Dalam
salah satu mata kuliah di magister Kesejahteraan Sosial UI, salah satu buku
yang menjadi bahan untuk dikritisi adalah yang berjudul "Globalization of
Poverty and the New World Order" tulisan Michael
Chossudovsky, seorang ekonom asal Kanada. Dengan pedas buku ini
menggambarkan 'gurita IMF dan World Bank' dalam menghancurkan ekonomi dan
sosial negara-negara berkembang dan miskin dengan kedok 'bantuan internasional'
paska perang dingin.
Krisis terjadi dimana-mana dan sebagian besar populasi
dunia dilanda kelaparan, mulai dari Afrika, Asia dan sebagian Amerika Latin.
Selain itu, di sebagian negara-negara tersebut juga berlangsung perang saudara
yang semakin menghancurkan tatanan ekonomi, sosial dan budaya. IMF dan World
Bank datang, seolah-olah malaikat berwajah manis yang membawa negara-negara
miskin itu kedalam pergulatan ekonomi internasional.
Didalam bukunya, Chossudovsky menjelaskan
bagaimana IMF dan World Bank memberlakukan kebijakan-kebijakan dengan merangkul
pemerintah yang pada akhirnya justru menyebabkan depresi masyarakat di
negara-negara tersebut. Misalnya mendevaluasi mata uang asing dan memberlakukan
standar 'dollar' untuk menghargai setiap barang dan transaksi,
juga melakukan deregulasi bank dan mengadakan liberalisasi modal, buruh dan
barang.
Selain itu kedua gurita tersebut juga melakukan penghancuran layanan
publik dengan privatisasi layanan dan sarana umum dan mengimpor bahan makanan
dari Amerika dan Eropa sehingga menghancurkan produksi pangan lokal yang
semakin menyengsarakan petani lokal. Lebih jahat lagi, keduanya melakukan
kontrol atas bank sentral di setiap negara sehingga bank-bank tersebut tidak
lagi melayani negara dan rakyatnya melainkan melayani IMF dan World Bank dan
semakin bergantung pada kebijakan keduanya.
Intervensi IMF dan World Bank atas
negara-negara berkembang tersebut digambarkan Chossudovsky di negara-negara
seperti Somalia, Rwanda, Ethiopia, Bangladesh, Korea, Thailand,
Indonesia, Vietnam, India, Brazil, Peru, Russia, Yugoslavia, Albania dan
Bolivia. Secara umum sistem penghancuran yang dilakukan sama,
bahkan di presiden Korea saat itu Kim Young Sam sampai memecat Menteri Keuangan
Kang Kyong-shik karena dianggap menghambat negoisiasi dengan IMF.
Sementara di
Thailand, negara yang tak pernah mengalami penjajahan fisik, 56 bank dalam
negeri ditutup atas perintah IMF sehingga menyebabkan 'over' pengangguran di
negara itu. Di India, IMF menekan kebijakan pemerintah agar menghapus subsidi
pangan dan bantuan sosial yang tak pelak menyebabkan ratusan juta orang
kelaparan.
Apa yang IMF dan World Bank kehendaki atas dunia terwujud sempurna,
keduanya datang menawarkan 'pil' yang membunuh negara-negara miskin tersebut
sehingga sesulit bangkit hingga saat ini. Ketergantungan pada IMF menyebabkan
negara-negara tersebut, sebagaimana Indonesia, harus menghamba dengan meminjam
uang sementara hutang-hutang lama belum terbayar. Maka kayalah IMF dan World
Bank sehingga mereka bisa mengendalikan dunia dalam cengkeraman mereka. Apa yang
tidak bisa dibeli dengan uang?
Buku
ini sangat menarik dan layak menjadi referensi bagi para kaum terdidik di
Indonesia dan negara-negara berkembang agar mereka paham bahwa kemajuan yang
selama ini mereka anggap sebagai 'keajaiban dunia baru' hanyalah omong kosong.
Kebijakan-kebijakan keduanya yang menghegemoni kebijakan nasional sebuah negara
berkembang dan miskin telah menciptakan jurang pemisah antara warga negara atas
status sosial dan ekonomi mereka.
Maka kita pun selalu melihat bahwa masyarakat
kita, saudara kita sendiri, terlihat muak pada kita yang berstatus 'miskin' dan
sebagiannya menjadi gurita-gurita kecil yang membunuh sesamanya sendiri. Inilah
perang yang sesungguhnya, perang yang tak memerlukan pedang hingga bom atom.
Depok, 17 Oktober 2011
No comments:
Post a Comment