Pagi itu, 20 Februari, aku
berangkat dari Depok dengan kereta pertama pukul 05.10 WIB. Setelah turun di
stasiun Tebet pada pukul 06.30 WIB aku langsung naik angkot no.44 menuju sebuah
alamat: Jl. Bek Murad No.14 Jakarta. Itu adalah alamat SD N 01&02 Karet Kuningan
yang menjadi tempatku mengajar di Hari Inspirasi bersama 12 teman lain.
Ternyata bangunan sekolah yang sangat sederhana tersebut bagai terjepit
diantara gedung-gedung pencakar langit mulai dari Sampoerna Square, WTC
Kuningan dan sebuah apartemen.
Saat tiba di sekolah tersebut aku sangat
terharu menyaksikan aktivitas pagi anak-anak sebelum belajar di kelas
masing-masing. Ada yang jajan, bersenda gurau dengan teman-temannya, melamun,
memerhatikanku dengan wajah heran hingga yang berlarian kesana-kemari. Sekolah
tersebut terdiri atas dua bangunan tiga lantai berbentuk ‘L’ dengan halaman
kecil yang hanya cukup untuk melaksanakan upacara bendera. Aku yakin bahwa
bangunan tersebut sudah tua dan telah melahirkan ribuan lulusan.
Namun, para
guru dan murid merawat sekolah tersebut dengan sangat baik. Tidak ada sampah yang
berserakan, halaman dipenuhi aneka bunga warna warni yang cantik, sementara dinding sekolah dipenuhi
aneka photo mulai dari photo Presiden Soekarno hingga photo Gubernur Sutiyoso.
Juga dua buah lemari yang penuh dengan piala.
Setiap pengajar dari Kelas Inspirasi mendapat
jatah mengajar 3-4 kelas. Aku mendapat 4 kelas yaitu kelas 2-4 sejak pukul
07.30 pagi sampai pukul 11.50 siang. Bagaimana rasanya jadi guru sehari? Mari
kuceritakan padamu.
Pertama, setelah berkenalan
dengan para guru di ruang rapat, aku masuk ke kelas pertamaku. Kelas 2. Aku
benar-benar gugup. Seumur hidupku, ini adalah pengalaman pertamaku mengajar
anak-anak SD. Pertama-tama aku mengajarkan mereka permainan sederhana agar
mereka berkonsentrasi. Lalu aku mengenalkan diriku dan pekerjaanku. Karena aku
bekerja di NGO Lingkungan Hidup, maka agar mudah dipahami maka aku bilang bahwa aku ini merupakan seorang ‘Polisi Lingkungan’. Kemudian kami bicara tentang hobi dan
cita-cita para murid.
Anak-anak merasa gembira sebab di kelas ini mereka banyak bermain
dan bernyanyi. Nah, karena aku tidak terbiasa jadi guru, aku merasa mati kutu saat ada anak-anak
yang tidak konsentrasi dan memilih menaruh kepalanya di meja, atau bermain
dengan temannya, atau menggigit pensil atau membaca buku. Oh Tidakkkkkkkk.
Ternyata jadi guru itu tidak mudah, maka hari saat itu hatiku memohon maaf pada
belasan guru yang mungkin kesal akan kelakukanku saat SD, SMP, SMU bahkan
ketika di bangku kuliah.
Kedua, aku mendapat kelas 3.
Metode yang kugunakan tak jauh berbeda dengan kelas sebelumnya, hanya saja
model penyampaian pekerjaanku yang sedikit dimodifikasi. Di kelas ini ada
dua anak yang mendominasi yang lain dan berbicara semaunya sendiri. Analisisku
sih anak-anak ini suka mendengarkan berita di televisi dan nimbrung pembicaraan
orangtua.
Misalnya begini, saat kutanya “Siapa yang cita-citanya jadi
Gubernur? seperti pak Jokowi?” beberapa anak nyeletuk “Ah,
saya mah sukanya sama Foke.” Dan aku sungguh terkejut akan
keterusterangan mereka. Beberapa anak di kelas ini kasar, suka bicara semaunya
dan suka mengejek temannya. Tetapi aku percaya bahwa mereka bisa tumbuh menjadi
anak-anak yang baik. Aku berterima kasih bisa berbagi dan belajar bersama
mereka.
