“Tempuh malam hingga petang
Tempuh badai hingga reda
Tempuh perang hingga menang
Tempuh duka hingga suka”
Kartini, 15 Agustus 1902
Aku tahu bahwa Kartini lebih terkenal dibandingkan dengan
pahlawan wanita lain di nusantara. Bahkan Kartini lebih terkenal dari beberapa
ibu Negara. Setiap tanggal 21 April diperingati sebagai hari Kartini menjadi
bukti bahwa namanya diabadikan sebagai pahlawan perempuan paling cemerlang.
Tidak ada pahlawan perempuan lain yang hari kelahirannya dibuat sebagai hari
nasional selain Kartini. Terlepas dari stereotip Jawanisasi, aku
mencoba menyelami keistimewaan Kartini melalui dua buku yang kumiliki.
Buku
pertama berjudul ‘Satu Abad Kartini (1879-1979)’ yang merupakan kumpulan
tulisan beberapa tokoh terkenal. Buku kedua berjudul “Panggil Aku
Kartini Saja” yang merupakan penggabungan 2 dari empat jilid buku yang
ditulis Pramoedya Ananta Toer setelah huru-hara dan pengganyangan PKI tahun
1965. Kedua buku tersebut kuperoleh dari toko buku online yang memang menjual
buku-buku lawas.
Jika selama ini banyak tulisan menggambarkan Kartini dari
2 sudut pandang yang saling berlawanan: memuji dan meragukan. Kedua buku ini
merupakan memoir Kartini yang ditulis untuk menyampaikan sudutpandang berbeda.
Buku pertama yang ditulis oleh tokoh-tokoh seperti Haryati Soedibyo, Ny.Aisyah
Dahlan, Sultan Takdir Alisjahbana, Hanna Rambe, Cora Vreede-de Stuers, Raharty
Subijakto dan lainnya, sebagai peringatan 100 tahun kelahiran Kartini. Hidup
Kartini memang singkat, hanya 25 tahun, meski Kartini mengatakan kepada Nyonya
Marie Ovink-Soer, wanita yang dianggap ibunya sendiri.
“Ah, Ibu, aku mau hidup 100 tahun. Hidup ini terlalu pendek. Pekerjaan banyak sekali menunggu. Dan sekarang aku bahkan belum boleh memulai.” Kartini, dalam langkah minimalnya melalui tulisan-tulisannya sebagai perempuan Jawa di zaman feodal.
Ia mencoba menyatakan perjuangannya mendobrak dinding budaya yang memingitnya.
Surat-suratnya yang kemudian oleh banyak penulis dikategorikan sebagai karya
sastra, tidak saja menjadi inspirasi bagi para perempuan pejuang setelahnya di
tanah air, melainkan juga di Belanda. Isi surat-surat Kartini menjadi bukti
bahwa sebagai perempuan Jawa dari kalangan bangsawan ia menolak peminggiran
hak-hak perempuan sebagai manusia yang sejajar dengan lelaki, apalagi jika
telah menikah dan menjadi seorang ibu.
![]() |
Kartini dan sekolah yang dibangunnya. Sumber: brilio.net |
Buku kedua berisi memoir Kartini yang oleh Pramoedya
diawali dengan kisah kekalahan Diponegoro dalam melawan Belanda yang sekaligus
merupakan awal mula cultuurstelsel atau kerja paksa/Rodi. Lima
tahun setelah kekalahan Diponegoro, rakyat makin diperah tenaganya melalui
Tanam Paksa di perkebunan-perkebunan kopi, tebu, nila, tembakau dan sawah-sawah.
Tahun 1824 penduduk Jawa bertambah sebanyak 6 juta orang dan seorang penulis
Belanda menyebutkan bahwa pertambahan jumlah penduduk merupakan indikator
kemakmuran penduduk dan ia menyebutkan bahwa sistem Tanam Kaksa yang
berhasil menjadikan penduduk pribumi tidak lagi malas, hingga tahun 1870
tanam Paksa semakin menjadi-jadi dan semakin menyengsarakan.
Ketika gemuruh
demokrasi mengguncang Eropa, muncul kaum liberal yang mulai memperjuangkan
kebebasan hidup dan kaum bangsawan menginginkan kelonggaran dari himpitan
Belanda. Mulailah dibuka sekolah-sekolah untuk kaum bangsawan, sementara disisi
lain rakyat kecil masih berjuang melepaskan diri dari tanam paksa.
Di Demak dikenal seorang Bupati yang diangkat Belanda
bernama Tjondronegoro (kakek Kartini) yang iba dengan kondisi rakyat namun tak
punya pilihan untuk menolak tanam paksa yang diberlakukan Belanda. Cara yang ia
lakukan adalah dengan memberikan pendidikan barat pada putra-putrinya sebab
bahasa ilmu pengetahuan yang berlaku saat itu meurpakan bahasa Belanda. Salah
satu anak Tjondronegoro adalah R.M Adipati Sosrodiningrat (ayah Kartini) yang
merupakan Bupati Jepara. Ia membuat tulisan yang salah satunya berupa nota protes
kepada pemerintah Hindia Belanda atas diskriminasi pendidikan.
Ia kemudian
bertemu dengan seorang gadis putri seorang buruh pabrik gula bernama Ngasirah
yang kemudian dijadikannya selir. Ngasirah melahirkan putra bernama
Sosrokartono dan kemudian seorang putri bernama Kartini. Sebagai putri selir
yang sangat tidak disukai oleh istri ayahnya, R.A Sosroningrat yang
bersaudarakan belasan saudara laki-laki dan perempuan dari beberapa istri
ayahnya, Kartini mengalami diskriminasi meski tinggal satu pekarangan dengan
saudara-saudarinya yang lain.
