![]() |
Lukisan Ronggeng zaman dulu. |
Selama
dua hari dua malam aku berhasil menuntaskan trilogi ‘Ronggeng Dukuh Paruk’
punya Ahmad Tohari. Sebenarnya telah lama aku mendengar roman itu namun entah
mengapa baru kali ini aku berkesempatan membacanya, setelah berhasil mengunggah
ketiganya dalam versi e-book dari internet beberapa hari lalu. Si penulis, yang
cerdas, menyajikan kisahnya begitu sederhana, dengan bahasa-bahasa ndeso yang
menggelitik urat syarafku untuk sesekali tertawa atau tertegun. Cara
bertuturnya begitu jujur dan tidak terikat oleh pakem ‘bahasa unggul’ dalam
tata aturan dunia sastra.
Ibaratnya kalau makan singkong ya direbus pun bisa, nggak usah manja seperti
orang kota yang makan singkong saja harus keren, pakai parutan keju dan dimakan
menggunakan garpu. Tidak pula puitis seperti puisi-puisi yang penuh bunga-bunga
yang cenderung hiperbolis namun miskin makna. Ah, aku suka karya ini. Meski,
aku menilai, bahwa pak Tohari ini tak berani mengungkapkan ‘hal-hal tertentu’
karena mungkin khawatir terhadap pemberangusan karya sastra ataupun dirinya
sendiri di zamannya. Dari semua itu, sungguh, aku menyukai karyanya.
Sosok yang paling menggugah adalah Srintil. Dia adalah bunga, fokus sekaligus
ironi dalam kisah ini. Srintil tak saja mewakili citra perempuan sebagai
bintang karena kecantikan, kemolekan dan keperempuanannya yang sanggup
meluluhkan dunia. Juga mewakili perempuan sebagai manusia yang penuh ironi dan
paradoks. Sebagai pembaca, imajinasiku tak sanggup membayangkan meski sekedar
wajah Srintil. Yang terbayang hanyalah latar dimana kisah ini dijalin, sebuah
dusun bernama Dukuh Paruk di suatu tempat di Pulau Jawa, yang serba terbelakang,
terpinggirkan bahkan dari hukum alam.
![]() |
Potret Ronggeng tahun 1990an |
Latar kisah ini bagiku tak ubahnya sebagai citra bagi tempat-tempat paling
terpencil, terbuang, tak tersentuh, tak bercahaya diwaktu malam, dimamah
sejarah tanpa jejak dan tak ada wujudnya di peta negara ini. Kisah seperti ini
mungkin masih ada di suatu tempat asing yang tak tersentuh pembangunan, atau
sengaja diasingkan, dimana tubuh perempuan selalu membuat lelaki terkesiap dan
jiwanya lumpuh seketika. Dimana perempuan dipuja-puja karena tubuhnya sekaligus
dihina-dina karena dianggap murahan. Tubuh perempuan dijilat, dicium dan dipeluk saat sang lelaki kasmaran; dan tubuh perempuan yang sama akan dinistakan bagai binatang dan dianggap murahan saat si lelaki memakai topeng kesucian.
Kisah
ini bermula saat lelaki tua bernama Sakarya menyaksikan bahwa cucu semata
wayangnya, Srintil, menari selayaknya ronggeng padahal tak pernah ada yang
mengajarinya, dengan diiringi tabuhan mulut ketiga temannya dibawah pohon
nangka di suatu siang di musim kemarau tahun 1957. Sakarya yakin bahwa indang
ronggeng telah bersemayam dalam jiwa raga Srintil. Ia memahami bahwa
cucunya yang telah menjadi yatim piatu sejak kedua orangtuanya meninggal karena
keracunan tempe bongkrek tahun 1949 itu memiliki kelebihan. Lantas Sakarya membicarakan perihal cucunya kepada suami-istri Kartareja, dukun
ronggeng berpengalaman, untuk mengasuh Srintil dan menjadikannya ronggeng
tenar. Sebagai tetua Dukuh Paruk, Sakarya merasa berbesar hati bisa
menghidupkan kelesuan pedukuhan jika ronggeng kembali digelar setelah
bertahun-tahun lamanya Dukuh Paruk terasa mati tanpa ronggeng dan calung.
