![]() |
Buku. Sumber: nbcnews.com |
Sejak kecil aku selalu tertarik dengan buku. Meski tak ada tradisi mendongeng
atau membaca buku bersama di keluargaku, aku tetap tertarik pada buku. Aku
selalu membaca setiap bacaan yang sampai di mataku, entah koran pembungkus
sayuran, buku-buku pelajaran sepupu-sepupuku, atau tulisan di spanduk-spanduk
yang melintang di jalan-jalan di desaku. Saat aku remaja, seingatku ketika aku
duduk di bangku SMP, aku menemukan tumpukan buku-buku usang milik bibiku
yang sudah meninggal, yang sempat sekolah di Sekolah Pendidikan Guru
(SPG).
Buku-buku yang kertasnya sudah menguning, berdebu, dan dimakan
rayap itu membuat hatiku senang saat menemukannya. Berhari-hari aku tenggelam
membaca buku-buku itu meski aku tidak terlalu paham apa isinya. Aku seperti
menemukan dunia baru dan teman bicara.
Aku menyimpan buku-buku tersebut bersama
buku-buku yang kubeli. Suatu hari, saat aku duduk di bangku SMU, salah seorang
tetanggaku yang merupakan guru bahasa Inggrisku saat SMP berniat membentuk
perpustakaan yang dikelola remaja masjid. Karena aku memiliki niat baik dalam
rangka mencerdaskan pemuda desa, aku sumbangkan koleksi buku-bukuku. Tak
sampai sebulan, semua buku habis, tak pernah dikembalikan oleh para
peminjam. Aku ingat, waktu itu aku baru saja memperoleh novel karangan
Pipit Senja dan Gola Gong setelah mengumpulkan uang jajanku selama
berbulan-bulan. Sebelllllllll!!!!
Nah, sejak saat itu aku benar-benar kapok
berhati polos. Aku mulai mengoleksi buku-bukuku, membuat catatan termasuk
harga buku-buku, dan menandai semua bukuku dengan namaku. Dalam masyarakat
seperti ini, aku tak rela jerih payahku menguap begitu saja. Aku
menaruh perhatian penuh pada buku-buku yang dipinjam teman-temanku, agar tak
lupa dikembalikan. Bukan apa-apa, aku punya banyak sepupu yang menurutku membutuhkan
buku-buku tersebut.
Di desaku mereka hanya bisa membaca buku dari perpustakaan
sekolah. Tak ada toko buku, apalagi perpustakaan publik. Oleh karena itu,
aku mulai membuat perencanaan agar saudara dan teman-temanku membaca buku-buku
yang pernah kubaca, tanpa harus kau kehilangan buku-buku yang kuperoleh dengan
susah payah. Aku mau, aku mewariskan pengetahuan melalui buku-buku pada
generasi penerus keluargaku. Kupikir, itu warisan terbaik.
Kurang lebih dua tahun lalu, saat aku harus
ke Jakarta untuk melajutkan sekolahku setelah resmi mendapat beasiswa IFP,
aku menitipkan buku-bukuku pada seorang teman yang memiliki ide sama denganku
terkait buku. Tetapi, tidak banyak anak muda yang datang ke rumahnya untuk sekedar
membaca buku. Karena itu, aku berniat memperbaharui caraku dengan membangun perpustakaan
keluarga sebelum aku membangun perpustakaan komunitas.
Aku berniat menjadikan
salah seorang sepupuku yang saat ini masih duduk di kelas 6 SD untuk
mengelolanya bersama adikku. Sedangkan, untuk perpustakaan komunitas, aku mencoba menggunakan
cara lain untuk membangun minat teman-teman sekolahku.
Aku selalu ingat kisah peradaan Islam dimasa lampau,
dimana kegemilangan itu berhias perpustakaan-perpustakaan kecil. Kini, telah
berabad-abad lamanya, kegemilangan itu, bukan saja hancur oleh invasi asing,
juga oleh kebobrokan moral yang berlanjut hingga saat ini. Aku juga ingat
kata-kata inspirasi, bahwa pendidikan adalah tugas orang terdidik. Dengan
level pendidikan yang sekarang kucapai, sangat kurang ajar jika aku hanya
menggunakannya untuk memajukan karirku sendiri, dan lupa pada orang-orang
dimana aku dahulu tumbuh sebagai anak kecil yang haus pengetahuan. Jika dulu
tak ada yang memberiku sarana untuk mengobati dahagaku akan bacaan-bacaan
bermutu, maka kini akulah yang harus menjadi penolong mereka.
Aku menyebut langkah ini sebagai investasi,
bukan pengorbanan. Memang, uang yang dibelanjakan itu nampak sebagai kegiatan
berkorban, tetapi aku menghitungnya sebagai investasi. Aku ingin berbagi pada
sepupu-sepupuku tentang pengetahuan yang kumiliki, tentang ide-ide yang
bersemayan dikepalaku, tentang belahan dunia yang ingin kukunjungi dan
tentang cita-cita yang tak kuraih, yang mungkin bisa mereka raih.
Aku bermimpi
tentang mereka di 20 tahun mendatang, saat aku mungkin telah berusia
nyaris 50 dan tidak mungkin berkeliling dunia. Aku ingin melihat mimpi-mimpiku
terwujud dalam masa depan mereka. Aku percaya, setiap keinginan akan menjadi
kenyataan. Tuhanlah yang kelak akan memberi jawaban, melalui apa dan siapa keinginna
itu terwujud. Bismillah...
Depok, 28 Mei 2013
-gerimis-
No comments:
Post a Comment