![]() |
Ilustrasi. Sumber: projectkuradoria |
”Kau percaya pada keajaiban?”
”Ya.”
“Hm, Kau pernah melihat Jin?”
”Tidak.”
”Kau pernah menyelam? Hm, ke laut ini?”
”Belum.”
”Atau Kau pernah mendaki gunung?”
”Ya. Sewaktu SMU.”
”Kau suka dermaga ini?”
”Aku?”
”Ya. Apakah kau menyukai sesuatu di dermaga ini?”
”Angin.”
”Ya. Aku juga suka angin.”
”Kau hapal lagu pelangi?”
”Tentu saja. Itu lagu wajib sewaktu aku masih TK.”
”Kau hapal?”
”Ya. Baiklah, kunyanyikan untukmu.”
”Pelangi-pelangi alangkah indahmu...merah kuning
hijau di langit yang biru... bagaimana suaraku, lumayan kan?”
”Suaramu seperti kelebatan angin yang menghampiri
telingaku.”
”Kau ....maksudku... apakah kau pernah merasa
disentuh tangan Tuhan?”
”Ah, seperti apa tangan Tuhan?”
”Lembut.”
”Dia hanya akan menyentuh kita di Surga.”
”Menurutku tidak begitu.”
”Lucy.”
”Hm.”
”Kau nyaman dengan dirimu?”
”Aku? kenapa?”
”Kau....kau seperti tak menjejak bumi.”
”Aku di bumi.”
”Hatimu. Pikiranmu.”
”Hm. Kau tahu....jika aku menikmati angin sembari
memejamkan mata...”
”Apa yang kau rasakan?”
”Aku memiliki sepasang sayap.”
”Sayap?”
”Ya. Seperti burung. Rasakan sentuhan angin. Sentuhan
angin. Di wajahku.”
”Lucy. Bangunlah.”
“Saat kau punya sayap. Kau bisa terbang.”
“Lucy. Kumohon.”
“Akan kutunjukkan.”
“Lucy.Lucy. Jangan!”
“Aku akan menunjukkan, betapa senangnya terbang
seperti burung.”
”Lucy. Lucy. Jangan terjun ke laut. Kau tidak bisa
berenang!”
”Aku hanya terbang.”
”Lucy! Lucy!”
”Aku terbang. Aku terbang.”
“Lucy! Lucyyyy!”
Laut bergelombang. Memeluk angin yang melintas.
Lucy. Lucy. Lucy.
***
Aku harus pergi. Lihatlah, putriku menunggu. Dia
kedinginan. Duduk dan menungguku di beranda. Putriku. Dia sangat cantik.
Lihatlah, dia mengulurkan tangan mungilnya. Jemarinya dipenuhi cahaya. Dia sepenuhnya
cahaya. Tidakkah kalu lihat matanya? Matanya jernih bagai embun. Senyumnya
manis bagai mentari pagi. Aku ingin memeluknya. Aku ingin menemaninya. Aku
ingin bermain dengannya.
***
“Lucy.”
“Ya.”
“Apakah kau angin yang berhembus?”
“Hh, aku burung yang melebarkan sepasang
sayapnya.”
”Lucy.”
”Ya.”
”Aku ingin hidup bersamamu.”
”Kau?”
”Ya. Aku ingin hidup bersamamu.”
”Kau? Bukankah kau memang hidup bersamakku?”
”Aku, Kau. Hidup abadi sebagai kekasih.”
”Puitis sekali.”
”Kau mau atau tidak?”
”Menurutmu?”
”Maukah kau memakai ini?”
”Cincin?”
”Ya. Di jari manismu.”
“Aku....”
“Aku akan sangat
berbahagia jika kau mau hidup bersamaku. Sepanjang hidupku.”
“Aku tidak bisa. Maaf.”
”Apa arti semua yang telah kita lalui?”
”Kau seperti batu. Kenapa keras kepala sekali?”
”Kau akan menyesal jika hidup bersamaku.”
”Lucy.”
”Kau akan menyesal. Maaf. Aku tak bisa.”
”Lucy. Aku mencintaimu. Mencintaimu.”
”Aku...”
”Katakan Lucy, katakan...katakan bahwa kau juga.”
”Tidak.”
”Apa yang kau inginkan?”
”Pergilah. Jangan datang lagi.”
”Lucy. Kau tak sedikitpun memberi kesempatan. Apa arti semua ini?”
”Sudah kukatakan kau akan menyesal.”
”Lucy.”
”Baiklah. Aku yang pergi.”
”Lucy. Aku bersumpah kau akan hidup bersamaku. Aku
bersumpah. Lucy!”
***
”Kau tahu dia?”
”Lucy? Ya. Darimana kau dapat kartu nama ini?”
“Dimana dia?”
“Kau siapa? Sepertinya dia di dermaga.”
“Dermaga apa?”
“Tempat perahu-perahu kecil bersandar.”
“Ya. Aku tahu itu. Namanya apa? Kau mempersulitku
saja.”
“Kau ingin bertemu dia? Ada janji?”
