Bersama Keluarga Taylor |
Sebuah program bernama "Thanksgiving with a Host Family" dari program lain bernama i-friend telah mempertemukan aku dan keluarga Taylor yang hangat dan ramah. Program tersebut semacam program persahabatan antara mahasiswa internasional dan keluarga Amerika untuk bertemu, makan bersama dan menjalin persahabatan. Pada musim gugur momen yang pas untuk bersenang-senang adalah libur nasional Thanksgiving. Sekitar seminggu sebelum aku bertemu pasangan suami-istri Jhonnie dan Robert Taylor, aku mendapat sebuah email dari pihak universitas mengenai kesediaanku ikut dalam program ini. Aku menyanggupinya dan berharap aku akan memperoleh pengalaman baru dan menyenangkan selama aku tinggal di Fayettevile.
Tinggal
di Fayetteville bukan hanya untuk tenggelam dalam pelajaran bahasa Inggris,
atau mengagumi alam yang cantik dan cuaca yang berubah-ubah tanpa bisa ditebak.
Juga, kesempatan untuk berinteraksi dengan masyarakat Amerika dan mengenal
budaya mereka. Perjalananku melintasi beberapa negara dan Samudera Pasifik yang
luas itu, harus kumanfaatkan untuk menggali dan memahami isi dunia yang
kutemui. Bahwa perjalanan jauh dan mahal itu harus mampu memberikan perubahan dalam
diriku. Sesuatu yang Tuhan ingin aku temukan dan pahami. Temukan itu, temukan
itu!
Di
Amerika libur Thanksgiving merupakan libur nasional. Selama empat hari kegiatan
belajar di SILC diliburkan. Selama itu pula tidak ada kendaraan publik yang beroperasi.
Supermarket mulai dipenuhi turkey atau kalkun. Orang-orang mulai
memenuhi lemari es mereka dengan berbagai makanan dan minuman. Turkey,
kentang, jagung, serta aneka biskuit dan cake akan menghiasi meja makan
rumah-rumah di Amerika selama libur Thanksgiving. Mahasiswa asli Arkansas
pulang kampung, sementara mahasiswa internasional memilih bergabung dengan
program i-friend untuk mencicipi kehangatan bersenda gurau dan makan
bersama di keluarga Amerika, atau berlibur ke state tetangga secara
berombongan.
Berita
di televisi lokal penuh dengan iklan dan hal-hal yang berkaitan dengan
persiapan perayaan Thanksgiving. Para tetangga menghias rumah mereka dengan
lampu-lampu kecil yang akan berkerlap-kerlip seperti bintang apabila malam
datang. Para petugas kebersihan memotong rumput dengan mesin yang berisik.
Burung-burung bernyanyi, bajing berkejaran mencari makanan di rerumputan dan
daun-daun terus berguguran, menampakkan ketelanjangan pohon-pohon berwarna
coklat. Di Amerika yang sunyi, dingin dan jauh itu aku merindukan hirup pikuk
Indonesia dan suara Adzan.
Pertama-tama
kami dipertemukan di Holcombo Hall, yang merupakan aula dari apartemen
mahasiswa didalam kampus, oleh pihak universitas. Ada sekitar 70 orang siswa
internasional dari berbagai negara yang berkumpul di satu ruangan. Satu persatu
nama kami dipanggil dan diberi secarik kertas seukuran kartu nama yang berisi
nama Host Family beserta alamat, nomor telepon dan alamat email mereka.
Saat itu, para Host Family sudah berkumpul di ruangan lain. Tak lama, kemudian
kami menemui mereka. Aku bertemu dengan host family dan Doyoung Lee,
mahasiswa pertukaran pelajar dari Korea Selatan yang akan melewatkan Thanksgiving
Dinner bersamaku di keluarga Taylor. Kami saling berkenalan, dan ngobrol
sambil menikmati camilan dan minuman. Lalu kami janjian kapan kami bisa
bertemu, dijemput dimana, jam berapa dan oleh siapa.
“Have
you ever visit Indonesia?”
Tanyaku pada keduanya. Rob menggeleng.
“We have visited some countries in Asia. Hm, Japan, South Korea, Thailand, Malaysia and Vietnam. I haven’t visit Indonesia.” Katanya.
“There is an Island named Bali. It is famous than my country for international tourist. I hope you can visit Bali someday.” Kataku dan keduanya tersenyum.
“We really enjoyed when we visited some countries in Asia. We love travel. Rob and I are love travel to another place.” Sambung Jhonnie. Pertemuan malam itu diakhiri dengan kesepakatan mengadakan dinner dan jadwal penjemputan kami berdua oleh Rob.
