![]() |
Ilustrasi (sumber: hdwallpaperock) |
Katamu, semua
hal di semesta ini punya tubuh. Bahkan punya jiwa. Aku ingat, saat kita
duduk berdampingan di halte kampus untuk menunggu hujan reda, Kau bilang bahwa
air punya tubuh dan jiwa. Katamu juga, andai aku
ini lelaki niscaya akan kubuka bajuku dan menari didalam hujan. Bukankah Nabi
kita melakukan itu untuk bersyukur atas datangnya hujan?, ah Kau ini
ada-ada saja. Setahuku, pikirku yang bodoh, bahwa cuma kita, manusia yang
pantas disebut punya jiwa atas tubuh. Kau tersenyum, senyum yang manis. Lihatlah
keajaiban dibalik pernciptaannya dan kau akan merasakan kehidupan lain yang
indah, pungkasmu.
Hujan reda, lalu kita naik angkutan kota berwarna biru
menuju rumah masing-masing. Esoknya, kau bercerita padaku bahwa batu pun punya
jiwa dalam tubuhnya yang nampak tak berguna dan dia bisa menangis. Ingatlah
kisah para Nabi, desakmu.
***
Hari ini, Kau datang padaku dengan rupa sebagaimana yang
kukenal lima puluh tiga tahun lalu. Katamu Kau baru saja pulang dari sebuah
desa yang sangat ingin Kau kunjungi sejak kau berusia 20 tahun, di
Afrika, katamu saat mendengar bahwa aku dirawat di rumah sakit ini
karena serangan jantung. Kau iba padaku, begitulah kubaca matamu.
Kukira
Kau sudah pergi, aku begitu khawatir, ujarmu sedih. Kau
tahu, kita sudah sama-sama 73, Kau terbaring di tempat buruk ini dan aku sedang
menuntaskan petualanganku sebelum kita sama-sama berakhir, katamu lagi dan
ucapanmu barusan begitu menyentuh. Dan kita menangis berdua.
Kau nakal dan tak mau mendengar nasehatku, Kau kesal padaku. Ya…ya… aku sangat tahu itu. Sudah kubilang
sejak lima puluh tahun lalu bahwa tubuh kita adalah kota dan kitalah
pengendalinya. Kau sangat tahu bahwa aku memaksamu untuk kebaikanmu dimasa-masa
seperti sekarang ini, masa saat kita kembali sendiri sebagaimana sebelum kita
hidup berumah tangga dan memiliki anak-anak," Kau menceracau bagai
burung yang kelaparan dan aku tak kuasa memotongnya. Tapi Kau tersenyum manis
dan jemarimu yang masih segar menyentuhku. Aku keriput.
Kau sudah baca bukuku kan? Hm…Aku Ingin Hidup Seratus
Tiga Belas Tahun… ah, Kau tak sepertiku. Kau pasti tak menyimpan buku itu
dengan baik. Anak-anakmu atau mungkin cucu-cucumu telah menggudangkan buku tua
itu dan memenuhi rak bukumu dengan buku baru, yang berdatangan setelah kita
bersama-sama melewati masa yang panjang. Ah, Kau. Aku benar-benar tak habis
pikir. Aku ingin menyahut, tapi aku keriput.
Aku malu padamu.
Pada tubuh dengan jiwa yang begitu kuat. Pada jiwa dengan pikir yang begitu
cermat. Apakah mawar ini wangi? Kau menoleh pada sebuket mawar
merah yang baru saja kau bawa sebagai buah tangan. Kau memetiknya setangkai dan
mendekatkannya ke cuping hidungku. Ya wangi.
Kau menyimpan
mawar itu didekatku dan bangkit menuju jendela. Ruangan ini dipenuhi aroma yang
tak kau sukai. Aku tahu ada bagian dari kota dalam tubuhmu yang menolak
wewangian rumah sakit yang semakin masa semakin aneh. Mengapa Kau mau
dirawat ditempat buruk ini? Kau kan bisa datang ke rumahku, rumah yang kubangun
untuk hari-hari seperti ini, saat kita ditinggalkan masa muda. Lalu
kau mencium gorden putih yang menurutmu berdebu, kemudian kau menjauh darinya.
Lalu gerimis, dan Kau terpaku menatap air yang berjatuhan dari langit.
Sabahat,
kita telah menyaksikan perkembangan dunia ini yang begitu cepat. Namun,
kehebatan yang ada di seluruh detail rungan ini, yang dibayar mahal anak-anakmu
atau mungkin dari tabunganmu sendiri, tak mampu menyembuhkanmu dalam sehari.
Kau terbaring sakit dengan selang-selang itu, oh…itu mengerikan sekali,
keluhmu yang kemudian dilumat gemuruh hujan yang begitu deras.
