Para siswa yang
belajar di Spring Internasional tahu bahwa, kami para penerima beasiswa IFP,
adalah siswa paling spesial sedunia (Plis! Jangan bandingkan kami dengan
anak-anak Harvard ya). Kami bahkan jauh lebih spesial daripada siswa asal Saudi
Arabia yang Raja mereka memiliki sumbangan tak ternilai di universitas.
Seringkali kudapati pandangan iri kawan-kawanku saat rombongan kami dijemput
untuk mengunjungi suatu tempat istimewa setelah jam belajar berakhir, atau saat
kami memperoleh perlakukan khusus saat belajar di Spring International.
Pertama, hari pertama kami
tiba kami langsung disambut ramah petugas administrasi untuk mengurus kartu
mahasiswa, rekening bank dan asuransi kesehatan. Kami tak perlu pening soal
biaya, semua sudah dibayar oleh IFP. Untuk tinggal selama 7 minggu, kami
menerima USD 1.100 yang hanya kami gunakan untuk makan dan jajan. Semua biaya
mulai dari tiket PP, uang untuk belajar di Spring International -termasuk
uang buku-, uang kegiatan bersama seperti kemping dan tiket masuk museum,
dan uang sewa apartemen semuanya dibayar IFP. Berapa jumlahnya? Aku nggak tahu!
Misalnya, suatu hari
guru kami mengumumkan bahwa siswa harus membeli beberapa buku. Kami belajar di
tiga kelas dengan enam mata pelajaran. Maka kami harus memiliki 6 buah buku.
Jika satu buku dirata-rata seharga USD 30 maka setiap siswa harus mengeluarkan
biaya sampai USD 180 (setara RP. 1.710.000). Aku dan kawan-kawan tentu saja
menerima itu secara gratis alias sudah dibayar oleh IFP. Saat aku dan
teman-temanku keluar dari ruangan Alannah dan membawa semua buku yang dibutuhkan
semua siswa dalam pelukan kami, beberapa teman memandangi kami dengan iri dan
berkata bahwa kami sungguh beruntung menjadi penerima beasiswa IFP. Ya,
begitulah.
Atau saat Spring
Internasional mengadakan rencana trip ke sebuah tempat atau hiking ke hutan,
kami tidak harus membayar iuran yang biasanya sekitar USD 5-10 dari kocek kami
sendiri karena IFP membayarnya untuk kami. Bahkan saat trip ke Little Rock,
semua biaya mulai dari makan, sewa kamar hotel hingga karcis masu museum
dibayar IFP. Kami sungguh-sungguh tak perlu berfikir tentang uang. Yang harus
kami lakukan adalah memanfaatkan momen-momen tersebut untuk bergabung,
melepaskan semua kelelahan dan kemalasan dan menikmati fasilitas yang telah
disediakan. Lebih dari lumayan…..
Kedua, dikelas kami
selalu dipuji. Aku biasa bercerita pada teman-temanku bahwa aku bisa belajar di
Sping Internasional karena beasiswa IFP. Aku tak mungkin bisa sampai ke Amerika
dengan kondisi ekonomi keluargaku yang pas-pasan, sebab biaya yang harus
dikeluarkan sangatlah mahal. Suatu hari di kelas Listening &
Speaking, guru kami menjelaskan bahwa aku dan Y Lot adalah siswa spesial
karena kami mendapatkan beasiswa IFP. Menurutnya, kami yang mendapatkan
beasiswa IFP adalah orang-orang spesial.
Aku dan Y Lot tentu saja berterima
kasih telah dibilang sebagai siswa spesial, dan itu membantu kami untuk
mengangkat harkat dan martabat kami dihadapan siswa Arab yang sombong. Apalagi
aku dari Indonesia, yang oleh beberapa siswa Arab negaraku tercinta lebih
dikenal sebagai negara miskin penghasil TKW berkelas PRT dan sopir yang sering
membuat masalah.
Saat mereka bertanya
bagaimana aku bisa mendapatkan beasiswa tersebut, aku menjelaskan kepada mereka
bahwa aku membutuhkan proses yang cukup lama. Bahwa sebelum aku memperoleh beasiswa
yang prosesnya berlangsung selama satu tahun, plus 7 bulan belajar bahasa
Inggris di LBI UI, selama beberapa tahun sebelumnya aku haruslah seseorang yang
bekerja untuk masyarakat. Pengalamanku bekerja di sebuah NGO Lingkungan Hidup
memang kurang dari empat tahun, tetapi ratusan temanku adalah para pejuang di
ranah mereka masing-masing. Jadi, aku punya cukup alasan untuk menjadi bangga
sebagai penerima beasiswa IFP asal Indonesia.