“We have visited some countries in Asia. Hm, Japan, South Korea, Thailand, Malaysia and Vietnam. I haven’t visit Indonesia.” Katanya.
“There is an Island named Bali. It is famous than my country for international tourist. I hope you can visit Bali someday.” Kataku dan keduanya tersenyum.
“We really enjoyed when we visited some countries in Asia. We love travel. Rob and I are love travel to another place.” Sambung Jhonnie. Pertemuan malam itu diakhiri dengan kesepakatan mengadakan dinner dan jadwal penjemputan kami berdua oleh Rob.
Aku
bisa berbahasa Inggris dan ngobrol sama orang Amerika di Amerika! Ini kemajuan
besar! Sunguh kemajuan besar! Biasanya aku kesulitan untuk menangkap
pembicaraan orang asing karena aku memang sangat payah di pelajaran listening.
Aku sukses!!! Tapi aku nggak ngerti kalau Young yang bicara.
Kamis,
22 November 2012 Aku dijemput Mr. Robert Taylor pada pukul 10.30 pagi di
apartemenku. Saat aku keluar, ia sedang merokok di Jeep merah kesayangannya
sembari menungguku. Saat itu aku mengenakan setelah gaun batik coklat gula yang
kubeli di Ambasador mall, Jakarta pada Oktober 2012, blazer satin merah, jilbab
merah, jeans dan boots. Tak lupa aku membawa oleh-oleh khas Jawa Barat yang
sejak dari Indonesia untuk American Host yang ternyata adalah keluarga Taylor.
Lalu kami menuju apartemen Young yang berlokasi di kampus. Barulah kami
meluncur ke kediaman mereka di 4210 E Ashley Lane, Fayetteville, AR 72701 di
wilayah timur kota Fayetteville.
Saat
itu udara cukup dingin dan langit sedikit mendung. Sambil menyetir dan
menghisap rokoknya dengan nikmat, Rob bercerita tentang perubahan kota
Fayetteville dari masa ke masa, dan keputusannya untuk retire alias
pensiun di akhir tahun 2012. Ia berencana akan melakukan berbagai perjalanan
menyenangkan bersama istri tercintanya ke berbagai tempat di Amerika. Dia bilang
sudah terlalu lama ia sibuk dengan pekerjaan dan mencari uang tapi lupa
bersenang-senang. Ia ingin menghabiskan masa tuanya hanya bersenang-senang
keliling berbagai tempat bersama istrinya saja.
Disepanjang
perjalanan, kulihat rumah-rumah khas Amerika yang berhias lampu-lampu,
bunga-bunga dan aksesoris sisa perayaan Halloween. Sebagian rumah kulihat sudah
berhias aksesoris khas Natal. Alam yang tak kukenal dan asing itu menimbulkan
decak kagum. Tak ada polusi meski jalanan dipadati kendaraan. Udara segar dan
dingin meski kota itu tampak menua tanpa daun-daun hijau. Sunga-sungai berair
jernih dan tanpa sampah. Bunga dimana-mana, sebagiannya telah layu mengikuti
perintah musim, dan sebagiannya masih tegar menantang dinginnya musim.
Lalu
kami berbelok ke sebuah komplek perumahan yang luas dengan rerumputan yang
mulai mengering, dan hiasan khas Natal berwarna merah dan hijau di gerbang.
Menjelang Natal hiasan sejenis terpajang dimana-mana di kota Fayetteville, dan
dijual dalam jumlah besar di Walmart. Di tempat itu hanya ada beberapa rumah,
semuanya besar dan megah. Bergaya sama, Amerika. Semua rumah berwarna coklat
hangat dengan tiang-tiang dicat putih atau krem. Dari jauh tampak rangkaian
perbukitan biru tua, entah Ozark atau apa, aku tak tahu, tapi sangat indah
dipandang. Juga terhampar pemadangan kota yang keperakan yang bersiap menyambut
musim dingin. Lalu kami berbelok ke sebuah halaman dengan rumah megah berwarna
coklat hangat. Rumah mereka.
Pertama-tama
Rob mengajakku dan Young untuk melihat-lihat Mother Home milik mereka,
yaitu sebuah mobil mewah layaknya sebuah istana kecil yang biasa dipakai Rob
dan Istrinya, Jhonnie untuk jalan-jalan keliling Amerika. Wow Wow wow! nggak
tahu deh berapa juta dollar harga mobil tersebut. Didalam mobil itu ada 2 buah
televisi, 2 buah sofa yang kalau disatukan bakal jadi ranjang ukuran queen, 1
buah kamar tidur, 1 kamar mandi lengkap dengan mesin cuci, 1 toilet, 1 dapur
canggih, kulkas dan lemari pakaian.