Ketiga. Kelas 3 lagi. Jumlahnya
hanya 9 siswa. Nampaknya kelas tersebut sedang bosan saat aku masuk. Jadi
setelah memperkenalkan diri, aku menghamparkan peta dunia di lantai dan meminta
mereka berkumpul denganku. Aku menunjukkan tempat-tempat yang pernah aku
kunjungi selama hidupku. Lalu aku meminta mereka untuk menunjukkan tempat
manakah di bumi ini yang ingin mereka kunjungi dan untuk apa mereka kesana.
Ada
yang ingin ke Paris karena ia bercita-cita jadi model, ada yang ingin ke
Spanyol karena ia penggemar Real Madrid, ada yang ingin ke Jepang karena ingin bertemu
Kaptain Tsubasa, ada yang ingin ke Mesir untuk melihat Piramida, ada yang ingin
ke Russia karena ingin melihat perang, ada yang ingin ke London karena ingin
melihat Ratu Elizabeth. Dalam hati aku hanya bisa bilang ‘WOW, kalian keren
sekali’
Keempat. Ini adalah kelas
terakhir dengan siswa 36 orang. Siswa di kelas ini lumayan bisa bekerjasama dan
hanya 2 anak yang tidak bisa konsentrasi. Saat kami membicarakan cita-cita,
mereka saling mengejek saat ada temannya yang mengutarakan cita-cita berbeda
dari yang mereka ketahui sebelumnya.
”Kok jadi dokter sih, katanya mau jadi
model?” celetuk seorang anak. Mereka lumayan kompak dan tidka lagi
malu-malu saat kuminta bicara di depan kelas. Di kelas ini aku meminta
anak-anak untuk menuliskan cita-cita mereka di selembar kertas yang pada akhir
acara.
“Nah, sekarang berdiri berhadapan dengan
temannya. Lalu saling berjabat tangan.” Kataku. Dengan
malu-malu mereka menjabat tangan teman yang berdiri dihadapan mereka.
“Katakan,
‘terima kasih teman’” Kataku dan mereka meniru dengan malu-malu “Terima
kasih teman.” Lalu aku meminta mereka meletakkan telapak tangan kanan
mereka di dada kiri mereka dan kami semua bilang, “Terima kasih
diriku,” lalu “Terima kasih bu guru”. Pertemuan dengan
kelas terakhir ini kututup dengan ucapan terima kasihku pada mereka dan mereka
berterima kasih dengan Wussshhh ala Superman “duk duk duk duk *memukul
meja*, tereret ret tereret ret wuuussshhh” dan aku keluar kelas dalam
keadaan tertawa terbahak-bahak karena lucu.
Beberapa murid mengerumuni Stefy, salah
seorang guru yang manis dan jadi favorit. Saat aku berdiri di lorong dan
memperhatikan akivitas anak-anak, beberapa murid langsung mencium tanganku saat
bertemu, tapi sialnya aku lupa kelas berapa mereka. Ada yang mengintip
malu-malu dan bertanya, “Bu Ika, besok ngajar disini lagi kan?” dan
kujawab “Insya Allah, kalau pak Idris mengijinkan,” dan anak
itu bertanya sebnayak 5 kali dna aku menjawabnya sebanyak 5 kali juga,
hehehe.
![]() |
Menanam pohon cita-cita |
Setelah kelas usai kami berkumpul di halaman.
Pak Idris sang Kepala Sekolah menyampaikan ucapan terima kasih kepada kami para
guru sehari. Juga menyemangati anak-anak agar belajar dengan giat agar
cita-citanya tercapai. Setelah itu para perwakilan masing-masing kelas
menggantung cita-cita mereka di pohon sawo yang sengaja kami bawa sebagai hadiah
untuk ditanam di halaman sekolah.
Menjadi guru dadakan meski hanya sehari
membuatku lumayan lelah. Tapi, aku sungguh senang karena aku bisa tertawa,
bernyanyi dan terbahak-bahak bersama anak-anak dengan kelakuan mereka yang
lucu. Semoga kami menjadi inspirasi bagi mereka dan mereka semakin giat belajar
untuk menggapai cita-cita.
Lilin telah dinyalakan
Untuk menerangi jalanmu
Membantumu melangkah
Berjalanlah terus, Nak
Raih cita-citamu…
Depok, 21 Februari 2013
No comments:
Post a Comment