Ketiga, kami memiliki
jadwal khusus. Di gedung barat Spring International tempat kami belajar
sehari-hari, ada sebuah rungan khusus untuk staf yang mengurusi siswa penerima
beasiswa IFP. Itu adalah ruangan Alannah dan staffnya, Casey Jackson. Di lorong
sepanjang tiga meter sebelum masuk ke ruangan tersebut, ada sebuah papan khusus
untuk menempel agenda kami para penerima beasiswa IFP. Di hari pertama,
sebenarnya kami sudah menerima jadwal tersebut bersama setumpuk informasi
lainnya. Tetapi siswa lain tahu, bahwa pengumuman itu hanya untuk kami dan
tidak berlaku untuk semua siswa. Benar-benar hanya kami yang memiliki jadwal
bernama “Ford International Fellowship Program Activity Calendar.”
Didalam jadwal itu
telah tercatat semua kegiatan yang akan kami lakukan selama 7 minggu, baik yang
dilakukan di hari-hari biasa setelah jam belajar usai, maupun di akhir minggu.
Setiap hari senin, setengah jam sebelum makan siang, misalnya, kami memiliki
jadwal untuk rapat mingguan bersama Alannah mengenai kegiatan kami dalam satu minggu,
atau untuk menerima pengumuman lain terkait status kami sebagai penerima
beasiswa IFP.
Setiap hari Sabtu, dipastikan kami memiliki agenda untuk
mengunjungi berbagai tempat di kota Fayetteville atau kota lain mulai dari
museum, farmers market, stasiun radio, restoran, danau, dan
tempat-tempat khusus yang berkaitan dengan pelayanan publik. Sementara di
hari-hari biasa, kami memiliki jadwal untuk mengikuti kelas seni, mengunjungi
tempat-tempat lain seperti bertemu dengan Walikota dan menyaksikan “City Council
Meeting’ di Balai Kota, hingga shopping trip.
Dalam setiap kegiatan
yang terjadwal tersebut, kami tidak pergi sendirian. Kami selalu pergi
bersama-sama dalam sebuah van putih. Alannah atau Casey selalu menjadi driver kami.
Benar-benar spesial.
Keempat, kami
difasilitasi untuk bertemu dengan Professor atau dosen di universitas, untuk
berdiskusi mengenai minat kami. Pada suatu sore Casey mengantarku ke
universitas dan mempertemukanku dengan seorang assistant
professor di School of Social Work yang bernama Eun
Koh. Bersama perempuan Asia itu aku berdiskusi mengenai minatku dalam bidang
kesejahteraan sosial, dan tentu saja meminta pendapatnya mengenai rencana
penelitianku. Selain ia menyatakan bahwa aku telah memilih minat yang sesuai
dengan latar belakang pekerjaanku, ia memberiku kesempatan untuk memcari
informasi yang seluas-luasnya tentang literature pekerjaan
sosial di universitas.
Sebagai siswa
spesial, maka menjelang kepulangan kami memperoleh buah tangan spesial. Kami
memperoleh sebuah piagam dari Governor of Arkansas State dan
sebuah hadiah mungil dari Mayor of Fayeteville city, selain tentu
saja piagam dari Spring International.
Penerima beasiswa IFP
yang tersebar di 22 negara adalah keluarga besar. Dalam kurun waktu 10 tahun,
Spring International tentu saja telah menerima dan mendidik sebagian kecil saja
dari mereka. Sebab sebagian besar penerima beasiswa IFP menyebar di berbagai
universitas di Amerika Serikat, Eropa dan Australia. Dalam setahun, mereka
menerima 4 rombongan dan setiap rombongan diperlakukan spesial, dan tentu saja
membuat iri siswa lain.
Menerima beasiswa IFP
memang spesial. Selain beasiswa tersebut memberi kelimpahan dana bagi
para fellowsnya yang tak diberikan beasiswa internasional jenis
lain dan tidak memiliki kontrak pasca berakhirnya grant. Juga
karena para alumninya teruji memiliki peran yang signifikan di masyarakat.
Meskipun begitu, aku dan beberapa kawan seringkali berfikir negatif tentang
sebagian dana itu yang ‘dikembalikan’ ke Amerika. Kehadiran
kami di Amerika, tentu saja membuat sebagian dana mengalir ke Amerika mulai
dari dana untuk para landlord/ pemilik apartemen, Walmart dan department
store lainnya, toko buku, museum, hingga Spring International sendiri.
Bahkan kami turut membayar pajak. Dilema.
Depok, 31 Desember 2013
No comments:
Post a Comment