Meski
usianya baru 11 tahun, pasangan Kartareja meyakini bahwa Srintil memiliki
segala pesona dan kemampuan seorang ronggeng. Pasangan itu pun berbagi tugas,
dimana Nyi Kartareja mendidik Srintil termasuk memasang susuk pekasih agar
Srintil tampak semakin cantik dan laris, juga mengajarkannya bersikap layaknya
ronggeng. Sementara Ki Kartareja mengumpulkan kembali para penabuh calung dan
peralatan lain yang selama ini hanya tersimpan di para. Tak lama, warga Dukuh
Paruk yang sesungguhnya masih saling berkerabat melakukan upacara untuk
mengukuhkan Srintil sebagai ronggeng.
Srintil diarak menuju makam leluhur mereka Ki Secamenggala dan dimandikan
dengan air kembang tujuh rupa dan menari khusus untuk meminta restu leluhurnya.
Serta merta para perempuan terpikat pada Srintil dan mereka gemas sehingga
mereka rela melayani Srintil bak sekumpulan dayang melayani seorang Tuan Putri nan jelita. Secara rutin para perempuan
itu bergantian memandikan Srintil, memberinya hadiah dan mereka senang jika
suami mereka menari bersama Srintil di pertunjukan ronggeng. Bagi seorang
istri di Dukuh Paruk, jika suaminya bertayub dengan ronggeng menandakan bahwa suaminya jantan
dan memiliki uang sehingga bisa dianggap meningkatkan derajatnya di hadapan
perempuan lain. Bayangkan, di Dukuh Paruk yang miskin dna jauh dari peradaban itu, seorang perempuan bisa menyombongkan pengalaman suaminya tidur dengan seorang ronggeng!
Selanjutnya
Srintil harus menjalani malam Bukak-Klambu, yaitu malam penyerahan
keperawanannya kepada lelaki yang bisa membayarnya paling mahal. Ritual
Bukak-Klambu membuat warga Dukuh Paruk riuh mengira-ngira siapa kiranya lelaki
kaya yang mampu memenangkan sayembara merusak virginitas Srintil yang masih
bocah dan belum mengerti apa-apa. Namun Srintil paham bahwa dirinya merasa
ngeri menghadapi ritual itu, dan tahu bahwa ada seorang perjaka kecil yaitu
Rasus yang sangat tidak suka Srintil menjadi ronggeng dan harus diperlakukan
selayaknya barang dagangan.
Bagi Rasus, ritual itu tak ubahnya pengesahan bagi praktek perzinahan yang
kelak dijalani Srintil sebagai ronggeng. Diam-diam setiap malam Rasus mengintai
kediaman Ki Kartareja untuk memastikan perkembangan Srintil. Dia merasa marah
atas semua itu dan merasa dirinya tak berguna karena ditakdirkan miskin
sehingga tak bisa menyelamatkan Srintil dengan uang yang disyaratkan dalam
sayembara. Srintil memahami semua itu dengan pikiran sederhananya.
Maka pada suatu sore saat mereka bertemu secara tak sengaja di lokasi
pemakaman, Srintil mengatakan bahwa dia akan menyerahkan keperawanannya kepada
Rasus secara sukarela, namun Rasus menolaknya. Pada malam dimana pemenang
Sayembara yang merupakan orang desa yang jauh akan melaksanakan haknya
mempersunting Srintil, dimana tengah terjadi tawar menawar dengan mucikarinya,
gadis itu mengendap ke belakang rumah karena takut dan cemas. Saat itu Rasus menghampiri Srintil untuk memberinya perlindungan dan sekedar
menanyakan kondisinya, karena sesungguhnya Rasus begitu cemas. Tak disangka
Srintil justru menelanjangi dirinya sendiri dan menyerahkan keperawanannya
kepada Rasus, sebelum ia masuk ke dalam kamarnya untuk ditiduri lelaki pemenang
sayembara.
