![]() |
Beauty. Sumber: vidalcuglieta |
Ratu, teman lamaku, mengundangku untuk bertemu di salah satu kafe di kawasan Teluk Betung. Aku memenuhi undangannya. Selain untuk memenuhi kebutuhan pertemanan, juga untuk memberinya ruang bagi cerita-cerita yang siap ia tumpahkan padaku layaknya hujan deras. Aku siap menjadi pendengar, siap menjadi museum bagi kisah-kisahnya. Seperti sebuah toples kaca bagi sekantong kacang goreng.
Ratu duduk
di bagian pojok, dekat jendela. Aku segera menghampirinya dan nampaknya dia tak
menyadari kehadiranku. Ratu melamun. Matanya memandang ke luar jendela, ke
lalu-lalang kendaraan yang dibayangi pepohonan hijau.
Tak lama
Ratu tersadar akan kehadiranku dan segera saja dia berdiri dan memelukku. “Apa
kabar? Thank you for coming.” Tanyanya sembari memperhatikan
penampilanku. “Kurusan kamu sekarang, Ly.” Lanjutnya sembari mempersilakanku duduk.
“And you are look so beautiful. You look like a Princess, really
pretty. I’m sure.” Kataku memujinya dan Ratu hanya tersenyum. Aku
benar, lama aku memandangi wajahnya, Ratu memang terlihat semakin cantik.
Wajahnya yang bening menyiratkan ketegaran dan kasih sayang.
“It is
a good day. Lihat diluar sana, so clear. Cerah
banget.” Ratu memintaku melihat ke luar jendela.
“Tidak seperti hatiku. My
heart was broken.” Tambahnya sembari memalingkan wajahnya, memandangku.
Ratu memegang jemariku seraya mengatakan, “Ly, cuma kamu yang bisa menampung
ini. Cuma kamu yang bisa mendengar. Listen me, okay. I
trust you. Aku percaya kamu, Ly. Aku menitipkan semuanya padamu, please.”
Dan aku hanya bisa mengangguk. Sebagai teman, aku hanya bisa memberikan yang
terbaik bagi Ratu, sesuatu yang membuatnya nyaman. Dan saat ini, aku hanya bisa
menjadi pendengar.
“Ya. Tentu saja.”
Setelah
seorang pelayan meletakkan dua cangkir Cappucino pesanan kami, Ratu mulai
menuturkan kisahnya. Aku tercekat dan aku kaku layaknya selang air yang
dipenuhi pasir. “Ayahku selingkuh dengan banyak perempuan, Ly. I can’t
believe it. He lied to his family. How can?” Katanya sembari melap air
mata dengan selembar tisu.
“That impossible! Fucking him! Aku tidak
rela jika para perempuan brengsek itu merampas semua harta keluarga kami.
Itulah sebabnya aku memeras ayahku untuk menyelamatkan uangnya. Harta keluarga
kami.” Pikiranku menyetujui apa yang Ratu lakukan.
“Sabar
ya.” Hanya itu yang bisa kukatakan padanya, sebab aku menanggung kepedihan yang
sama dengannya, atau mungkin lebih pedih.
“Entah bagaimana awalnya Papa
memiliki perempuan lain, yang menjadi teman tidurnya, yang tidak dinikahinya,
yang menggeser keistimewaan Mama. Aku bisa merasakan kegetiran hati Mama sebab
aku perempuan.” Isaknya.
“Kau lihat, kami punya segalanya. Kami punya uang
berlebih, rumah mewah, kendaraan mewah, sekolah di universitas ternama dan
properti keluarga kami selalu saja bertambah.” Ratu terdiam.
“Tapi semua itu
seakan tak berarti lagi manakala kehangatan kami seketika hilang dan berganti
rasa sepi yang menusuk-nusuk, seperti nyamuk yang terjebak dalam balok-balok
es. Aku kasihan pada Mama.”
“And
you know, Lily, today is my birthday. But there is no anyone in my family
ask to me, Happy birthday, Ratu, for example and gave me a special gift. Huh.
No, no one.” Ratu menutupi wajahnya dengan kedua punggung
tangannya. “Happy birthday, Ratu. You’re the best. You’re a nice
Princess in your family. I very proud of you. Believe me.” Aku
menggenggam tangan Ratu.
“Someday, kamu akan tahu apa arti semua
ini.” Ratu tersenyum, meski sebenarnya ia sedang berusaha menahan airmatanya.
Matanya merah.
Mataku
pedih, ingin menangis. Aku bohong pada diriku sendiri dan pada Ratu bahwa aku
baik-baik saja, “Everything will be okay.” Ratu mungkin lupa bahwa
aku lahir sehari lebih awal darinya sehingga dihari ulang tahunnya, hari ini,
adalah hari pertamaku di usia 27. That is my first 27, my great day.
Aku sangat sedih sebab dihari ketika aku beranjak kian dewasa, kedua orangtuaku
mungkin melupakannya. Tak satupun dari mereka yang menelponku dan mengucapkan
‘selamat ulang tahun’.
