![]() |
Titik Nol |
Kakeknya adalah
seorang yang berjalan jauh dari negerinya di China sana dimasa Jepang menjajah
negara-negara Asia. Mamanya, selalu punya mimpi untuk berkunjung ke negeri
leluhurnya, negeri yang dipenuhi cerita tentang indahnya kahyangan. Ia, sudah
diramal akan berjalan jauh. Ia pergi bersama angin yang bertiup. Jauh…
Pertama-tama, ia
meninggalkan rumahnya, titik nol-nya di Lumajang, Jawa Timur pada usia 19 tahun
demi melanjutkan kuliah di universitas terbaik di China. Setelah lulus,
bukannya melamar kerja ke perusahaan atau melamar beasiswa S2 ke Amerika
sebagaimana yang direncanakannya, ia malah bercita-cita mengunjungi Afrika
Selatan melalui jalan darat, via rute jalur sutera yang terkenal dimasa lampau.
Sebelum membaca buku ini, aku telah melahap “Selimut Debu” dan “Garis
Batas” .
Kedua buku tersebut berkisah tentang
pengalamannya selama mengunjungi negara-negara ’stan’ di Asia Tengah dan
Afghanistan. Kisah memukau tentang bagaimana kehidupan ‘berbeda’ orang-orang di
negara-negara Atap Dunia. Hm, jadi ngiler pengen kesana, tapi takut sama
tantangannya yang bikin buku kuduk merinding. Nah, gara-gara itu pula, ia jadi
jurnalis photo, kisahnya dimuat di kompas.com dan jadi pioner metode baru
penulisan buku petualangan. Sungguh buku yang sangat memukau.
![]() |
Kisah Perjalanan Hidup Agustinus Wibowo |
Buku terbarunya
ini, Titik Nol, merupakan cerita yang berbeda. Ia seperti saripati.
Ia meramu dua kisah sebagai satu kisah yang berjalan paralel. Ketika ia telah
memiliki cukup tabungan setelah bekerja sebagai jurnalis photo di Afghanistan,
ia bersiap untuk melanjutkan petualangannya. Tapi, ia mendapat kabar bahwa
Mamanya terkena kanker Ovarium stadium 3C. Ia pulang. Cerita dalam buku ini
merupakan cerita tentang petualangannya yang ia ceritakan kepada Mamanya di
kamar rumah sakit tempat mamanya dirawat, begitulah pemahamanku. Cerita yang ia
ceritakan selalu memiliki hubungan dengan ceritanya dengan Mamanya di rumah
sakit itu. Di setiap helaan nafasnya, di setiap kalimatnya. Sungguh pilu aku
membacanya.
Ada cerita tentang
kemiskinan dan rasa sakit akut di negara-negara yang dilaluinya, seakut kanker
Mamanya, seakut luka hatinya sebagai keturunan etnis minoritas yang pernah
terhina, seakut sakit Hepatitis yang membuatnya seringkali ambruk di negeri
orang, seakut kepolosannya sampai ia harus mengalami pelecehan seksual di
negara mayoritas berpenduduk Muslim dan seakut perang atas nama Tuhan dan
agama. Kisah-kisah itu paralel dalam dirinya, Mamanya dan dunia yang
dilaluinya. Sakit dunia begitu akut, tapi tak bisa diamputasi.
Ia terus bercerita
disamping Mamanya yang sesekali memujinya atau menertawakannya bahkan cuek
bebek. Lalu membangun mimpi-mimpi, sampai pada suatu waktu di titik terjenuh
saat satu peristiwa harus terjadi, seperti pisau yang mengamputasi dirinya dari
Mamanya. Ia pergi ke China, bekerja dan mengumpulkan uang untuk membayar biaya
pengobatan dan melunasi hutang yang kian menggunung. Tapi, saat ia sedang berjuang
mamanya berpulang, kembali ke titik nol, ke kekosongan dan menyisakan cibiran
orang-orang yang menganggapnya anak durhaka karena tak berada disisi Mamanya
saat ia menghembuskan nafas terakhir.
Orang-orang yang
ditemuinya disepanjang petualangannya, yang menipunya atau yang berbaik hati
padanya, yang melecehkannya atau yang memuliakannya, yang disaksikannya tumbuh
atau meregang nyawa, yang tertawa bersamanya atau menangis bersamanya, yang
sakit dan yang sehat, semuanya mengajarkannya untuk menjadi manusia tulus dan
berserah diri pada Tuhan. Ia mendapati banyak pelajaran ketika manusia harus
me-reset segala sesuatu ke ‘nol’. Ada kehancuran ekonomi,
kehancuran alam, gempa bumi, perang, penyakit mematikan, semuanya adalah untuk
mengembalikan manusia pada kemurnian, reset, kepada hakikatnya
sebagai ciptaan Tuhan yang akan kembali pada Tuhan.
Begitulah kisah
itu kupahami. Terima kasih telah menjadi inspirasi bagi sesama. Semoga bisa
melanjutkan perjalanan hingga ke Afrika Selatan…
Jakarta, 12 Agustus 2015
Jakarta, 12 Agustus 2015
Sumber gambar:
avgustin.net
No comments:
Post a Comment