." dan Yanti hanya tersenyum simpul mendengarkan
penjelasan temannya. Setelah menyeruput wedangnya sambil tersenyum, Yanti
beralih ke Laptopnya kembali.
Dua bulan sejak bekerja di kafe
itu, oh ya namanya Kafe Orang Indonesia, ia selalu menunggu kedatangan seorang
pelanggan. Entah kenapa, sejak pertama kali ia melihat si pelanggan masuk ke
kafenya pada suatu hari di siang bolong, ia merasa begitu merindukannya. Si
pelanggan nampaknya seorang eksekutif muda yang entah bekerja dimana. Ia
menenteng sebuah tas laptop dan berkemeja rapi.
"Hot Cappucino ya
mbak..." ucap si pelanggan lembut pada Damaya yang saat itu berdiri
terpaku.
"Hot Cappucinonya satu ya mbak, mbak?" si pelanggan
mengibaskan tangannya di depan wajah Damaya yang bengong. Damaya yang saat itu
tiba-tiba tersadar tersenyum malu dan meminta maaf pada si pelanggan.
"Oh,
eh, iya. Silakan duduk. Hot Cappucino satu..." Damaya buru-buru ke
belakang dan meminta disiapkan secangkir Hot Cappucino.
Ia melihat si pelanggan
sedang duduk di sebuah sofa di dekat jendela, tersenyum pada Damaya yang sedang
salah tingkah.
Sejak hari itu, setiap hari selama
tiga bulan lamanya si pelanggan selalu datang ke kafe tempat Damaya bekerja
pada jam yang sama dan memesan Hot Cappucino yang sama dan duduk di kursi yang
sama. Si pelanggan nampaknya tahu jam yang pas untuk mendapatkan kursinya dan
menikmati kopinya sambil membaca sebuah buku tebal. Damaya yakin, dari semua
kebiasaan di pelanggan di kafenya, hanya buku yang ia baca saja yang berganti. Suatu
kali, saat kafenya sepi, Damaya memberanikan diri mendekati si pelanggan dan
bertanya buku apa yang sedang ia baca.
"Oh, ini novel terbaik Haruki
Murakami yang saya punya. Bahasa Inggris. 1157 halaman. Judulnya IQ48. Tentang
orang Jepang sepertinya. Saya baru baca sampai halaman 50, baru beli di
Gramedia sebelum mampir kesini." Ucap si pelanggan sambil menyerahkan
novel itu kepada Damaya, mengira Damaya akan tertarik.
"Tebal ya. bahasa Inggris
lagi. Hm, kalau saya suka puisi. Sesekali saya membaca novel, tapi saya merasa
lebih dekat pada puisi. Saya mengoleksi beberapa antologi puisi." Damaya
menyerahkan novel tebal itu. Si pelanggan menerimanya sambil tersenyum manis.
Damaya sangat menyukai lesung pipit si pelanggan saat ia tersenyum. Damaya berdiri
dan berpamitan karena harus mengerjakan sesuatu. Si pelanggan tersenyum.
"Riza." Ucap si pelanggan.
"Eh?" Damaya berbalik dengan
kening berkerut.
"Nama saya Riza." ucap si pelanggan lagi, sambil
tersenyum manis.
"Damaya" Akhirnya Damaya bisa menyebutkan namanya
pada si pelanggan pujaan hatinya. Si pelanggan mengangguk dan Damaya
berpamitan.
Yanti menghela nafas. Ia
menyandarkan punggungnya di kursi. Menyeruput wedangnya dan tersenyum membaca
cerpennya yang belum selesai. Ia berharap kali ini cerpennya layak muat dan
namanya akan mulai dikenal pembaca tabloid tersebut. Yanti berimajinasi bahwa
ia akan menjadi penulis terkenal seperti Dewi Lestari, Asma Nadia, atau bahkan
JK. Rowling, Anchee Min, Harper Lee, dan lainnya. Yanti kembali ke laptopnya
dan telinganya masih mendengar sayup-sayup dari kejauhan seorang biduan wanita
menyanyikan lagu dangdut berbahasa Lampung.
"Apa sih yang nggak ada di
Indonesiaku ini?" Yanti tersenyum pada dirinya sendiri.
Kali ini Yanti menulis bahwa
Damaya mulai sering melamun, memikirkan si pelanggan yang ternyata bernama Riza
itu. Sudah sebulan lamanya si pelanggan menghilang. Damaya bukan saja
kehilangan pelanggan terunik di kafenya, juga senyum manis yang selalu membuatnya
bahagia. Yanti membuat Damaya curhat pada sahabatnya si pemilik kafe dan si
mahasiswi jurusan Matematika.
