![]() |
Pengobatan Thalassemia. Sumber: mybiosource |
Suatu hari, salah seorang teman sesama penerima beasiswa IFP, membatalkan rencana keberangkatannya untuk melanjutakn studi S2 di Amerika. Ia baru saja mendapat kabar bahwa salah stau putranya ternyata menderita Thalassemia. Saat mendengar kabar itu, baginya langit seakan runtuh. Bukan ia tak rela tak jadi ke Amerika, melainkan betapa terkejutnya ia baru mengetahui penyakit mematikan yang diderita putranya. Di kemudian hari, saat kami bertemu di Yogyakarta, ia bercerita banyak hal tentang penyakit anaknya.
Ternyata, percampuran
kromosomnya dan istrinya yang menyebabkan si anak mengalami penyakit tersebut.
Katanya, sejak saat itu, ia mulai mengkampanyekan kepada pasangan yang belum
menikah agar sama-sama mengecek kesehatan masing-masing, agar bersiap jika
keturunan mereka menderita sebuah penyakit akibat percampuran kromosom. Bahkan,
bersama para orangtua penderita Thalassemia, ia membangun sebuah organisasi guna
mengadvokasi kasus-kasus pelayanan kesehatan penderita Thalassemia.
![]() |
Tentang Thalassemia |
Pertama kali aku mendengar
Thalassemia, adalah karena seorang penulis senior Indonesia menjalani pengobatan
berkala dari hasil penjualan bukunya. Ia memang penulis produktif, tapi uangnya
habis untuk cuci darah secara berkala, yang harganya mahal. Sayangnya,
kehidupan rumah tangganya juga kacau, karena ia memiliki suami yang ringan
tangan. Alhasil kini ia sendirian mengobati dirinya dibantu kedua anaknya dan
seorang menantunya.
Mungkin itu pula yang kualami.
Soal genetik. Soal sesuatu yang diwariskan. Aku memang tidak menderita penyakit
kronis semacam Thalasemia, dan penyakit kronis lainnya. Kupikir aku hanya
alergi. Aku sangat tersiksa oleh debu dan udara yang terlampau dingin. Kulitku
bisa gatal-gatal. Kedua orangtuaku baik-baik saja dan tidak menderita penyakit
apapun. Namun, aku dan adik semata wayangku memiliki masalah dengan kulit.
Oleh
karena itu, selama bertahun-tahun aku berada dalam perawatan dokter dan meminum
aneka jenis obat. Entah diagnosa dokternya benar entah hanya jualan obat,
karena kita percaya dokter lebih tahu soal urusan kesehatan, ya kulahap semua
bentuk pengobatan. Entah sudah berapa mangkuk obat yang kukonsumsi jika
semuanya dikumpulkan. Jujur, aku lelah. Sangat lelah.
Selama setahun tahun
belakangan ini, aku kembali mengunjungi dokter kulit setelah satu spot kulitku
terasa sangat gatal, termasuk kulit wajahku (padahal udah gak ada lagi
jerawat). Aku berhenti makan aneka produk seafood dan mulai berhat-hati dengan
segala tindakan yang dapat menyebabkan luka pada kulitku. Aku ingat, dulu, saat
perpisahan kelas 6 SD, kami bertamasya ke Pantai Pasir Putih di Bandar Lampung.
Saat itu aku hanya diam melihat kawan-kawanku yang berenang di pantai. Kulitku
tidak bisa kena air laut. Kulitku juga akan memerah jika terkena paparan sinar
matahari yang terlalu terik, dan akan terasa pedih. Nah, saat kutanyakan ke
dokter, alasan yang diberikan seakan-akan tak bisa kupercaya. Kalau misalnya,
sumbernya terletak di darah, hasil pemeriksaan darahku normal, hanya kental
saja karena kurang olahraga. Ya, mungkin ini sesuatu yang diturunkan dari
orangtua, akibat percampuran kromosom ayah dan ibu.
"Apa
bisa sembuh total, Dok?" Tanyaku.
"Tidak." Katanya.
Dokter ini bercanda atau nggak sih? Aku hanya dianjurkan untuk menjalani pola
hidup sehat, menjauhi hal-hal yang bisa menyebabkan kulitku bermasalah, dan
hiduplah dengan bahagia.
"Apakah
proses penyembuhan bisa dipercepat dengan disuntik, dok?"
"Oh,
tidak. Efek suntikan itu hanya beberapa jam. Saya kasih resep saja, efek obat
itu jauh lebih lama."
"Berarti
selama ini dokter yang menangani saya memberi perlakuan yang keliru dong, dok."
"Bisa
jadi."
"Jadi,
kalau dengan makanan gimana dok?"
"Makan
saja apa yang mau kamu makan. Hanya saja kamu harus ingat-ingat, misalnya
setelah makan apa kulitmu jadi bermasalah. Hindari penyebabnya saja"
Aku sudah menanyakan tentang
banyak hal selama pertrmuan kami beberapa kali. Tak ada lagi yang bisa
kutanyakan. Aku memang seharusnya tak perlu terlalu parno atas apa yang
kualami. Mungkin ini seni menjadi diriku. Ya sudahlah, aku percaya bahwa sang
dokter nggak sedang jualan resep, daripada aku harus kuliah kedokteran untuk
mengetahui secara jelas apa yang kualami.
Aku ingat, dulu nenekku
memarahiku habis-habisan saat aku ketahun naik pohon jambu bersama sepupuku.
Bukan karena aku tak boleh makan buah jambu yang waktu itu sangata lebat,
melainkan nenekku tak mau aku terjatuh dan kena paku sehingga aku terluka. Aku
juga tidak boleh belajar mengendarai sepeda, karena kalau aku jatuh dan
terluka, dapat dipastikan lukaku akan lama sembuhnya. Oleh karena itu,
sampai sekarang aku tidak terlalu mahir bersepeda dan tidak bisa mengendarai
sepeda motor, hahaha..
Nah, kini aku jadi semakin tahu
dan peduli, bahwa pernikahan bukan sekedar hal-hal seputar cinta saja, juga
hal-hal yang berkaitan dengan waris mewariskan, termasuk warisan kromosom, DNA
dan hal-hal yang tak terlalu kumengerti dari dunia kesehatan dan kedokteran.
Proses waris-mewariskan itu tak bisa dihentikan, kecuali pasangan yang belum
menikah sama-sama memutuskan untuk tidak menikah dengan alasan tidak ingin
mewariskan gen pembawa penyakit tersebut.
Jadi, jika kelak aku akan menikah,
aku dan pasanganku harus saling terbuka mengenai riwayat medis kami dan dua
keluarga besar, sebagai langkah pereventif dari shock atas
hal-hal yang seperti dialami kawanku atas anaknya. Dan, mungkin aku harus bersabar
sepanjang hidupku. Aku berharap aku bisa sabar menjalaninya dan terhindar dari
penyakit kronis yang tidak saja menguras kantong dan semangat hidup, juga
menghalangi dari beraktivitas menyenangkan.
Saat ini, temanku itu,
mencurahkan perhatian penuh atas putranya. Tak lupa, ia selalu memberiku
informasi terkait Thalasemia, termasuk mengirim ebook, sehingga mau tak mau aku
harus mempelajarinya agar paham seperti apa proses penyakit genetik diturunkan
oleh orangtua dan dialami oleh salah satu keturunannya.
Depok, 12
Juni 2013
No comments:
Post a Comment