![]() |
Negeri Lima Menara. Sumber: Gramedia |
Entah kapan tepatnya
aku untuk pertama kalinya tahu tentang novel “Negeri Lima Menara” dan saat
pertama kali melihat bukunya terpajang diantara buku-buku bergengsi lain di
toko buku aku beranggapan bahwa mungkin novel ini bercerita tentang keberagaman
Indonesia yang mengakui secara hukum lima agama sebagai agama resmi Negara. Ah,
karena ketika itu aku lebih tertarik dengan novel lain maka aku tak membelinya.
Kapan-kapan saja kupikir.
Kemudian muncul
kehebohan nasional saat novel ini akan difilmkan. Slogan islami “Man Jadda
wa jada” cepat menyebar sebagaimana ‘alhamdulillah ya’ milik
Syahrini. Aku penasaran dan mencari beberapa kata kunci di Youtube untuk
mengetahui perkembangan pembuatan film ini dan lumayan mendapat gambaran
menarik. Saat film ini resmi ditayangkan pada awal Maret 2012 lalu aku mulai
mempelajari beberapa tulisan di Kompasiana yang masing-masing memiliki kekhasan
baik dalam memberikan pujian maupun kritik. Sampai sejauh ini aku belum membaca
novel maupun menonton filmnya.
Tepatnya pada Selasa
13 Maret 2012 aku berkesempatan menonton film ini di salah satu bioskop di kota
Depok dan tak lupa membeli dua novelnya untuk dibaca kemudian. Setelah menonton
film dan membaca novelnya aku berkesimpulan bahwa aku sependapat dengan
beberapa opini mengenai film maupun novelnya.
Sebenarnya aku agak
kecewa sih dengan kenyataan film ini alurnya mirip dengan Laskar Pelangi
meskipun masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan. Ketika mencoba
sedikit mengintip sekuelnya yaitu “Ranah 3 Warna” maka akan diketahui bahwa
untuk sukses Alif tidak saja membutuhkan kekuatan mantra ‘man jadda wa jada’
melainkan hal krusial lain dan mantra lain. Kemungkinan besar di novel kedua
ini aku akan memperoleh gambaran how to be success yang
dialami Alif untuk bisa menjadi Jurnalis VOA dan berhasil ke Amerika, menjadi
Habibie versi lain.
Apakah Ranah 3 Warna mirip dengan Sang Pemimpi atau tidak
aku belum memastikan, tetapi aku ingin mendapatkan gambaran ‘proses’ disana,
sehingga kesusksesan yang dicapai Alif bukan ujug-ujung atau durian runtuh. Hal
ini penting sebab pembaca atau penikmat film membutuhkan keterangan ‘bagaimana
menuju sukses’ yang berarti jalan yang harus ditempuh, bukan keajaiban. Mantra,
guru yang baik, persahabatan, cita-cita adalah pernak-pernik dalam metode yang
ditempuh dalam mencapai kesuksesan hidup. Namun demikian, metode itu sendiri
harus jelas agar perjalanan tertarah dan tidak ngawur. Agar nasihat ‘terima dan
jalani’ bukan sekadar kepasrahan tanpa memperhitungkan resiko dan kapabilitas
diri.
KEMISKINAN
Di Indonesia
kemiskinan adalah potret yang belum selesai diubah warnanya. Jika dalam Laskar
Pelangi kemiskinan digambarkan sebagai akibat ‘pengkotak-kotakan kesempatan’
antara pekerja dari Jawa yang berpendidikan dan masyarakat Melayu sebagai asli
belitong yang tak sekolah sehingga hanya bisa jadi buruh kasar menjadikan Ikal
cs sekolah di SD miskin. Maka di Negeri Lima Menara keputusan Alif untuk
nyantri di Pondok Madani Jawa menggambarkan dengan jelas perbedaan kualitas
pesantren di Jawa yang lebih maju dibanding pesantren di luar Jawa.
Kedua film
menunjukkan Jawa sebagai sentral, pusat kemajuan dan harapan dunia pendidikan.
Kritik realitas dalam kedua film ini merupakan gambaran yang tak pernah usai
tentang perbedaan mencolok antara pembangunan di Jawa dan luar Jawa yang
mengakibatkan masyarakat berpikir bahwa sekolah di Jawa, orang-orang dari Jawa,
pesantren di Jawa adalah lebih baik dibanding diluar Jawa. Masyarakat yang
tinggal di pulau-pulau selain Jawa seakan tak kenyang sebelum mereka memperoleh
pengalaman di Jawa. Jawa-sentris tak bisa dinafikan sebagai gambaran Indonesia
yang belum sejahtera.
Bagiku, akan sangat
menarik jika ending film ini adalah senyum sumringah di wajah Alif dan para
Sahibul Menara saat mereka berhasil lulus dengan nilai terbaik dari pesantren.
Terutama jika digambarkan Alif melihat awan putih di langit yang biru
menggambarkan pak Habibie sedang menunggunya di ITB. Maka tak akan kenyang ia
dengan mantra man jadda wa jada sebab sebagaimana Harry
Potter, semakin tinggi rintangan yang harus dihadapi maka harus semakin kuatlah
mantra yang digunakan. Man shabara zhafira: siapa yang bersabar
akan beruntung.
Depok,
14 Maret 2012
No comments:
Post a Comment