Terdapat
tombol-tombol khusus yang bisa bikin beberapa bagian bergerak mundur dan bikin
suasana didalam mobil bertambah lebar, jadi serasa di rumah. Di bagian bawah
mobil, ada tiga buah gudang tempat Rob menyimpan berbagai peralatan untuk
bersih-bersih, berkemah dan alat-alat perbengkelan. Di bagian belakang mobil
ada tempat khusus untuk menaruh Jeep merah kesayangan mereka. Akhir tahun 2012,
Rob dan Jhonnie berencana pensiun dari segala kegiatan dan menikmati masa tua
dengan bersenang-senang dan jalan-jalan. Dari semua cerita Rob, aku tahu bahwa
ia dan istrinya merupakan pasangan yang bahagia dan punya hobi sama.
Bersama mertua dan cucu Jhonnie |
Saat masuk rumah, kami disambut pelukan Jhonnie yang berhenti sejenak dari kesibukan memasak berbagai hidangan. Langsung saja kami membantu Jhonnie mengupas kentang untuk dijadikan menu dinner kami. Lalu muncullah Ibunya Jhonnie dan bersiap membuat salad dari bunga kol dan John, anak bungsu mereka yang baru bangun tidur. Tak lama kemudian muncul beberapa anggota keluarga seperti nephew dan niece-nya Rob bersama anak-anak mereka yang lucu, ibu dan adik Rob dan ramailah suasana rumah. Secara tak sengaja kuperhatikan bahwa aku, Rob, Jhonnie, dan John sama-sama pakai baju merah, senada dengan jeep merah kesayangan mereka. Kompak.
Sambil
menunggu kentang matang, dan kalkun yang masih di dalam oven, Jhonnie
mengajakku dan Young melihat-lihat isi rumahnya. Kami dibimbingnya berjalan
berkeliling dari arah kiri ke kanan. Pertama, ia mangajak kami ke kamar yang
saat itu dipakai John karena ia sedang pulang. Biasanya kamar itu dipakai para
mahasiswa internasional yang mengikuti program pertukaran pelajar di kampus.
“Some months ago, we have some Japanese students here and they are stayed in this room. Yeah, it is not big, but enough.” Katanya tersenyum lalu membawa kami ke ruang kerjanya. “Before I decided to retire, I am an English Teacher. Here is my room. I like my room.” Katanya. Ia juga memperlihatkan sebuah photo saat rumahnya kebakaran tahun 2006 lalu, yang dipotret tetangganya dan diberikan kepadanya sebagai kenangan.
“We started from the beginning. Our lovely house was burnt. This lovely house is new, and warm.”
“Some months ago, we have some Japanese students here and they are stayed in this room. Yeah, it is not big, but enough.” Katanya tersenyum lalu membawa kami ke ruang kerjanya. “Before I decided to retire, I am an English Teacher. Here is my room. I like my room.” Katanya. Ia juga memperlihatkan sebuah photo saat rumahnya kebakaran tahun 2006 lalu, yang dipotret tetangganya dan diberikan kepadanya sebagai kenangan.
“We started from the beginning. Our lovely house was burnt. This lovely house is new, and warm.”
Ada
banyak hiasan dari berbagai negara didalam ruangan itu. Lalu ia membawa kami ke
kamarnya. Ups! Ia membawa kami ke ruangan paling pribadi di rumahnya!
“This is my lovely bad. Rob and I sleep here.” Katanya tersenyum senang. Lalu menunjukkan dua kamar mandi untuknya dan Rob.
“This is mine. There is Rob.” Ia menunjuk bak mandi modernnya yang dilengkapi televisi.
“This is my lovely bad. Rob and I sleep here.” Katanya tersenyum senang. Lalu menunjukkan dua kamar mandi untuknya dan Rob.
“This is mine. There is Rob.” Ia menunjuk bak mandi modernnya yang dilengkapi televisi.
Tur keliling
rumah itu berakhir di ruang tamu yang di salah satu bagian dindingnya dipenuhi
photo berbagai jenis burung. “I love bird.” Katanya saat Young
berkomentar betapa banyak photo burung di rumahnya. Tur di rumah tersebut,
seperti sedang berwisata di lokasi syuting film-film Amerika atau Eropa yang
kuntonton di televisi, atau museum pribadi milik orang kaya.
