Lahir dari keluarga Muslim dan tumbuh dalam masyarakat Muslim membuatku
menerima informasi mengenai Islam sepenuhnya dari guru-guru yang berlatar
pendidikan Pesantren NU. Homogen. Mutlak. Tanpa kritik. Tanpa pertanyaan.
Tetapi sikap patuh dan penerimaan mutlak atas semua informasi yang kuperoleh
itu perlahan-lahan terkikis. Hal yang paling mengangguku adalah bahwa institusi
pesantren di daerahku tak mampu menjadi pilar bagi umat dalam menyelesaikan
aneka permasalahan sosial seperti korupsi, tindakan amoral, kriminalitas,
praktek riba hingga gap ekonomi antara kaya dan miskin.
Islam sebagai agama
yang kami cintai, bagiku, nampak hanya seperti seremoni dan label 'mati' untuk
membungkam mulut umat. Yang terparah, para ulama yang berdiri dibelakang
institusi pesantrennya masing-masing seringkali menjadi sumber perpecahan umat
hanya karena perbedaan pendapat dalam memahami sesuatu. Oleh karena itu, salah
satu upaya yang kulakukan untuk melarikan diri dari kekangan sosial semacam itu
adalah dengan sekolah dan banyak membaca.
Hingga usia 25, aku percaya bahwa sejarah Nabi Muhammad adalah seperti yang kubaca dalam buku-buku Sirah Nabawiyah karangan para ilmuwan Muslim. Buku-buku dengan penulisan yang rumit dan terkadang membuatku merasa bahwa ada sesuatu yang hilang, akhirnya menemukan tandingannya saat aku membaca buku tulisan Tasaro GK. Penulis Indonesia itu memasukkan unsur lain diluar konsep penulisan sejarah Islam ala ilmuwan Islam, yang berlatar belakang Persia dan sekitarnya.
Hingga usia 25, aku percaya bahwa sejarah Nabi Muhammad adalah seperti yang kubaca dalam buku-buku Sirah Nabawiyah karangan para ilmuwan Muslim. Buku-buku dengan penulisan yang rumit dan terkadang membuatku merasa bahwa ada sesuatu yang hilang, akhirnya menemukan tandingannya saat aku membaca buku tulisan Tasaro GK. Penulis Indonesia itu memasukkan unsur lain diluar konsep penulisan sejarah Islam ala ilmuwan Islam, yang berlatar belakang Persia dan sekitarnya.
Proses membaca seperti itu seperti proses
meluaskan area pandang ke berbagai sudut. Ya, apa yang dipikirkan orang Persia
saat mendengar seorang Arab biasa mengaku menjadi Nabi Allah? Jika sang raja
marah, lantas apa pemikiran personal masyarakatnya dan kaum terpelajar disana?
Lalu bagaimana dengan masyarakat di Bizantium saat mendengar berita itu? Selama
ini, kisah tentang mereka digambarkan dalam sudut pandang ilmuwan Islam. Ya,
aku tak puas.
Juni lalu, aku berkesempatan bertemu dengan seorang
Barat, Karen Armstrong, di Universitas Paramadina, dalam promosinya tentang Confession sebagai
jalan damai dalam menghadapi polemik dunia internasional. Aku membeli 6
eksemplar bukunya, langsung dari MIZAN, karena aku menginginkan tandatangannya.
Semalam, aku membaca keseluruhan buku itu tanpa tidur sedetikpun. Ya, sebagai
orang Barat, yang menerima pendidikan Katolik dan tumbuh dalam lingkungan yang
sama sekali berbeda dengan apa yang kualami, ia cukup berani menulis kisah Nabi
Muhammad saw dengan cara berbeda. Ia memandang Muhammad saw sebagai seorang
tokoh revolusioner, seorang pembaharu. Ceritanya sama sekali berbeda dengan
kisah-kisah yang kubaca, dimana Nabi digambarkan begitu suci dan penulisnya
menghilangkan kesan-kesan sosio-antropologis dalam proses penulisan.
Dalam hal ini, aku melihat bahwa penulis biografi
Nabi Muhammad seharusnya tak menghilangkan kesan-kesan itu hanya dengan tujuan
mendekatkan umat Islam pada sosok Nabi. Misalnya, gambaran mengenai konsep
ikatan kekerabatan dan nilai-nilai yang dianut masyarakat Arab ketika itu:
ketika Nabi menghukum Yahudi bagi Qainuqa yang mengingkari perjanjian. Dalam
Sirah tulisan Ilmuwan Muslim, jelas latar belakangnya ideologi. Tetapi, Karen
menggambarkannya atas latar belakang 'pengkhianatan' atas perjanjian yang telah
dibuat Nabi dengan mereka.
