Pada awalnya nenek moyang kita mungkin
sebangsa. Namun, sekarang kita hidup di wilayah-wilayah sempit yang
masing-masing dinamai sebagai negara. Perang saudara dan ideologi telah
memisahkan banyak saudara yang kemudian hidup dalam kotak geografis yang berbeda.
Aku lahir dan tumbuh didalam kotak geografis bernama Indonesia. Maka, aku tak
bisa menyebut identitas lain saat bertemu manusia antarbangsa selain: Indonesia.
Minggu kedua tinggal di Fayetteville, teman
sebangsa berkunjung ke apartemenku. Sang suami yang kemudian kupanggil mas
Wawan dan sang istri yang kupanggil mbak Nadia, membawa serta anak pertama
mereka yang bernama Avis. Mereka tentu saja teman sebangsa sebab memiliki
status kesukuan yang sama denganku, yaitu Jawa meski darah Jawa dalam tubuhku hanya
50%. Kami sama-sama berkulit sawo matang, berbahasa Indonesia dan sama-sama
suka sambal terasi yang tak akan bisa ditemui dimanapun di Fayetteville. Mereka
mengantarkan sekitar satu kilogram daging kambing ‘halal’ buatku karena aku
enggan ke Islamic Center untuk membeli daging halal. Daging
tersebut merupakan oleh-oleh dari temannya, warga Arkansas yang beberapa tahun
sebelumnya menjadi muallaf.
Minggu ketiga, mas Wawan dan mbak Nadia
mengundangku untuk datang ke apartemennya yang berjarak hanya beberapa blok
dari apartemenku. Aku mengajak serta kawanku dari Vietnam, sementara
kawan-kawan lainnya terlalu sibuk belajar. Saat aku tiba, seorang teman
sebangsa lain menyambutku, namanya Ruben. Mata sipit dan kulit putihnya jelas
merupakan penanda identitas keturunan Tionghoa. Ia berasal dari Bogor dan
sedang kuliah S2 jurusan peternakan di universitas. Ia tentu saja teman
sebangsa yang istimewa, ia menjadi saudara sebangsa karena ia terlahir di
Indonesia, meski darahnya bersaudara dengan si nona China. Ia sedang sibuk
menunggui gulai daging rusa yang tak kunjung empuk. Ia sekolah disana karena
bapaknya kaya, bukan karena beasiswa IFP.
Sebelum makan-makan dimulai, datanglah
teman sebangsa yang lain. Sang suami biasa dipanggil Pak Dodi, sang istri
pernah bertemu denganku saat mengurus kartu mahasiswa, bernama mbak Keukeu,
serta anak pertama mereka yang bernama Yahya. Saat itu Pak Dodi membawa acar,
tongseng dan puding. Tak lama kemudian, muncul orang Timur bernama Thomas
Didimus Huru Sinoar yang sehari-hari kupanggil bang Hugu. Ia baru belanja di
Harps. Langsung saja kami membuat sambal kecap untuk membumbui sate kambing.
Tak lama, datanglah sepasang suami istri asal Aceh bernama Ahlan dan Ika, yang
belum lama menikah, yang menurutku tampak sangat malu-malu.
Kami kemudian menggelar semua makanan
diatas karpet dan makan lesehan ala rumah makan Sunda. Saat itu tampak beberapa
wajah asing, tetangga mas Wawan. Kami pun makan bersama, dan sesekali bercanda
mengenai filosopi ‘eat by hand’ yang saat itu hanya dilakukan
oleh mas Wawan. Kami juga mencoba menipu teman kami yang orang India untuk
memakan cabe rawit yang terdapat dalam acar.
Selama tinggal di kota Fayetteville,
keluarga mas Wawan dan bang Hugu selalu siap sedia membantuku manakala aku
membutuhkan sesuatu. Kadang-kadang kami belanja bersama ke Asian Store demi
memenuhi rasa kangen pada bahan pangan asal Asia. Sesekali bang
Hugu berkunjung ke apartemenku hanya untuk numpang makan dan mengobrol. Tak
banyak mahasiswa Indonesia yang belajar di universitas dibandingkan orang
China, Vietnam, Jepang, Taiwan dan Saudi Arabia. Oleh karena itu, bertemu
dengan mereka membuatku merasa nyaman dan bahwa aku tidak sendirian di negeri
asing.
Apakah bersama-sama teman sebangsa
merupakan jaminan atas rasa aman saat tinggal di negara asing? Sebab, kulihat
teman-temanku lebih sering menghabiskan waktu bersama teman sebangsanya dan
nyaman berbicara dalam bahasa mereka, dibandingkan teman dari negara lain dan
berbicara bahasa Inggris. Arab dengan Arab, China dengan China, dan Latin
dengan Latin. Begitulah.
Nah, karena kami terlalu sibuk menghabiskan makanan, acara ini nggak ada yang peduli soal foto. Maka kuhadirkan saja foto-foto sewaktu beberapa diantara kami main ke rumah Bang Hugu Sinoar dengan tujuan untuk masak-masak. Yang masak tentu saja aku dan bang Hugu. Aku memasak sambal terasi, ikan, dan lalapan. Sementara Bang Hugu memasak sup ayam dan nasi. Masak di apartemen Bang Hugu ini lumayan seru, karena sebagai apartemen cowok peralatan dan isi kulkasnya lengkap.
Sambal terasi di Amerika |
Lalapan daun kale |
Menu ikan, entah apa nama masakan ini. Aku masak by insting aja |
Sup ayam dan sayuran buatan bang Hugu |
Nah, si Bang Hugu ini kan tinggal sama orang Pakistan. Trus, pas dia mencium bau terasi goreng, dia kabur entah ke mana karena katanya aromanya bikin dia muak. Tapi eh, setelah kami selesai makan dan makanan di piring tinggal sisa-sisanya saja, si orang Pakistan itu datang dan mengaku ingin makan makanan kami. Aku cuma tertawa ngakak aja dan betul, dia makan dengan lahap. Dan saking terpana oleh kelakuan nih orang, kami lupa memotret dia menghabiskan sambal terasi di cobek.
Kenyangnya perut kami. Foto by: Hugu Sinoar |
Oh ya, saat makan-makan ini, ada dua mahasiswa Indonesia yang bergabung. Satunya asal Jogja dan satunya lagi asal Bogor. Keduanya sedang menempuh studi S1 di University of Arkansas. Memang betul bahwa makanan adalah bahasa universal, dan kali ini makanan jua yang membuat orang tidak saling kenal langsung akrab aja makan dan bercanda bersama.
Depok, 31 Desember 2013
No comments:
Post a Comment