"Kamu suka doang apa memang cinta?"
tanya si pemilik kafe. Damaya hanya mengangkat bahu.
"Ah, kadang suka
doang sama cinta nggak bisa dibedain." ujar si mahasiswi Matematika.
"Pokoknya aku kangen dia." Ujar Damaya ringan. Kedua sahabatnya
menggeleng-gelengkan kepala.
"Tapi yah, gue tahu kok mana mungkin cowok
seperlente dia suka sama gue. Gue kan cuma pelayan kafe lo Bud, gw nggak berkelas
kali ya buat dia?" Damaya menggigit kukunya yang segera ditepis si
mahasiswi Matematika.
"Gak segitunya juga kali Day,
lo kan nggak tahu dia masih bujang apa udah punya bini" Si mahasiswi
Matematika mencoba menghiburnya. "Hera, gue tahu ciri-ciri orang jujur atau
boong. Gua yakin dia jujur. Gue bisa lihat pandangan matanya yang bersih."
Damaya memegang pundak Hera yang sedang menikmati Ice Cappucino. Hera, si
mahasiswi Matematika hanya mengiyakan.
"Oke, nggak apa-apa sih lo kasmaran
sama dia, Day. Tapi lo jangan lupa nanti malem lo ada kuis. Besoknya ada ujian,
dan lo juga harus kerja. Klo nggak di Budi bisa PHK lo." Hera mengelus
punggung tangan Damaya yang dingin. Diluar hujan. Pandangan Damaya jauh
kedepan, kosong, seperti ingin diisi oleh sesuatu.
Sampai pada bagian itu, Yanti
bingung mau ia apakan tokoh Damaya dan Riza. Akhirnya Yanti memutuskan bahwa
Hera membantu Damaya mencari tahu siapa Riza melalui internet. Hera berkata
bahwa bisa jadi Riza itu seorang terkenal yang selama ini tak mereka tahu. Saat
weekend tiba dan Damaya memutuskan untuk cuti selama dua hari dari kafe, Damaya
dan Hera sibuk mencari tahu siapa sebenarnya Riza melalui mesin pencari Google.
"Ada banyak nama Riza. Yang mana yang bener ya?" Damaya sudah 5 jam
didepan laptopnya tapi tak juga menemukan siapa Riza sebenarnya. "Kampus,
coba cari nama-nama dosen di kampus-kampus!" dan Damaya pun begitu
bersemangat mengikuti saran Hera. Saat Hera sedang membaca komik Doraemon
koleksi Damaya, ia mendengar Damaya berteriak "Riza! ini dia! Riza itu
dosen!" Hera sontak bangun dan melemparkan komik yang sedang dibacanya dan
menghampiri Damaya yang sedang kegirangan. Kedua matanya memelototi sebuah
photo pria tampan yang tak lain adalah Riza.
"Oh, Riza itu pak Dosen toh.
Ada alamat emailnya nggak?" dan perburuan mereka pun berhasil.
Setelah mengklik tombol 'save' Yanti
bangkit dari kursinya. Yanti meregangkan tubuhnya dan meninggalkan kamarnya
menuju ruang tamu dimana teman-teman kosannya sedang menonton FTV siang. Yanti
duduk diantara mereka dan menikmati camilan yang baru saja dikirim ibu kos.
"Tumben ibu kos kirim makanan." Yanti bertanya sambil menikmati kue
lapis legit yang membuatnya tersenyum "Enak." katanya.
"Oh, ibu
kos lagi nikahin anak bungsunya, bikin hajatan besar-besaran. Sayang ya, kita
nggak diundang." Yanti hanya berkata "Oooh." lalu tenggelam
dalam tayangan FTV yang diperankan Revalina S Temat dan Ibnu Jamil.
Melihat tayangan FTV itu tiba-tiba ide cemerlang mampir ke benak Yanti.
Ia bun berdiri dan terburu-buru menuju kamarnya.