Kami
kembali ke dapur. Satu persatu anggota keluarga berdatangan. Pada setiap yang
datang, Jhonnie mengenalkanku dan Young.
“She is Ika from Indonesia and she is Young from South Korea. They are international student who studying at Spring International. Today, they are special guests in our lovely home for celebrate thanksgiving together.” Lalu kami bersalaman dan mengobrol, sementara Jhonnie menata setiap makanan di meja. Keluarga yang hangat.
“She is Ika from Indonesia and she is Young from South Korea. They are international student who studying at Spring International. Today, they are special guests in our lovely home for celebrate thanksgiving together.” Lalu kami bersalaman dan mengobrol, sementara Jhonnie menata setiap makanan di meja. Keluarga yang hangat.
Bau
makanan memenuhi ruangan. Tawa bayi-bayi mengawang di langit-langit dapur,
renyah dan memikat seperti nyanyain burung dipagi hari. Dua anjing peliharaan
hilir mudik antara dapur dan ruang merokok. Di luar, langit berwarna kelabu.
Kupikir akan turun salju. Hari itu, di keluarga Taylor,‘Happy thanksgiving’,
‘how are you’ dan ‘I miss you’ adalah kata yang paling banyak
diucapkan hari itu. Sungguh, romantis sekali keluarga itu.
Tak seperti layaknya Thanksgiving Dinner yang kulihat di televisi dalam film-film Amerika, di keluarga ini anggota keluarga tidak berkumpul dalam satu meja dan berdo'a, tapi langsung makan. Setiap makanan disajikan di meja ala prasmanan dan kami dipersilakan mengambil makanan apapun yang kami suka. Setiap orang terserah mau duduk dimana saat makan. Aku, ibunya Rob, Jhonnie, Young, John, serta McKenzie dan ibunya duduk di meja makan dan kami ngobrol banyak hal saat makan. Ibunya Jhonnie senang saat aku begitu menikmati salad kembang kol buatannya yang memang lezat. Hm, nggak ada makanan pedas dan ketupat ala lebaran, hehe....
Uniknya,
setiap anggota keluarga yang membawa makanan akan membawa kembali makanannya
jika makanan tersebut nggak habis. Lalu, mereka juga boleh membawa makanan apa
pun yang terhidang di meja untuk dibawa ke rumah mereka masing-masing. Nggak
lupa, Johnnie juga membungkuskan kami makanan untuk kami bawa pulang. Dengan
senang hati aku membungkus beberapa biskuit dan cake, salad, kentang, telur,
dan sayuran panggang. Lumayan buat dinner di rumah, jadi nggak perlu masak,
hehehehe.
Sambil
menikmati makanan di piring masing-masing, Jhonnie meminta salah satu cucunya
menjelaskan asal usul dan makna perayaan Thanksgiving. Saat cucunya mengatakan
bahwa ia lupa kisah lengkapnya, Jhonnie menjelaskannya untukku dan Young. “It
is about friendship, love and share,” katanya.
Setelah
merasa kenyang dan berhenti makan, kami ngobrol-ngobrol sambil menikmati es
teh, menyaksikan pertandingan football yang sangat digilai Jhonnie dan
John, dan menemani ibunya Johnnie mengobrol sambil ia menyuir-nyuir sisa daging
turkey. Kami juga bermain-main dengan dua anjing peliharaan mereka yang
manja. Kami berbagi cerita tentang tradisi di negara masing-masing, dan
bercerita tentang liburan Idul Fitri, Idul Adha, Natal, Galungan, Nyepi dan
Imlek. Ibunya Jhonnie bahkan bertanya padaku tentang Jilbab dan rambutku, dan
pada momen inilah aku berbagi pengetahuan tentang Islam pada mereka.
"Are you a Muslim?" Tanyanya.
"Yes," kataku dan beliau melanjutkan.
"I am a Christian," sambil tersenyum.
"Do you wear this everyday?" tanyanya sambil mengarahkan matanya pada jilbab merahku.
"Yes, of course. Because I am an adult Muslim woman, I wearing my headscarf everyday if I go to outside. But in my home, I didn't use it," dan kubilang padanya seperti apa rambutku.
“I like your headscarf,” katanya.
"Are you a Muslim?" Tanyanya.
"Yes," kataku dan beliau melanjutkan.
"I am a Christian," sambil tersenyum.
"Do you wear this everyday?" tanyanya sambil mengarahkan matanya pada jilbab merahku.
