![]() |
Source: bibliojunkie |
Saat hendak membeli buku ini di Gramedia Lampung, tahun 2009 aku menemukan buku ini, aku mencoba menebak kisah apa yang hendak diceritakan penulisnya. Kehadiran buku ini, terutama di Arab Saudi, layaknya sebuah pemberontakan. Ya, pemberontakan perempuan atas dominasi laki-laki yang mengkambing hitamkan agama untuk mendukung perilaku bengis mereka. Buku ini dilarang dijual di Arab Saudi, namun laku keras di pasar-pasar gelap dan semakin cemerlang di seluruh dunia. Bagaimanapun, buku ini menarik.
Embrio buku ini
adalah email-email mingguan yang dikirim si penulis pada sebuah milis selama
satu tahun. Si penulis, yang awalnya merahasiakan diri (Rajaa Alsanea) memposting
cerita teranyarnya tentang 4 sahabatnya: Qamrah, Lumeis, Michelle, dan Sadim,
setiap hari Jum'at. Postingan-postingan yang mendapat pro kontra itu semakin
menyita perhatian masyarakat Arab sehingga banyak diantara mereka yang
mengapresiasi keberaniannya mendobrak tradisi.
Namun, anggota milis tersebut
semakin hari semakin bertambah banyak. Rajaa Alsanesa, seorang dokter gigi,
hanya berharap bahwa kisah yang diceritakannya mampu memberikan sumbangsih bagi
upaya pembebasan perempuan Arab. Karena itulah, ia merasa senang bahwa di
hampir semua tempat di Arab terutama di kampus-kampus dan kantor pemerintahan,
orang-orang membicarakan kisah-kisah yang dituturkannya dengan berbagai sudut
pandang.
Kisah dalam buku
ini, nyaris sama dengan kisah perempuan Arab dalam beberapa buku yang pernah
kubaca, termasuk buku yang ditulis oleh perempuan bangsawan atau anggota
kerajaan Saudi. Namun, kisah dalam buku ini ditulis secara apik dan apa adanya
mengenai kehidupan, keinginan, pemberontakan dan takdir 4 sahabat.
Diawali kisah pernikahan Qamrah dengan seorang pemuda
yang dijodohkan keluarganya namun sama sekali tak mencintainya yang kemudian
menceraikannya karena ia memilih hidup dengan perempuan Jepang yang selama
tinggal di Amerika telah banyak menolongnya; kenekatan Sedim untuk memberikan
keperawanannya kepada calon suaminya sebelum hari pernikahan mereka, hingga
lelaki itu meninggalkannya dan mempertemukan Sedim dengan lelaki yang sangat
dicintainya (seorang pejabat) yang juga meninggalkannya untuk menikah dengan
perempuan pilihan keluarganya; kebencian Michelle pada kekasihnya yang tak
berani menolak perjodohan dan melupakan janji cintanya untuk perempuan yang
jauh lebih jelek darinya, kritik- kritiknya pada budaya Arab yang memenjara
perempuan; hingga kisah cinta Lumeis yang sempurna.
Dalam kisah ini
diketahui banyak fakta yang sungguh mengejutkan, dimana perilaku bangsawan
Saudi dan juga para orang kaya yang gaya hidupnya jauh dari tuntunan Islam.
Kebanyakan mereka justru lebih menjunjung tradisi Arab yang dibingkai Islam,
seakan-akan mereka adalah Muslim yang baik, sehingga penerapan Islam menjadi
kacau, buruk, mengungkung, dan maskulin. Dimana sebuah keluarga lebih suka
membunuh anak perempuan mereka demi kehormatan keluarga, atau menjual anak
perempuan mereka sebagai pengantin pada pria-pria kaya namun kejam. Mereka
memberlakukan hukum Islam pada perempuan dengan membabi buta, dan seakan-akan
dalam pandangan mereka perempuan selalu salah, perempuan sebagai harta sehingga
harus dibungkus dalam pakaian hitam yang panas.
Kisah-kisah serupa
yang dituturkan dengan cara berbeda, terserak di pasaran, di seluruh dunia.
Bagi kalangan konservatif, terutama mereka yang mengaku agamis dan suka
menghukum, kehadiran buku-buku tersebut ibarat cambuk. Menurutku, buku ini
memberikan pencerahan pada dunia dan bukan menjelekkan Islam. Buku-buku
semacam The Girls of Riyadh sesungguhnya merupakan refleksi
bagi bangsa Arab dan umat Islam untuk mengoreksi diri agar tidak pernah
mengkambing hitamkan Islam untuk kepentingan pribadi, keluarga atau kelompok.
Buku ini juga
memberikan gambaran cukup detail mengenai sebagian penerapan hukum secara
ketat, yang banyak orang menyebutnya 'penerapan hukum Islam secara ketat'.
Menurutku, semua itu bukanlah penerapan hukum Islam, namun lebih kepada ego
budaya berbasis dominasi laki-laki, yang kebetulan saja mereka beragama Islam.
Bukankah sebelumnya Arab bukan Islam? Islam tidak menghukum perempuan
sedemikian rupa dan Islam tidak memerintahkan perempuan membungkus diri mereka
dengan pakaian hitam nan panas, dan Islam tidak melarang perempuan berperan
dalam kehidupan. Islam justru memuliakan perempuan bahkan memberikan
penghormatan sangat besar.
Namun, kemuliaan itu tak akan pernah nampak jika dengan sengaja manusia (dan Muslim sendiri) menguburnya dengan ego budaya.
Namun, kemuliaan itu tak akan pernah nampak jika dengan sengaja manusia (dan Muslim sendiri) menguburnya dengan ego budaya.
Thanks to Rajaa
Alsanea...
Jakarta, 14 Mei
2011.
No comments:
Post a Comment