Srintil menjadi terkenal tidak saja di Dukuh Paruk, juga orang-orang se-kecamatan
Dawuan mengenalnya, terutama kaum lelaki yang ingin menari dan tidur dengannya.
Dari upah dan hadiah yang diterimanya, ia menjelma ronggeng kaya raya untuk
ukuran orang-orang Dawuan. Setiap kali ke pasar Dawuan, ia selalu mendapatkan
hadiah dari para pedagang perempuan yang memujanya entah sayuran, buah, bedak hingga kain. Sementara para lelaki yang
tidak punya uang hanya mampu gigit jari dan memandangnya penuh nafsu.
Rasus yang sesungguhnya mencari sosok Emaknya dari diri Srintil kian
menyadari bahwa Srintil bangga sebagai ronggeng dan Rasus memilih untuk
menjalani hidupnya sendiri. Rasus yang kemudian bekerja di pasar hanya bisa
memandangi Srintil, dan tak bisa melakukan apa-apa saat suatu hari mereka
bertemu Srintil bicara tentang perkawinan dan bayi. Mereka berdua sama-sama
tahu bahwa karir Srintil sebagai ronggeng akan hancur jika ia memilih menikah. Srintil sangat menginginkan seorang bayi mungil. Ia ingin menjadi Ibu. Hanya dengan menjadi Ibu, ia akan menghentikan kehinaan sebagai ronggeng.
Tahun
1960, setelah dua tahun tak pulang ke Dukuh Paruk, nasib kemudian mengubah
Rasus menjadi tentara setelah secara kebetulan ia membantu para tentara membuat
markas di Dawuan seiring maraknya perampokan. Mulanya Rasus hanya diangkat
sebagai tobang yang diperbantukan di dapur, belanja bahan makanan, mencuci
pakaian tentara dan angkut-angkut barang. Namun, karena jasanya membunuh
perampok yang menyambangi Dukuh Paruk maka sersan Slamet berjanji pada Dukuh
Paruk akan menjadikan Rasus tentara. Saat itu, Rasus mendapat pujian berlebihan dari Dukuh Paruk, termasuk Srintil
yang menyediakan diri sebagai istri yang tak saja memanjakan Rasus, juga
melayani Rasus dan neneknya dengan makanan mewah untuk ukuran Dukuh Paruk.
Karena tahu Rasus akan menjalani pendidikan sebagai calon tentara, masyarakat
Dukuh Paruk berjanji akan memenuhi segala kebutuhan nenek Rasus yang telah
renta dan tinggal sendiri di gubuknya.
Srintil
yang awalnya merasa bangga menjadi ronggeng dan menjadi kebanggan Dukuh Paruk
tiba-tiba berubah pikiran. Srintil ingin menikah dengan Rasus dan ia merasa tak
perlu lagi menjadi ronggeng. Rasus merasa senang sekaligus kecewa. Srintil
telah menjadi ronggeng kebangaan Dukuh Paruk dan Rasus tak mungkin mengubah
kenyataan itu. Rasus memilih pergi tanpa memberikan kabar apapun para Srintil dan menjalani
pendidikan sebagai tentara. Saat tahu bahwa Rasus meninggalkannya tanpa pesan
dan mengubah niat baiknya untuk meninggalkan dunia ronggeng, Srintil berjanji
bahwa ia akan menjadi ronggeng terkenal sehingga Rasus kelak akan menyadari
kekeliruannya karena telah menolaknya menjadikannya istri.
Jakarta, 22 Juli 2011
Sumber gambar:
http://kathleenazali.c2o-library.net/2012/02/ronggeng-dukuh-paruk-seksualitas-penghayatan-sang-penari/
http://agusmlyna.blogspot.com/2015/01/v-behaviorurldefaultvmlo.html
No comments:
Post a Comment