Oleh karena itulah, para bani yang lain tak
melakukan pembalasan karena itu menjadi semacam kebiasaan dalam suku-suku di
Arab Saudi dimasa itu dalam merebut dan mempertahankan monopoli ekonomi. Kisah lain
yang dituturkan dengan cara berbeda adalah tentang ayat poligami dan ayat
hijab. Aku lebih bisa menerima penjelasan Karen ketimbang tulisan-tulisan yang
pernah kubaca sebelumnya. Kenapa? karena aku bukan orang Arab.
Sebagai 'bukan orang Arab' otakku lebih bisa
menerima penjelasan Karen dibanding penjelasan Ilmuwan Muslim yang menulis
Sirah Nabawiyah yang selama ini menjadi peganganku. Meskipun, dalam banyak hal
aku tak suka dengan tata bahasa Karen yang, ya, sangat Barat dan menurutku
beberapa kalimatnya tidak sopan. Alasannya satu: Karen lebih banyak memasukkan
unsur sosio-antropologis dan kemanusiaan Muhammad. Bagaimana bisa? ya, begini,
bayangkan saja, ditengah kehancuran kekerabatan suku di Arab ketika itu, seorang
Muhammad yang tidak bisa membaca dan menulis, serta bukan orang kaya raya,
harus menerima pesan Allah dan menjadi Nabi sebagaimana Musa, Isa dan Nabi-Nabi
sebelumnya.
Nabi adalah manusia -yang dalam Islam digambarkan sempurna- yang
makan, minum, berdagang, berbelanja, menikah, menjadi ayah bagi beberapa anak,
menjadi suami bagi seorang perempuan, menjadi anggota masyarakat, menjadi paman
seseorang, menjadi keponankan seseorang, menjadi sepupu seseorang, menjadi
teman seseorang, kemudian menjadi sosok yang berbeda. Seorang pembaharu! Ya,
sebagai non Arab, aku melihatnya sebagai satu keajaiban dalam sebuah
masyarakat.
Bagaimana membayangkannya? jangan bayangkan Arab
saudi yang sekarang, yang kaya raya. Kita harus membayangkan Saudi yang
merupakan gurun pasir, dimana hanya di tempat tertentu rumput bisa tumbuh dan
air mengalir. Mekkah adalah stepa gersang, sedangkan Madinah ketika itu adalah
oasis yang sedang dikuasai oleh beberapa klan Yahudi akibat keberhasilannya
melakukan penaklukan atas suku-suku Arab Badui.
Membayangkan wilayah itu
kira-kira 1400 tahun yang lalu tentu tak sama dengan melihat tempat paling
gersang dan miskin di Indonesia abad pada ini. Mana bisa disamakan, baik dari
nilai kesulitan ekonomi maupun kekacauan sosial akibat perebutan akses atas
sumber daya alam. Ya, membaca buku ini memberiku cukup masukan mengenai
bagaimana cara memandang Islam. Dan dengannya, aku makin mencintai Muhammad
sebagai Rasul dan revolusioner agung sepanjang sejarah manusia.
Selain itu, dengan membaca buku ini, aku mendapat
referensi baru tentang penulis lain bernama Annemarie Schimmel,
yang katanya dalam metodologi penulisan sejarah Islam jauh lebih baik daripada
Karen. Oke, siap mencari bukunya dan mempelajari hal-hal baru.
Hingga saat ini, hanya orang-orang terpelajar di
kampungku yang mungkin secara konsisten membaca Al-Qur'an sekaligus mempelajari
terjemahannya. Sisanya, semua selalu "Kata Ustadz...".
Apakah orang-orang di kampungku miskin sehingga tak bisa membeli buku-buku
Islami, atau setidaknya menempatkan dua kita pokok dalam rumah mereka:
Al-Qur'an dan Sunnah? Bukan.
Mereka mampu. Mereka punya rumah permanen yang
bagus, punya mobil, anak-anaknya sekolah, berpakaian pantas dan makanan yang
bergizi lagi cukup. Persoalannya adalah, mengandalkan apa "kata
Ustadz..." belum bisa dilepaskan. Sehingga, hingga hari ini
praktek ekonomi kotor kian menjamur dan sebagiannya dilakukan orang bergelar
'Hi' atau 'Hj'. Ironis. Lalu apa fungsi pesantren?
Maka, tekadku satu. Aku akan menjejali kampungku
dengan buku, entah dari uangku sendiri atau dari dermawan. Aku tak kuat lagi
melihat kebodohan kultural dan struktural yang menjadikan Islam hanya seperti
daun pisang untuk membungkus pepes kotoran kucing.
Bandar Lampung, 9 Juni 2013
No comments:
Post a Comment