![]() |
Saksi Kunci. Sumber: bahanamahasiswa |
Awal Nopember lalu
aku mengikuti sebuah pelatihan di sebuah tempat di Bogor dan bertemu dengan
seorang mantan jurnalis Tempo, Metta Dharmasaputra. Ia menjadi salah satu
pembicara dan juga penulis buku kontroversial "Saksi Kunci: Kisah Nyata Perburuan Vincent, Pembocor Rahasia Pajak
Asian Agri Groups" Di hari
kedua, aku mendapatkan buku itu sebagai hadiah bagi kelompok terbaik dalam
pelatihan tersebut.
Aku merasa sangat tolol dan nggak gaul saat menyadari bahwa buku tersebut merupakan buku penting yang harus dibaca oleh penduduk Indonesia, apalagi kalau ia seorang mahasiswa, aktivis, dosen, praktisi hukum, buruh perkebunan sawit, jurnalis dan pengusaha. Setelah mendapatkan buku tersebut, lalu aku memamerkan buku tersebut di akun Twitter dan Facebook. Dari sekian temanku, hanya beberapa orang yang menanggapinya dan mengatakan bahwa kasus yang digambarkan dalam buku ini adalah kasus kontroversial.
Karena
konten buku ini lumayan berat dan mirip dengan novel detektif, maka aku baru
bisa menyelesaikannya tanggal 20 Desember kemarin. Membaca buku ini, bukan saja
memberiku rasa penasaran tingkat tinggi dengan sesekali mulutku melongo karena
aku merasa heran atas sesuatu, atau saat aku merasa begitu tolol karena
terlambat mengetahui sesuatu. Juga memberiku pengetahuan baru mengenai 'gurita
Tanoto' dalam percaturan bisnis bukan saja di Indonesia, melainkan di beberapa
negara di kawasan Asia dan Brasil.
Dari
beberapa review mengenai buku tersebut, keberatan terletak pada 'investigasi'
yang dilakukan Metta Dharmasaputra. Katanya, ada yang salah dalam cara Metta
melakukan investigasi, karena bukan saja terlalu dekat dengan sumber data
yaitu 'Vincentius Amin Sutanto', tetapi juga menerima dana Rp. 100
juta dari seorang pengusaha bernama Edwin alias Mr. X yang merupakan musuh
bisnis Soekanto Tanoto sang taipan pemilik Asian Agri Group, tempat
dimana Vincent bekerja dan membobol uang perusahaan.
Akan tetapi, kritik serupa
tidak dijatuhkan kepada beberapa dosen ilmu komunikasi UGM yang melakukan Riset
Pesanan Asian Agri yang 'kesimpulan' riset telah ditentukan oleh perusahaan
tersebut, meski kasus tersebut sempat heboh di kampus UGM dan beberapa media.
Juga, soal cara kerja kejaksaan dalam menangani kasus ini, sebab Vincent
memiliki posisi sebagai 'peniup peluit' dan 'saksi Mahkota' yang mampu
membongkar skandal pajak terbesar dalam sejarah Indonesia. Bukankah review
menjadi timpang?
Secara
pribadi, setelah membaca bukunya tentu saja, aku memiliki beberapa pendapat
mengenai buku tersebut. Pertama, oke, jika Metta melanggar
Etika Jurnalistik, maka yang melanggar juga adalah atasannya karena Metta
bekerja atas perintah atasannya dan sellau melaporkan semua pekerjaannya pada
atasannya. Dengan demikian, bukan Metta saja yang melakukan pelanggaran etika
jurnalisme investigatif. Tetapi, dalam review diatas misalnya penulisnya
menghukum Metta seorang dan tak menyentuh jurnalis lain yang terlibat dalam
investigasi tersebut, misalnya atasannya. Apakah ini adil?
Kedua, aku membayangkan jika Metta tidak
melakukan banyak lobi kepada banyak kenalannya, termasuk pengusaha Edwin, maka
bisa jadi Vincent sudah mati sejak 2007 lalu. Memangnya siapa yang berani
melawan raksasa Asian Agri? Saat Metta mendatangi Vincent di Singapura, yang
katanya sedang berfikir untuk bunuh diri saja, Soekanto Tanoto sudah menyewa
detektif swasta yang menguntit Vincent. Juga melakukan teror pada istri dan
ketiga anaknya di Medan. Saat Vincent mati, maka tak akan pernah terungkap
skandal pajak yang dilakukan Asian Agri Group karena Vincent memiliki segudang
data manipulasi pajak dan penjualan perusahaan sawit tersebut. Membaca buku ini
aku tahu kenapa hanya Edwin yang mau membantu Rp. 100 juta dan untuk apa
uangnya.
Ketiga, kasus ini memberikan kita pemahaman
mengenai sistem hukum di Indonesia yang dikendalikan sebagian besar pejabat
jahat umpama lintah haus darah. Kita bisa belajar mengenai bagaimana perbedaan
posisi seorang 'peniup peluit' dan 'saksi mahkota' di Indonesia dan di Amerika.
Jika Metta dan banyak pihak tak mati-matian melindungi Vincent. bukan saja
lelaki itu bisa membusuk di penjara melainkan mati di penjara. Sebab pihak
Asian Agri bersumpah untuk membuatnya tutup mulut.
Juga mengenai transaksi
'haram' di lembaga permasyarakatan dan keganjilan vonis pengadilan. Termasuk
sikap 'ayam' aparat kepolisian yang lebih semangat mengurus pencurian Vincent
atas uang perusahaan ketimbang kerugian negara akibat skandal pajak yang
merugikan negara trilyun-an rupiah. Bukanlah itu lebih dari sekedar janggal?