Apalah artinya iman yang kupaku kuat-kuat dalam seremonial
ibadah, jika aku membiarkan tubuhku hancur. Aku merusak tubuhku. Katamu, saat aku mengunjungimu di Rumah Sakit Kartika lima puluh satu
tahun lalu, saat kita hampir merampungkan semester keempat dan tahun kedua
perkualiahn. Aku tak ingin mengkambing
hitamkan Tuhan bahwa sakit adalah RahmatNya, sedangkan kita menyengajakan diri
membuat tubuh ini sakit. Makanan kita memang
halal, tapi buruk dan beracun, itu yang sesungguhnya menghancurkan kita, tubuh
kita.
Dan sepulang dari rumah sakit swasta termahal di kota kita ini, Kau
berubah total. Kau bilang bahwa semua penyakit berasal dari makanan dan harus
disembuhkan dengan makanan. Jangan meminta Tuhan mengeluskan telapak
tanganNya untuk kesembuhan tubuh jika kita begitu rakus memasukkan racun yang
merusak tubuh ciptaanNya, katamu bijak dan saat itu aku hanya tersenyum,
senang karena Kau telah sembuh dari sakit. Bukankah manusia adalah
ciptaanNya yang sempurna? Kita ini bagian dari alam, kota tubuh kita ini, dan
kita harus hidup selaras dengan alam, Katamu mengutip tulisan seorang
dokter.
Lalu kau hidup dengan cara barumu yang sehat. Bahkan
sejak saat itu Kau merencanakan banyak hal untuk hari tuamu, masa sekarang ini.
Kau juga begitu ketat menyeleksi lelaki yang datang dan ingin menjadikanmu
satu-satunya istri. Lelakiku sama sekali bukan perokok, itu
patokan pertamamu yang terdengar aneh. Bukan penggemar daging, bukan
peminum soft drink, bukan konsumen mulivitamin, bukan pengemil, penyuka alam,
sederhana dan dia datang padaku sebagai teman hidup yang akan membangun
keluarga yang sehat, seia sekata dengan alam. Aku terbahak dan Kau
menjitak kepalaku.
Kataku, waktu itu, mana ada lelaki macam itu sekarang dan
Kau bilang pasti ada sebab perempuan seperti dirimu nyatanya ada. Ah, Kau
sungguh ingin melawan arus kehidupan dan memilih sebagai rekan evolusi
semesta. Aku hanya berusaha. Mungkin, manusia akhir zaman macam kita
ini akan dilempar kedalam neraka bukan karena kita tidak sholat atau semacamnya
saja, atau karena kita ini koruptor, pembohong, pencuri, pezina. Menurutku bisa
saja kita masuk neraka karena kita adalah pencemar alam sehingga DNA dalam
tubuh kita dipenuhi zat yang kotor dan ibadah kita yang kita anggap cukup
sebagai tabungan untuk membeli surga sesungguhnya tak pernah ada, dan
aku semakin heran padamu. Aneh sekali pikiranmu.
Setiap hari kita membaca kitab kita, Al-Qur’an, tapi
mungkin kita menganggap sepele ayat-ayatNya yang melarang kita merusak bumi.
Bahkan kita mungkin lupa bahwa kita seringkali diingatkan agar tak boleh
melampaui batas dalam bertindak, sebab itu perbuatan yang sia-sia. Kau pikir
Tuhan suka kita menentang secuil saja FirmanNya? Bukankah kita tahu kedudukan semua ayat dalam kitab kita itu sama,
sejajar? Lantas mengapa kita tak sadar,
tak belajar. Aku telah belajar dari tubuhku ini, tubuh yang hampir kehilangan
jiwanya. Belajarlah dariku, sahabat. Sungguh sangat tak nyaman menghadapi
kematian dengan tubuh yang rusak bukan karena berjihad, dan Kau ingin mengubahku. Janganlah kita binasa karena hal-hal
sepele, katamu lagi.
Hari ini, hujan kembali reda dan Kau menjauhi jendela,
menujuku. Kau duduk di kursi di samping kanan tubuhku yang hanya bisa
berbaring. Sahabat, lihat, kotamu nyaris hancur. Jantung, paru-paru,
hati, ginjal, rahim, mata, usus, darah…ah…apa yang selama ini Kau makan
sampai-sampai kotamu rusak semacam ini? Kau meneteskan air mata. Lihat
aku, Kau menatap mataku. Aku masih semuda dulu, padahal kita
sama-sama 73, kita telah bersuami sejak lama, punya banyak anak dan lebih
banyak lagi cucu. Suamiku masih tetap semuda dulu seandainya saja dia masih
hidup, dia akan datang bersamaku kesini. Dia meninggalkanku bukan karena kota
tubuhnya sakit, tapi karena takdir yang mengejarnya, Kau tahu kan kalau
lelakiku yang bukan perokok itu meninggal dalam kecelakaan pesawat? Dan
Kau tersedu. Kau pasti rindu pada lelakimu yang sederhana dan penyuka alam
itu.
Lalu Kau bercerita padaku tentang banyak hal sejak
pertemuan pertama kita di kampus hijau, sebagai sesama mahasiswa baru yang
kampungan. Kau bercerita tentang masa-masa yang sudah enyah dari kepalaku.