Padahal,
hari ini, hari yang kurencanakan untuk mengenalkan seseorang yang
kuanggap tepat untuk menjadi calon suamiku pada mereka. Namun kemudian aku
bimbang, aku takut tak bisa keluar dari bayang-bayang kehancuran
pernikahan kedua orangtuaku. Semakin aku berusaha memahami pilihan mereka,
semakin aku terjepit dalam ketakutanku. Aku takut mengalami kegagalan yang
sama. Ini buruk.
Hari ini,
yang seharusnya menjadi hari berkumpulnya aku dan keluargaku dalam rangka
pengenalan dengan calon menantu mereka, justru kedua orangtuaku yang
meninggalkanku dan melupakanku. Tak satupun dari mereka yang menelponku untuk
membuktikan bahwa mereka tidak lupa berapa usiaku kini dan apa yang seharusnya
dilakukan gadis seusiaku.
“Lily, did
you listen me?” Ratu menepuk bahuku. Aku meminta maaf padanya bahwa
curhatnya telah menyeretku pada masalahku sendiri. “Alhasil, aku berhasil
mengambil uang Papa dalam jumlah yang sangat banyak.
Aku berhasil membujuk Papa
untuk memberikan warisanku dengan alasan agar aku bisa mengelolanya sendiri,
untuk belajar mandiri. You know, it is bullshit! Mana bisa aku
mengelola perusahaan Papa. Aku hanya memainkan muslihat, daripada para
perempuan durjana itu yang memilikinya.”
“And…” Ratu
menghentikan kalimat yang baru dimulainya, lalu menyeruput Cappucinonya. “Aku
berhasil membujuk Papa agar beberapa apartemen dan beberapa rumah kami di
Jakarta, dan dua unit villa di Bogor diganti kepemilikannya atas nama aku dan
kedua kakakku. Kami berhasil. Tapi itu tak cukup.
”Dan aku hanya bengong,
memangnya sekaya apa keluarganya? “Aku benci melakukan ini, seakan-akan aku ini
anak serakah yang tak percaya kasih sayang ayahku sendiri. But, I have
to do that.”
“Lalu, apa
yang akan kamu lakukan selanjutnya?” Tanyaku. Ratu terdiam dan
memilin-milin ujung tisu.
“Rencannya, hari ini, di hari ulang tahunku, aku
ingin membuat masalah besar di keluargaku agar Papa sadar bahwa dia telah
melalaikan keluarga, terutama aku si bungsu. Aku punya rencana jahat, Ly.
Sangat jahat.” Aku penasaran dan apakah dia mengundangku agar aku membantunya
menjalankan rencana jahatnya? Apakah mungkin pembunuhan? Ah, aku tak sanggup
membayangkan Ratu akan membunuh ayahnya sendiri meski lelaki itu tak serupa
seorang ayah lagi.
“Tapi jangan kau kira aku akan melakukan pembunuhan
terencana pada ayahku sendiri. I’m not a murderer. Aku hanya
ingin menyadarkannya dan mengembalikannya pada kami, pada Mama. That's
enough.” Ratu menyanggah prasangka burukku. Syukurlah.
“Tadinya,
aku ingin mengaku bahwa aku hamil diluar nikah. Ya, pura-pura begitu lah. I
think itu akan membuat shock Papa dan membuatnya sadar bahwa aku
memerlukan perlindungan. I very need him, and everyone in his family
need him, his secure.” Aku terkejut dan kupikir itu ide gila.
“Hah? Itu ide
gila, Ratu.” Kataku dengan suara keras. Ratu hanya tersenyum.
“Ya.” Akunya.
“Kakakku
menolak sebab rencana gila itu hanya akan menghancurkanku dan merusak nama
baikku. Kakakku sampai bilang begini, Ratu, bagaimana mungkin kamu punya
pikiran gila, bagaimana kalau berita bohong itu keluar di koran dan jadi bahan
pembicaraan publik. Kamu tidak akan mendapatkan Papa dengan cara ini. Kamu
hanya akan mempermalukan keluarga kita, membuat bisnis keluarga kita hancur dan
kamu mau kamu digolongkan sebagai sampah masyarakat? Bla… bla… bla…, kamu
tahulah itu cuma ocehan murahan kakakku. Harta, kehormatan. Huh.”
“Akhirnya
aku sadar, bahwa rencana itu memang aneh dan tentu saja buruk. Aku tahu,
seharusnya aku membuktikan bahwa meski keadaan keluarga kami hancur begini,
tapi aku bisa menjaga kehormatanku. Aku virgin. Sementara Papa mungkin telah
merusak kesucian seorang gadis. Mungkin saja perempuan selingkuhannya seusiaku.
Hiks hiks. Aku harus bisa membuktikan bahwa persoalan semacam ini tidak boleh
membuatku gelap mata, hingga menjerumuskan diri sendiri.” Ratu kembali menangis.
Aku memberinya selembar tisu, lalu kemudian sekotak tisu. Ratu menangis
tersedu.
“Sabar ya.
