Seorang
kawan, sesama fellow beasiswa International Fellowship Program asal
Bengkulu yang berkesempatan kuliah di University of Manchester, Inggris
baru saja mengabarkan bahwa bukunya telah terbit dan sudah dijual di Gramedia.
WOW! Kebetulan aku hendak ke Depok Town Square untuk mengambil jahitan
pakaian dan menyempatkan diri mampir ke Gramedia. Yup, aku dapat bukunya.
Buku
setebal 170 halaman ini berkisah tentang peristiwa-peristiwa yang dialami
penulis sejak masih kecil hingga ia kuliah di Universitas Manchester. Hanya
dalam waktu 1 jam saja buku ini sudah selesai kubaca. Sebagaimana karakter
penulisnya yang simpel dan to the point, pun dengan buku ini.
Isinya singkat, padat, tanpa kalimat-kalimat puitis atau terkesan
hiperbola.
Buku
ini dibuka dengan kisah penulis ketika ia berusia 3 tahun, saat ayahnya
meninggal dunia. Beruntungkah, sebab ia masih memiliki ibu yang siap bermandi
darah untuk meneruskan hidup, membiayai sekolahnya dan kedua adiknya yang masih
kecil sekaligus guru yang selalu mengajarinya agar bijak menjalani hidup.
Kesedihan, semangat dan impian turun naik bagai grafik dalam hidupnya. Tetapi
ia terus berjuang, dan ibunya adalah pendukungnya yang paling hebat, meski
orang-orang disekelilingnya mencibirnya dengan cibiran yang kupikir bisa
membuat telinga meledak karena panas, hehehe...
Ada
percakapan antara ibunya dan tetangga yang meremehkannya (karena kemiskinan.
Oh oh oh, bingung juga kenapa kemiskinan selalu jadi masalah buat tetangga...)
Pernah
suatu ketika, ada tetanggaku yang bertanya kepada ibuku. "Anakmu kerja apa
sekarang setelah lulus?" Lalu ibuku menjawab, "Masih mengajar les
privat itulah." Terlihat ibuku sedikit kurang pede menjawabnya.
"Owh..." ungkapan dari tetanggaku, simpel, namun penuh makna.
"Tapi sekarang ia sedang mengikuti seleksi beasiswa S2 ke luar
negeri," lanjut ibuku karena mungkin merasa diremehkan. Kemudian
tetanggaku pun berkata. "Anakmu itu tidak tahu diri. Keinginannya
terlalu muluk. Tidak ingat dengan kondisi keluaranya sekarang." (4: Dapat
Beasiswa Nggak Susah Kok, hal: 31)
Ia
adalah sulung dari tiga bersaudara. Ialah harapan keluarga. Maka ibunya selalu
menjadikan pendidikannya sebagai prioritas, dengan harapan kelak ketika sang
penulis telah menjadi orang pintar dan bergelar mampu mengangkat derajat
keluarga dan menyudahi beban ibunya.
Pasca
lulus dari Universitas Bengkulu, ia kerja serabutan sebagai freelancer sebab
ia tengah menunggu pengumuman beasiswa. Ia sanggup menahan cibiran dan
kesedihan yang bertumpuk-tumpuk dan berharap Tuhan mendengar do'anya. Dan
betul, ia diterima dan menjadi satu-satunya wakil dari bengkulu. Berangkatlah
ia ke Jakarta.
Setelah
melewati 6 bulan pre academic training di kampus Universitas
Indonesia di Salemba, Jakarta, berangkatlah ia ke Inggris. Tuhan menjawab
do'anya, ia diterima beasiswa dan kuliah di luar negeri. Nah, kehidupan di
Inggris berbeda dengan Indonesia mulai dari budaya, cuaca, tingkat
kedisiplinan, fasilitas hingga makanan. Tubuhnya yang kecil seringkali tak
sanggup menahan dingin meski di Inggris sedang musim panas, alhasil ia sering
memakai baju beberapa lembar. Selain itu, ia juga suka pilih-pilih makanan
sehingga seringkali ia makan di cafe yang sama dengan menu yang sama, ayam
goreng.