Ingatanku memang payah, pikun akut. Tentang hobi kita membeli jilbab pada akhir
bulan dan cerita tentang lelaki impian. Juga tentang masa-masa sepanjang lima
puluh tahun yang samar-samar masih berkerak dalam kepalaku, tentang hari
pernikahan kita masing-masing, keluhan demi keluhan pada kehamilan pertama
kita, tentang sakitnya melahirkan, tentang cara jitu memikat suami agar tak
pernah berpikir untuk melirik perempuan lain, tentang resep masakan, tentang
pekerjaan, tentang politik, tentang sepuluh cara terbaik menyeleksi calon menantu,
tentang cucu-cucu yang menjadi ’warning’ bahwa Kau dan Aku telah menjadi tua.
Meski Kau tidak tua.
Kau juga bercerita tentang perjalananmu keliling
Indonesia dan dunia, dan perjalanan itu hampir selesai. Katamu, kota
tubuh itu memang diciptakan bukan untuk sia-sia. Keajaiban penciptaan ini
adalah sebagai tanda-tanda kekuasaanNya. Dan mungkin, Tuhan akan memberiku umur
seratus tiga belas tahun sebagaimana yang telah kuminta. Dalam rencanaku, pada
umur tersebut aku telah berhasil menggenapkan petualanganku dan membuktikan
pada dunia bahwa aku telah mengelola kota tubuhku dengan baik hingga Aku
diberiNya umur panjang.
Lihatlah rembulan itu, tunjukmu ke ujung jendela. Ya, kulihat ada rembulan yang bersekutu
dengan malam. Nanti, diujung malam, kita akan mendapatinya sebagai
rembulan tua, tapi, esok, saat malam masih belia dia akan datang sebagai
rembulan belia yang cantik jelita. Itulah aturan alam, betapapun tuanya usia
rembulan, dia selalu tampak muda, sebab dia tahu cara menggunakan cahaya
matahari yang memantul di tubuhnya, dan Kau mengenggam tanganku erat,
tanganmu yang muda dan penuh semangat. Aku yang akan menemanimu malam
ini, hingga esok, hingga Kau sembuh, katamu berbisik lembut
ditelingaku yang berdengung-dengung.
Tidurlah, dan aku akan bercerita tentang bayak hal yang
belum Kau dengar, atau mungkin Kau lupa, maksudku, tak sengaja Kau lupakan.
Berjalanlah ke ruang mimpi dan temukan kebahagiaan, lupakan anak atau cucumu
yang enggan merawatmu di rumah. Aku disini, memperbaiki kotamu dan esok Kau akan
bangun dengan tubuh yang sehat dan kita akan berjalan-jalan di jalanan kampus
hijau seperti dulu, saat pertama kali kita bertemu sebagai mahasiswa baru yang
kampungan. Tidur, tidurlah dan aku akan menjagamu, suaramu lembut dan Aku memang menuju sebuah pintu penuh cahaya, mungkin
alam mimpi.
Ingatkah kau pada Pompeii, juga kota-kota indah yang
hancur dimasa emas sebelum menemui kemurnian senjanya, lamat-lamat kudengar suaramu menjauh, jauh, sangat jauh.
***
Gerimis. Rani berjalan anggun meninggalkan tanah
pemakaman yang basah. Makam sahabatnya yang selama empat puluh tahun, selalu
dikunjunginya setiap kali menjelang pergantian tahun Islam. Payungnya basah dan
roknya basah, seakan-akan hujan tak saja datang dari langit, pun menyembul dari
rerumputan dan butir-butir tanah, dan dari bebatuan. Batu-batu pun menangis.
Sahabatnya pergi menuju pintu penuh cahaya pada malam dengan rembulan tua
diujung jendela dan saat ia bercerita tentang perjalanannya ke kota Venice,
pada usia 73.
Ia kini sendiri dalam seratus tiga belas tahun usia yang pernah
dimintanya. Sahabat-sahabatnya, orang-orang yang dulu dikenalnya sebagai rekan
kerja atau rekan bisnis atau sekadar rekan diskusi ringan, semuanya, telah
mendahuluinya pulang, kembali pada tanah. Yang tersisa hanya dirinya dan
manusia-manusia baru yang akan menjadi pemilik bumi yang rapuh. Oh,
beginilah rasanya menjadi tua dan berumur panjang, ucapnya
lirih.
Rani menatap sebuah mobil hitam di ujung jalan, putra
sulung dari putra kelimanya yang telah menikah tengah menunggunya, pulang ke
rumah, bersama istrinya dan bayi mungil mereka yang lucu. Rani berjalan cepat
dan ingin segera pulang. Ia ingin pergi ke pintu penuh cahaya dalam keadaan
tidur lelap dan jiwa yang sehat. Rani ingin meninggalkan jasad yang muda dan
segar bugar, sebagai tanda jihadnya dijalan Tuhan.
Ditulis di:
- Tupai-Bandar
Lampung, 14 September 2009
- Sumberjaya-Lampung
Barat, 19 September 2009.
Direvisi di Jakarta,
29 Oktober 2011
No comments:
Post a Comment