Setidaknya kamu masih punya Mama dan kakak-kakakmu. Kamu juga punya banyak
rumah sehingga tak harus kehujanan. Kamu punya banyak uang untuk hidup sehingga
tak perlu kelaparan jika Papamu tak kembali. Kamu bisa melakukan charity
misalnya, untuk membuat harta keluargamu lebih berkah.” Kataku sembari
menyembunyikan kesedihanku dan menahan air mataku sendiri agar tak
mengalir. Jika saja Ratu tahu bahwa keadaannya lebih baik dari keadaanku,
tentu dia tak akan sesedih ini. Dia memiliki segala hal yang bisa membuatnya
kembali bahagia meski tak akan pernah sempurna.
Jika saja
Ratu tahu bahwa keluargaku telah hancur sejak aku masih sangat kecil, sejak aku
masih belum mengerti arti sebuah perselisihan, sejak aku belum bisa menerima
bahwa sebagian orangtua harus berpisah dari anak-anaknya. Tentu Ratu tak akan
semarah ini. Aku tak punya apa-apa selain harapan dan keluargaku tak punya
banyak harta yang sebagiannya mungkin hakku dan aku takut untuk berbuat
muslihat untuk menguncang perasaan mereka. Bahkan, dihari dimana aku
merasa disakiti oleh mereka, aku hanya bisa menunggu mereka datang padaku. Aku
tak bisa marah atau pun menuntut orangtaku.
Ratu telah
menghabiskan semua tisu didalam kotak. Dia mendongakkan wajah dan membenahi
rambutnya yang basah oleh keringat dan airmata.
“Are you okay?”
Tanyaku sembari mengintip wajahnya yang sembab.
“Me?” Tanyanya
padaku sembari menunjuk wajahnya yang sembab memastikan riasannya baik-baik
saja.
“You still okay. Still pretty.” Kataku menghiburnya, tak mau
mengatakan penampilan sebenarnya yang mungkin akan membuatnya menangis lebih
lama.
“Ly.” Ratu
membuka tasnya dan mengambil sebuah amplop.
“I never forget you. Today
is your first day in 27. Congratulation.” Ratu memelukku.
“That
great day, you know. I’ll be fine. And you’ll be the best. Thank you.” Ratu
memelukku lagi.
“Ini…” Ratu menyerahkan amplop itu padaku.
“This is for you
and your sister.” Katanya sambil memintaku membukanya.
“Apa?” Tanyaku.
“Buka
aja.” Ratu tersenyum. Aku
ternganga.
“Ratu? Bagaimana mungkin? Ini uang keluargamu.” Aku memasukkan
kembali cek kedalam amplop dan memberikannya pada Ratu. Amplop itu
tergeletak ditengah meja. Ratu mendorongnya ke arahku.
“Ini uang untuk biaya
kuliah adikmu. Dan rumah kecil yang ada di Bandar Lampung ini untukmu. Mungkin
saja nanti kau mau memulai hidup baru. Atau kamu bisa menggunakannya untuk
apapun yang kau mau. Ini charity yang kau bilang tadi. Ah, masa kamu ngga
ngerti maksudku.” Ratu tersenyum malu sementara aku masih melongo.
Apa benar
ada orang sebaik Ratu, yang memberikan sebagian uangnya padaku secara
cuma-cuma? Tidak mungkin.
“Ratu, aku tidak bisa menerimanya. Berikan saja pada
panti asuhan, mereka lebih berhak. Please.” Aku meraih tangan Ratu
dan meletakkan amplop itu di telapak tangannya. Ratu mendelik.
“Tidak berhak?
Kamu ini polos, bego atau pura-pura sih? Everything in the envelope is
for you! And the check is for your sister! Understand?” Suaranya
meninggi. Aku tiba-tiba sangat ketakutan ketika suara Ratu meninggi. Kulihat
matanya mendelik, marah dan haus.
Ratu duduk
dan wajahnya terlihat begitu kejam. Kemana Ratu yang dipenuhi air mata yang
sedari tadi menangis dan mengadu padaku?
“Ratu? What wrong? Tell
me something. What wrong with you? What happen?” Meski aku memaksa,
Ratu tak menoleh. Ratu mengambil amplop lain dari tasnya. Amplop tebal berwarna
coklat. Amplop yang seakan-akan mengerikan.
Ratu diam
dan dengan perasaan tak menentu aku membuka amplop coklat dengan tangan
bergetar dan tubuhku berkeringat dingin. Puluhan photo berhamburan. Photo
adikku. Adikku dengan seorang pemuda. Ah, siapa pemuda ini? Apa hubungannya dengan
adikku sehingga Ratu perlu menunjukkannya padaku? Aku memandang Ratu meminta
penjelasan.
“Berikan
saja uang itu pada adikmu. Dan katakan padanya menjauhlah dari pacarku atau
adikmu akan menyesal. Kau sendiri tahu apa yang kulakukan pada ayahku, kan? Aku
bisa melakukan apa saja dengan uangku pada adikmu.” Ratu bangkit, tersenyum
sinis dan meninggalkanku.
Rasanya,
aku berubah menjadi pasir. Adikku.....
Jakarta,
14 Mei 2011
No comments:
Post a Comment