Buku
setebal nyaris 1000 halaman ini menciptakan pertanyaan tak berkesudahan dalam
benakku manakala melihatnya dipajang di sebuah toko buku kecil langganan sejak
aku kuliah di UI, Cak Tarno Book Shop. Apa yang dituangkan penulis dalam buku
setebal batu bata tersebut? judulnya "Masyarakat Terbuka dan
Musuh-musuhnya" memikatku. Buku pajangan itupun berpindah ke
mejaku dan menanti untuk kubaca.
Buku ini pertama kali terbit di New Jersey tahun 1950 dan di Indonesia untuk pertama kali diterbitkan tahun berapa ya? buku yang kubeli dicetak pertama kali di Indonesia tahun 2002 ( 52 tahun ??????) setelah diterjemahkan tentunya. Alamak, jauh pisan....
Siapa Popper? silakan baca Lebih Dekat dengan Karl Popper.
Membaca bukunya yang tebal itu bagiku membutuhkan waktu yang cukup sehingga
sebelum menikmatinya, aku mencari beberapa resensi dan pandangan mengenai
Popper dan buku terkenalnya tersebut. Sebuah ulasan menarik ditulis oleh
Karlina Supeli, seorang pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara Jakarta,
yang sepenuhnya dapat dibaca DISINI.
Dalam ulasan
panjangnya, Karlina terlebih dahulu memaparkan tentang awal mula munculnya
istilah masyarakat terbuka dan tertutup melalui buku Henri Bergson, 'Two Sources of Morality' yang
mempertanyakan kepatuhan manusia kepada manusia lainnya. Bergson mengkritik
moralitas yang dianggapnya sebagai 'kepatuhan yang diatur' sehingga kemudian
manusia hanya berputar-putar dalam kehidupan sosial sempit keluarga-ku,
suku-ku, komunitas-ku, agama-ku dan tidak membuka diri dalam moralitas
universal sehingga ia menganggap bahwa masyarakat terbuka merupakan kondisi
yang sedang menunggu untuk dijelmakan.
Popper
membantah bahwa masyarakat terbuka sebagai perkembangan singkat dengan sebuah
lompatan tertentu dari masyarakat tertutup, melainkan sebuah proses panjang
yang dijalani manusia melalui sikap rasional. Masyarakat terbuka lahir dari
pemikiran-pemikiran terbuka anggotanya yang tak anti kritik dan senantiasa
menjadikan ide-ide dan pandangan anggotanya sebagai esensi dari perbedaan,
sehingga tak harus dihalang-halangi atau pun ditolak.
Masyarakat terbuka tidak
memerlukan penyeragaman ide, melainkan membangun identitas dari beragam ide dan
pandangan sebab penyeragaman akan menciptakan masyarakat statis, bukan yang
dinamis. Sikap otoriter dan memusuhi ide dan pandangan yang berbeda merupakan
musuh 'masyarakat terbuka'. Kasdin Sitohang, pengajar di Universitas Atma Jaya,
Jakarta merangkum pemikiran Popper dalam empat butir minimal karakter
masyarakat terbuka (bisa dibaca disini).
Pertama, masyarakat terbuka adalah
masyarakat yang mengakui hak semua orang dan didalamnya tidak ada demarkasi
antara mayoritas dan minoritas sebab semua orang memiliki kesempatan yang sama
untuk mewujudkan ide-idenya. Kedua, setiap anggota masyarakat harus
tulus mengakui dan menerima perbedaan sebab ia sendiri merupakan bagian
integral dalam masyarakat. Pengakuan atas perbedaan adalah sebuah
keharusan. Ketiga, masyarakat harus memiliki kedewasaan berfikir
sehingga ia dapat menghargai perbedaan ide dan pendapat sehingga ia tidak
merasa risih dan terganggu oleh perbedaan. Keempat, sebuah
masyarakat terbuka haruslah memiliki pemimpin efektif sehingga kekuatannya
dapat menghalau musuh-musuhnya.
Dalam konteks Indonesia dan dinamikanya,
Karlina memiliki beberapa pandangan. Pertama, bahwa masyarakat
terbuka hanya dapat bekerja pada masyarakat dengan tatanan politik terbuka, dan
sulit dijadikan dasar pembentukan awal masyarakat terbuka. Kedua,
konsep masyarakat terbuka Popper merupakan metodologi pemecahan masalah dan
bukan resep untuk memulai membangun masyarakat terbuka melalui evaluasi standar
etis yang tengah berlaku.
Ketiga, masyarakat terbuka tidak bisa
dimulai dengan reformasi institusi dan birokrasi tanpa perubahan di pemikiran,
cara pandang dan tingkah laku masyarakat serta perubahan kebiasaan-kebiasaan
sosial masyarakat. Keempat, masyarakat terbuka merupakan masyarakat
ideal yang dianggap utopis sehingga Popper menganjurkan agar masyarakat realistis
atas realitas yang mereka jalani dan hadapi dan tidak menganggap enteng setiap
masalah. Kelima, bahwa manusia seringkali melakukan kesalahan atas
apa yang mereka upayakan dengan jerih payah, dan bahwa manusia harus mengakui
bahwa ada hal-hal yang tak teramalkan tentang masa depan manusia.
Popper
melalui bukunya yang terkenal berjasa pada dunia dalam menyempurnakan
metodologi ilmiah yang kita kenal saat ini. Popper berpendapat bahwa kebenaran
dapat dicapai melalui testabilitas sehingga dapat
terbukti benar atau salah, jika benar maka dipertahankan dan jika salah maka
gugur (baca disini).
Apa yang salah
harus diperbaiki. Popper juga berpendapat bahwa ilmu pengetahuan tidaklah
mutlak atau saklek hingga dalam proses evolusi pengetahuan apa yang dulu
dianggap benar bisa jadi salah dimasa kini setelah melalui serangkaian
testabilitas dan menemukan bukti baru yang bertentangan. Segala hal memerlukan
pengujian, termasuk masyarakat dan interaksi sosial didalamnya, bisnis,
pendidikan, dan sebagainya. Melalui serangkaian ujian kita akan tahu dimana
letak kesalahan lalu memperbaiki diri untuk menjadi masyarakat yang lebih baik
dan sempurna.
Kalau mau lebih detail lagi, silakan baca"Kilasan Kritik terhadap Popper
dan Ilmu Murni' dan "Paradigma Ilmu Thomas Khun dan Karl Popper".
Sumpe deh, belum baca bukunya udah pening tujuh keliling.....
Depok, 19 Oktober 2011
No comments:
Post a Comment