Bisakah kita membayangkan jika Vincent tak menaruh kepercayaan kepada Metta dan
karena etika jurnalistik lantas Metta meninggalkannya berjuang sendirian?
Keempat, buku ini memberikan kita informasi
mengenai siapa sesungguhnya perusahaan Asian Agri Group dan Bos besar Soekanto
Tanoto. Bagi kalangan aktivis, perusahaan ini tak asing sebagai perusahaan
perusak lingkungan di Sumatera. Aku pernah membaca sebuah buku mengenai gerakan
sosial masyarakat Sumatera Utara atas beroperasinya Indorayon yang mencemari
sungai Asahan. Indorayon merupakan salah satu perusahaan Asian Agri Group yang
bergerak dibidang bubur kertas.
Keberadaan perusahaan tersebut bukan saja merusak lingkungan sungai Asahan akibat jebolnya tanggul penampung limbah, rusaknya hutan lindung, terbunuhnya beberapa warga akibat bentrok dengan perusahaan juga konflik horizontal yang biasa dimainkan perusahaan untuk memecah persatuan warga. Ya, perusahaan ini mewarisi strategi Belanda: Politik belah bambu. Itu bukan saja efektif untuk merusak lingkungan, juga merusak tatanan sosial dan budaya sebuah kelompok masyarakat.
Keberadaan perusahaan tersebut bukan saja merusak lingkungan sungai Asahan akibat jebolnya tanggul penampung limbah, rusaknya hutan lindung, terbunuhnya beberapa warga akibat bentrok dengan perusahaan juga konflik horizontal yang biasa dimainkan perusahaan untuk memecah persatuan warga. Ya, perusahaan ini mewarisi strategi Belanda: Politik belah bambu. Itu bukan saja efektif untuk merusak lingkungan, juga merusak tatanan sosial dan budaya sebuah kelompok masyarakat.
Kelima, buku ini menghadirkan kontroversi.
Disatu sisi, Asian Agri Group bukan perusahaan yang bersih karena mengemplang pajak
dan merusak lingkungan. Tetapi, disisi lain pemiliknya dianggap 'sang dermawan'
di banyak tempat karena strategi bantuan sosial yang berjalan dengan mulus.
Bukan saja di Indonesia, tapi sampai ke China dan Brasil. Bahkan Tanoto memiliki sebuah yayasan yang bergerak di bidang pendidikan yaitu adalah: TANOTO FOUNDATION (Sumpah, dulu banget,
kukira yayasan yang sepertinya keren ini punya orang Jepang karena namanya Tanoto).
Pernahkah publik bertanya korelasi uang
Tanoto Foundation dengan kerusakan hutan di Sumatera dan para buruh yang
diperah keringatnya ibarat budak dan mereka tak kunjung kaya? Soekanto Tanoto
yang dinobatkan sebagai orang terkaya di Indonesia tahun 2006 versi majalah Forbes ternyata perusak lingkungan dan pengemplang
pajak? Sungguh ironis! Tidakkah publik berterima kasih atas kehadiran buku ini.
Etika jurnalisme memang penting, tapi pajak Rp. 2.5 triliun (plus bunganya
sehingga jadi Rp.4.3 triliun) apa gak penting? Gila, itu uang bisa bikin
mata kelilipan.
Keenam, buku ini memberikan kita informasi mengenai praktek pencucian uang dan penjualan fiktif untuk mengakali pembayaran pajak. Menurut salah seorang pembicara dari PPATK, dalam pelatihan itu, praktek pencucian uang merupakan lingkaran setan yang melibatkan banyak transaksi yang terkadang tidak bisa diendus dan dibuktikan dalam waktu singkat. Dan buku ini memberi kita sebuah contoh mengenai kejahatan keuangan.
Buku
ini ditulis dengan apik, dengan potongan-potongan peristiwa yang mengejutkan.
Meski Metta banyak mendapat kritik, tetapi aku salut atas keberaniannya. Sebab,
bukan saja dia menjadi sasaran kebencian banyak jurnalis, tetapi sempat juga ia
diperiksa polisi dan keluarganya diteror saat melakukan investigasi kasus ini.
Bahkan seorang pembicara sebuah seminar pernah menghinanya, "Ada
apa ini? Tai kucing itu Metta," (Saksi Kunci, 2013, h. 299) ujar
seorang pembicara berinisial TL saat menerangkan hasil riset 'pesanan' mengenai
pemberitaan gencar Tempo atas kasus Asian Agri (ia mengira Metta tak hadir
dalam seminar). TL sendiri merupakan dosen ilmu komunikasi Universitas Pelita
Harapan. Pas baca bagian ini aku merada 'eneg gila' karena
dosen kok ngomongnya kasar didepan publik.
***
Umpama
kritik atas sebuah film, banyak orang terjebak untuk percaya para kritik orang
lain sebelum menonton filmnya. Kan aneh! Kritik harus berimbang. Dalam memberi
kritik atas sebuah buku, ngapain percaya kritik orang lain
sebelum baca bukunya? Kritik orang lain seyogyanya bukan dijadikan panduan,
melainkan pengetahuan pembanding untuk proses belajar. Sebab
kebenaran bukan milik siapapun melainkan kebenaran itu sendiri.
Depok, 21 Desember 2013
No comments:
Post a Comment