“Ya.”
“Wajahmu berkata lain. Kau jangan coba-coba bohong padaku.”
“Hei, aku ingin bertemu perempuan ini. Kenapa kau
mempersulitku?”
”Karena jika bertanya padaku kau akan sulit
menemuinya.”
”Oh aku lupa. Aku belum membeli kopimu. Ayo
berikan aku secangkir.”
”Nah, begitu dong.”
”Sekarang katakan padaku dimana dia? Hm, kopimu
enak juga.”
”Ini kopi terbaik di seluruh kafe di kota pantai
ini. Beruntung kau bertemu aku.”
”Duduklah dulu kawan. Kuberi tahu sesuatu tentang
Lucy.”
”Ah ya, aku akan senang mendengarnya.”
”Lucy.”
”Kenapa dengan dia?”
”Meski kau memujanya, kau tak akan bisa hidup
dengannya.”
”Kau pikir aku bermaksud demikian?”
”Ya. Bisa kupastikan. Setiap lelaki yang bertemu
dengannya, yang baik atau yang jahat, semuanya akan bertekuk lutut. Lucy
perempuan berdarah dingin. Sangat sedikit bicara. Ya, dia memang lumayan
dermawan dan murah senyum. Tapi, semakin kau mengenalnya, semakin kau tenggelam
dalam pusaran samudera. Lucy bagai samudera yang bisa menampung apapun.”
”Kau baik sekali mau memberiku informasi penting
tentangnya. Kau suka blog-nya”
”Bukan dia yang menulis di blog itu.”
”Siapa? Kau?”
”Aku dan seorang teman lain. Kami meng-upload tulisan-tulisan Lucy. Keinginan-keinginannya.
Foto-fotonya. Dia tidak peduli dengan semua itu. Dia seperti sedang
menginginkan sesuatu yang tak kami pahami. Oh ya, dia sangat baik.”
”Lama kau mengenalnya? Secangkir lagi boleh?”
”Ya, tentu saja. Kopi di tokoku ini sangat
nikmat.”
”Lucy? Lanjutkan ceritamu.”
”Dia cukup sibuk. Dia punya banyak pekerjaan.”
”Dia seorang pengusaha? Atau kepala Dinas tertentu?”
”Tidak. Lucy memiliki beberapa perpustakaan. Dia
mengelola semuanya. Dia punya beberapa toko bunga dan dia mengelola semuanya.”
”Apakah perpustakaan dan toko bunga membuatnya
sesibuk itu?”
”Ya. Dia menghabiskan sebagian besar waktunya di
dermaga.”
”Ya. Dermaga yang kau sebut tadi. Untuk apa Lucy
disana? Apa yang dilakukannya di dermaga?”
”Entahlah.”
”Maksudmu ...entahlah..?”
”Dia hanya duduk atau berdiri bagai patung. Membiarkan angin menampar-nampar wajahnya.
Lucy sangat suka pada laut yang bergelombang.”
”Lalu. Sekarang Lucy di dermaga?”
”Ya. Kesana saja. Aku tak mau mengantarmu.”
”Baiklah. Dermaga mana?”
”Kau tanya saja pada orang-orang. Hanya ada satu dermaga ditempat ini.”
”Kau gila. Jadi kau telah memerasku dengan dua
cangkir kopi yang harganya selangit itu? Keterlaluan sekali kau.”
”Tak semahal informasi tentang Lucy, kawan.”
”Baiklah. Aku akan ke sana.”
”Kau mau kemana?”
”Dermaga. Dan aku akan bertanya pada orang-orang
dimana letak dermaga itu.”
”Hei, jangan buru-buru.”
”Apa lagi kau ini?”
”Sekarang Lucy tak akan ada disana.”
”Apa katamu? Kau mau memerasku lagi?”
”Tenang kawan.”
”Berapa yang kau mau. Jangan bertele-tele kalau
mau memerasku. Sebutkan saja!”
”Ya. Aku ingin mengatakan bahwa Lucy sudah dua
hari tak disini. Dia sedang pergi.”
”Pergi? Kenapa kau tak bilang dari tadi? Kemana?”
”Cina.”
”Apa katamu? Cina?”
”Ya. Lucy sedang ke Cina. Seminggu.”
“Oh...”
“Maaf, kawan. Jika kalian berjodoh, aku siap
menjadi saksi pertemuan kalian. Di kedai ini, dengan dua cangkir kopi nikmat.
Bagaimana”
“Ok. Ini kartu namaku, nomor telepon dan emailku,
semua ada dikartu ini. Kalau
sampai kau tak menghubungiku karena alasan kartu ini hilang, tak kuampuni kau!”
“Ya. Akan kuberi secara cuma-cuma. Ingat itu.”
“Baiklah, akau akan mengingatnya.”
“Sudah. Pulang sana. Jangan mengacau di kedaiku.”
”Baiklah aku pulang.”
"Merepotkan saja!"
"Merepotkan saja!"
Bersambung...
Bogor, 2 Januari 2014
No comments:
Post a Comment