Semasa sekolah Kartini juga menerima diskriminasi dari
teman-teman dan guru-gurunya karena ia bekulit coklat. Juga karena ia mengalami
kesulitan dalam bahasa Belanda. Sementara itu ia hanya menggunakan bahasa Melayu
dengan orang-orang asing seperti Melayu, Tionghoa, Koja dan Arab.
Perbincangannya dengan teman Belandanya, Lesty, kemudian mulai merubah sikap
Kartini mengenai visi hidup, sebagaimana ditanyakan Lesty, “Ni, kau
mau jadi apa kelak?” saat itu Lesty sedang berusaha keras
belajar bahasa Perancis agar bisa melanjutkan sekolah guru di Belanda. Ayahnya
memandang bahwa Kartini tidak mengalami banyak perubahan di sekolah Belanda,
meski Kartini ingin terus sekolah, sehingga ayahnya memutuskan agar Kartini
dipingit dan berhenti sekolah sebagaimana adat istiadat yang ditetapkan bagi
perempuan Jawa. Saat itu Kartini masih 12 tahun (tahun 1892).
Pemingitan inilah
yang membuat Kartini memberontak dan menyatakan dalam suratnya kepada Stella
bahwa pemingitan merupakan masa yang sangat mengerikan. Empat tahun kemudian,
tahun 1896 Kartini bebas dari pingitan dan kembali melihat dunia luar, hingga
bepergian ke berbadai daerah termasuk Yogyakarta. Dan perjuangan Kartini untuk
kaumnya dimulai. Tak perlu kuceritakan disini karena telah banyak tulisan yang
bercerita.
Dari dua buku ini aku cukup memahami bahwa meski ia
tergolong kaum bangsawan tetapi ia tidak memiliki massa dan uang untuk
melakukan pergerakan social sebagaimana pahlawan perempuan lain. Kartini juga
bukan semacam pemimpin dalam sebuah gerakan sebagaimana yang dilakukan Cut Nyak
Dien dan sebagainya. Kartini hanya menggunakan kepekaannya dalam melihat
persoalan rakyat terutama kaum perempuan melalui tulisan, dan tulisan-tulisan
itu ia kirim pada sahabat-sahabatnya.
Aku tidak tahu apakah Kartini telah
berpikir matang bahwa tulisan-tulisannya akan menjadi semacam senjata yang
mempengaruhi pikiran atau tidak, yang pasti aku berpendapat bahwa ia sedang curhat
pada kawan-kawannya. Toh ia tak bisa bicara kepada ayahnya dan para bangsawan
mengenai ide-ide dan pandangannya karena ia seorang perempuan. Ayahnya bahkan
pernah mengingatkannya agar ia tak berpikir bahwa semua orang Eropa
menyukainya, melainkan segelintir orang saja.
Di titik ini aku melihat bahwa Kartini berjuang dengan
keras. Dengan menulis Kartini membuat ide-ide dan perjuangannya abadi untuk
dikenang dan diteladani. Meski kemudian banyak yang memandangnya sebelah mata,
misalnya mengapa Kartini rela dinikahkan dengan lelaki beristri dan menjadi
istri kesekian jika ia benar-benar berjuang untuk kebebasan perempuan. Kupikir
keputusan Kartini menerima pernikahan tersebut karena ia tak punya pilihan, ia
tak punya senjata untuk melawan. Meski jika ia memiliki kesempatan untuk
melarikan diri, maka kemana ia melarikan diri sementara seluruh Jawa adalah
wilayah feodal yang tentu saja akan mengembalikannya ke rumah ayahnya.
Lari ke
Belanda, bagaimana mungkin sementara ia adalah perempuan yang tidak memiliki
uang dan bagaimana mungkin orang Belanda mau menerima seorang putri kaum
bangsawan di Negara jajahannya yang kabur. Kartini juga tidak mungkin berpikir
untuk bunuh diri demi menghindari pernikahan itu karena bunuh diri adalah
perbuatan paling memalukan. Pendapat yang paling logis adalah bahwa Kartini
memutuskan untuk menerima pernikahan dan memanfaatkan posisinya sebagai istri
bupati untuk mengembangkan ide-idenya dalam membebaskan perempuan melalui
pendidikan. Buktinya, tulisan-tulisannya dan upaya-upayanya menjadi gilang gemilang
kini. Semua berterima kasih pada Kartini.
Meski ia hanya hidup selama 25 tahun di dunia *Ini cukup mengejutkan. Kartini meninggal 2
hari setelah melahirkan putranya dan diduga ia diracun karena ide-ide
perjuangannya diduga terkait gerakan freemanson. Huff, harus diteliti
kebenarannya, nih*, ide-idenya hidup lebih lama dari usianya.
Kini
telah 133 tahun terlewati sejak jabang bayi Kartini lahir ke dunia, sebagai
hadiah Sang pencipta bagi perjuangan pembebasan kaum perempuan dari
diskriminasi. Dua hal terpenting yang bisa kupetik dari semangat juang Kartini
adalah menulis dan komitmen. Tulisan dapat menembus ruang dan waktu, ia abadi
dan senantiasa menginspirasi. Jika peluru hanya dapat menembus satu orang saja,
maka tulisan dapat menembus dunia. Kemudian komitmen, bahwa sebuah ide dan
perjuangan akan membuahkan hasil jika ia digerakkan dengan komitmen.
Perjuangan
adalah proses dan hasil perjuangan merupakan akumulasi dari proses yang sangat
panjang. Maka kata Kartini, siapa yang berani ia yang akan menang,
bahkan memenangkan tiga perempat dunia.
Perempuan Indonesia, semangat berjuang!
Depok, 18 April 2012
No comments:
Post a Comment