Damaya kemudian mengirim sebuah
email ke pada Riza yang entah sedang dimana, mengungkapkan perasaannya selama
ini. Damaya mahasiswi polos yang sedang jatuh cinta pada Dosen tampan yang
merupakan pelanggan tetap Hot Cappucino di kafenya. Lalu tak lama Damaya mendapatkan
email balasan dari Riza bahwa Riza sedang berada di Perancis, dan berharap ia
bisa menikmati keindahan menara Eiffel bersama Damaya. Happy Ending. Begitu
pikir Yanti didalam kepalanya mengenai kelanjutan kisah Damaya dan Riza. Yanti
berfikir bahwa pengakuan semacam itu akan begitu naif dan tak menantang.
Sesampainya di kosan, setelah
menjalani perkuliahan yang membuat kepalanya begitu penat, Damaya membuka
laptopnya. Ia membaca sebuah alamat email yang ia tulis di secarik kertas saat
melakukan pencarian atas Riza, si pelanggan pemilik senyum paling manis sejagat
raya.
To :
rizanegarawan@yahoo.com
Subject : How are you?
Dear Riza yang baik,
Perkenalkan, saya Damaya,
karyawan Kafe Orang Indonesia. Oh ya, sudah dua bulan lamanya saya tak melihat
anda berkunjung ke kafe dan memesan Hot Cappucino dan duduk di sofa nomor empat
dekat jendela. Saya merasa kehilangan pelanggan saya yang paling setia beserta
senyum manisnya yang penuh keramahan. saya kira bos akan melupakan kebiasaan
memberi bonus pada saya karena kehilangan pelanggan setia. Apakah anda
baik-baik saja?
Kadangkala, diantara
kunjungan demi kunjungan para pelanggan kafe yang berbeda-beda karakter. Saya
merindukan pelanggan yang hanya datang pada jam tertentu setiap harinya,
memesan minuman yang sama dan duduk di tempat yang sama. Yang berbeda darinya
hanya buku yang dibacanya. Entah kenapa, saya merindukan saat-saat berbicara
dengannya setela membawakan segelas Hot Cappucino pesanannya. Dia juga memiliki
senyum yang sempurna.
Salam Orang Indonesia,
Damaya
Sebulan setelah mengirim email itu, dan sibuk
dengan ujian di kampusnya, Budi mengatakan bahwa ada paket untuk Damaya.
"Dari Amsterdam." kata Budi yang sontak mengejutkan Damaya.
"Dari mana? Amsterdam? Ntar, gw nggak punya hubungan sama siapapun yang
tinggal atau sekolah di Amsterdam, gw juga belum mengajukan beasiswa apapun
yang berkantor di Amsterdam." Damaya menimang-nimang paket berbentuk kubus
itu dan membawanya ke mejanya.
Damaya terdiam saat matanya bersiborok dengan
tulisan berupa alamat si pengirim paket. Riza Negarawan! Buru-buru Damaya
membuka paket itu dan matanya berbinar manakala ia mendapati miniatur menara
Eiffel berwarna kuning keemasan yang dikirim Riza untuknya. Riza juga
mengirimkan surat untuknya.
Dear Damaya yang baik,
Saya tak tahu darimana kamu mendapatkan
alamat email saya. Tetapi, tak apa lah. Terima kasih atas perhatianmu dan
kejujuranmu. Sudah dua bulan saya di Belanda, mengikuti sebuah kursus singkat
tentang Urban Land Management. Saat saya berkesempatan ke Paris, saya teringat
kamu dan membeli miniatur menara Eiffel khusus untuk kamu. Saya juga heran,
kenapa saya tiba-tiba mengingat senyummu yang malu-malu saat memandang menara
Eiffel dari jarak dekat. Bulan depan saya kembali ke tanah air dan akan mampir
ke kafemu seperti biasa.
Salam semangat,
Riza
Damaya memeluk surat itu dan menciumi miniatur
menara Eiffel sampai mengalir air matanya.
"Pelanggan yang paling gue
rindukan balik bulan depan, Bud. Itu, Mr. Hot Cappucino yang kirim gue paket
dari Amsterdam!" Damaya sontak memeluk Budi yang hanya tersenyum simpul
melihat kebahagiaan telah terbit kembali di wajah karyawan terbaik di kafenya.
"Ya, gue cuma perlu nunggu sebulan lagi." Damaya menyimpan paket itu
kedalam tasnya. Dengan keceriaan yang baru ia melayani pelanggan kafenya.
Sejenak ia berdiri memandang meja nomor empat dekat jendela yang sedang
dibersihkan Budi. Bulan depan, Damaya yakin sekali, Mr. Hot Cappucinonya akan
duduk disana.
Bandar Lampung, 9 Februari 2014
No comments:
Post a Comment