"Yes, of course. Because I am an adult Muslim woman, I wearing my headscarf everyday if I go to outside. But in my home, I didn't use it," dan kubilang padanya seperti apa rambutku.
“I like your headscarf,” katanya.
Kami
juga bercerita tentang budaya makan di negaraku dan Korea Selatan. Kubilang
bahwa di Indonesia, orang lebih suka makan menggunakan tangan mereka, dan hanya
menggunakan sendok dan garpu jika mereka makan makanan berkuah seperti sup.
Sementara di Korea Selatan orang-orang makan menggunakan sumpit. Rob bercerita
tentang pengalaman pertamanya menggunakan sumpit saat berkunjung ke Jepang dan
di restoran tempat ia makan mereka tidak memiliki sendok dan garpu. Dia bilang
betapa sulitnya makan menggunakan sumpit dalam keadaan sangat lapar. Kami pun
tertawa.
Jhonnie
juga bercerita tentang dua anjingnya yang lalu mengajaknya keluar rumah jika
mendengar suara guntur di langit sebagai pertanda turunnya hujan. Saat ia
bercerita, kedua anjingnya berputar-putar didekat kakinya meminta dibelai. Di
keluarga Amerika anjing dan kucing merupakan anggota keluarga. Anjing biasa
dipanggil dengan kata ganti ‘he’ dan kucing ‘she’. Kasih sayang
yang ekstrem terhadap anjing dan kucing terkadang membuat mereka dianggap
sebagai anak-anak. Aku berusaha untuk tidak terlihat takut pada kedua anjing
yang memang jinak tersebut. Aku menjelaskan kepada mereka bahwa di Indonesia,
sangat jarang keluarga Muslim yang memelihara anjing.
Bersama Jhonnie dan Robert Taylor |
Karena keluarga besar berkumpul, Jhonnie meminta bantuan mereka untuk mengeluarkan pernak-pernik yang akan digunakan untuk membuat pohon Natal dari gudang. Johnnie bercerita bahwa Natal akan sangat ceria di rumahnya. Ia akan menghias pohon Natal bersama anggota keluarganya, membeli dan mengumpulkan hadiah dan merayakannya bersama-sama pada 25 Desember. Young bercerita tentang hal yang sama, tapi di Korea Selatan. Sementara aku bercerita bahwa di Indonesia, kami memiliki beberapa kali libur nasional selama setahun yang berkaitan dengan perayaan hari besar agama resmi, mulai dari Idul Fitri, Idul Adha, Natal, dan nyepi.
“Are
you celebrated Christmas in your country?”
“Oh,
no. I just celebrated Idul Fitri and Idul Adha, but I felt happy when Christian
people celebrated Christmas, because its holiday time. We live in a country
that has different culture and it is amazing.” Jelasku bangga, sebab tak ada
penghormatan semacam ini di Amerika. Sewaktu Idul Adha pada 16 Oktober, aku
tetap belajar di kelas dan tidak merayakannya dengan teman-teman Muslim. Sangat
sedih, tapi mau bagaimana lagi. Amerika bukan Indonesia.
Jam 3
sore, kami berpamitan, tak lupa kami berpelukan dan mengucapkan terima kasih
dan ‘happy thanksgiving’. Bagiku, pengalaman ini sungguh tak terlupakan.
Kami berbagi pengetahuan dan budaya masing-masing dan bicara dalam bahasa
universal hingga kami bisa saling mengerti indahnya perbedaan.
Tak
lupa, Jhonnie mengucakan terima kasih dan mengirimkan photo kami via Facebook. “Happy
Thanksgiving, Ika. We enjoyed having you in our home to celebrate Thanksgiving.
I hope we left you with good memories.” Tulis Jhonnie di dinding facebookku
sehari setelahnya. Senang memiliki kenalan baru dan terus menjalin
komunikasi. Siapa sangka aku bakal bertemu mereka, keluarga yang tak pernah
terbayangkan seumur hidupku. Inilah jodoh yang ditentukan oleh Tuhan.
Semangat
thanksgiving adalah persaudaraan, persahabatan, dan cinta. Aku belajar
bukan saja dari makna perayaan itu yang memang khas Amerika, juga dari cinta
sepasang suami istri Rob dan Jhonnie, serta kehangatan keluarga mereka.
Mungkin, yang Tuhan inginkan adalah agar aku belajar tentang cinta, kasih
sayang, persahabatan dan kehangatan dari keluarga Taylor.
Depok,
31 Desember 2013
No comments:
Post a Comment