Dalam
menjalani hari-harinya, ia seringkali terpana oleh hal-hal yang hanya ada di
Inggris atau serupa di negara maju lainnya. Misalnya dengan tingkat kenyamanan
di kereta bawah tanah, kedisiplinan di kampus, kemudahan dalam menjalani
perkuliahan, tempat-tempat eksotis, hingga parade kereta kuda ala abad
pertengahan yang membawa mayat. Tak lupa ia juga bercerita tentang sepedanya,
dan keterpesonaannya saat naik bus umum, pada hamparan rumput hijau tempat para
domba menikmati makanannya, dan pada cinta yang menunggunya di tanah air.
Buku
ini sangat ringan. Diceritakan dengan lugas, singkat dan penuh semangat. Tak
lupa dilengkapi photo-photo penulis dalam beberapa peristiwa. Cukup baik
sebagai buku motivasi bagi mereka yang merasa sulit menggapai mimpi dan seringkali
diremehkan oleh orang-orang terdekat. Semangat! katanya selalu. Yup, semangat!
Menurutku,
cara bertutur penulis mirip dengan penulis Iwan Setyawan yang bukunya "Dari
Kota Apel ke the Big Apple" laris manis. Bedanya Iwan kuliah
di Amerika, dan kemudian bekerja di top manajemen perusahaan multinasional.
Kisah perjalanan hidup Budi dan Iwan sama-sama sangat dipengaruhi sosok
ibu.
Namun,
ada beberapa kekurangan dalam buku ini, yang kupikir cukup menganggu dan
menurunkan kembali semangat. Pertama, tata isi buku kurang
memikat. Misalnya tata letak gambar yang tidak konsisten dan tidak diolah,
padahal menurutku jika penempatannya tidak monoton dan diatur sedemikian rupa,
buku ini akan sangat memanjakan mata pembaca. Selain itu, gambar-gambarnya juga
buram karena dicetak tak berwarna. Padahal photo-photo yang ada akan sangat
keren jika berwarna dan memberikan gambaran yang agung tentang Inggris. Mungkin
penerbit tidak memikirkan hal ini dan menganggap hal tersebut tidak penting.
Huh, sayang sekali.
Kedua, gaya bertutur penulis terlalu polos. Benar-benar tanpa
kalimat romantis, atau terselip puisi paling terkenal di Manchester,dan
deskripsi tentang keindahan yang muram karena dinginnya cuaca. Atau mungkin
karena sang penulis benar-benar maskulin? hahahaha, aku tak tahu apakah itu
relevan atau tidak dengan gaya menulis. Kupikir penulis perlu menggaet editor
terhebat di Bengkulu sehingga meksi bukunya dicetak oleh percetakan kecil atau
lokal,isinya tetap keren dan memikat.
Ketiga, entah alur apa yang dipilih,
kupikir temanya melompat-lompat. Memang semuanya saling berhubungan. Tapi jika
penulis memulai kisahnya sejak ia umur 3 tahun hingga ketika ia di Inggris,
sebaiknya sih penulis menjadikan poin-poin dalam bukunya sebagai anak-anak
tangga yang saling tersusun rapi.
Keempat, menurutku penulis sungguh sembarangan. Ia
banyak sekali menulsi tentang waktu dan peritiwa, seperti hari, bulan dan
tahun. Tapi tak jelas peristiwa yang ia ceritakan itu terjadi hari apa, tanggal
berapa, jam berapa, tahun kapan. Mungkin ia lupa konsep 5W + 1H. Ini sangat
menganggu. Kupikir akan lebih memikat jika penulis melengkapi ceritanya dengan
waktu yang jelas. Sehingga mungkin pembaca bisa melakukan penyesuaian dalam
ingatannya di waktu yang sama, dan pastinya akan sangat bersejarah.
BTW,
aku salut untuk penulis yang sudah menerbitkan bukunya. Aku menyusul deh :)
Depok, 7 Oktober 2012
-Hujan sudah lama reda, kini hening-
No comments:
Post a Comment