![]() |
Ilustrasi Dewi |
Beratnya hidup di Jakarta membuat sebagian
orang mengeluh sepanjang waktu. Cuaca ekstrem menyebabkan suasana Jakarta
berubah tiba-tiba. Hujan-panas-lembab-hujan-dst. Kemarin, 25/10/2010, 17.30 wib
s/d 18.15 wib aku mematung di jembatan penyebrangan di depan kampus UI Salemba.
Hujan yang tak juga berhenti menyebabkan saluran air tak mampu menampung
tumpahan air dari langit. Air menggenai beberapa bagian jalan raya. Ups! banjir
di depan kampus UI. Kampus yang menyatakan dirinya sebagai yang terbaik di
Indonesia. Ironis.
Banjir yang cukup menganggu membuat jalanan
sesak oleh antrian kendaraan. Ini Jakarta. Tak terbayangkan jika Jakarta berada
di Eropa.
Berjalan di dalam hujan, saat merenungi
betapa hujan tak mampu membasahi hati, saat melihat sungai yang menghanyutkan
semua sampah, saat melihat anak-anak yang menyewakan payung, saat melihat
pemuda-pemuda yang kongkow-kongkow di warteg sembari menikmati segelas kopi
& sebatang rokok, saat melihat sinar mata yang menyedihkan seorang penjual
es, saat melihat kelebatan tikus-tikus yang mencari perlindungan dari genangan
air, saat menahan ngilu di tulang belulang & saat menunggu
langkah-langkahku yang semakin mendekati rumah; sungguh, aku teringat seorang
kawan lama. Namanya Dewi.
Pertama kali aku bertemu Dewi saat ospek
penerimaan siswa baru SMU N1 Sumberjaya-Lampung Barat tahun 2000. Dewi lulusan
SMP 1 Tribudisukur, desa yang belum pernah kukunjungi hingga saat ini, sejak
diterima di SMU dia tinggal di pesantren MH 407, anak pertama dari 3
bersaudara, murah senyum, pandai mengaji dan kaligrafi Arabnya bagus banget,
bersahabat baik dengan Lisma, baik hati, sederhana, & murah senyum. Hal
lain yang aku tahu tentang dewi adalah neneknya sangat menyayanginya dan dalam
3 tahun aku sempat bertemu dengannya dalam beberapa kesempatan, di sekolah.
Di sekolah, Dewi seringkali terlihat
mengantuk dan kurang konsentrasi belajar. Ternyata, pilihan Dewi untuk sekolah
sembari nyantri di Pesantren bukan pilihan yang mudah. Beban belajar yang
sangat berat membuat Dewi hanya memiliki sedikit waktu untuk istirahat. Bahkan
dia tak sempat mengikuti satupun kegiatan ekstrakulikuler di sekolah. Dari Dewi
aku belajar, bahwa tak semua siswa yang mengambil keputusan sekolah sembari
nyantri sukses menjalani keduanya. Dari Dewi juga aku belajar memahami maksud
keluargaku saat mereka melarangku untuk sekolah sambil nyantri. Setiap orang
hanya dapat melakukan sesuatu yang sesuai dengan kemampuannya.
Saat kelas 2, meski masih berbeda kelas,
aku, Dewi, Lisma dan beberapa kawan mulai akrab dan menjalin persahabatan.
Persahabatan kami semakin erat setelah kami sering berdiskusi mengenai cara
mewujudkan keinginan kami untuk membuat ekstrakulikuler baru, yaitu Rohani
Islam (ROHIS). Saat jam sekolah usai kami sering berdiskusi, sesekali ditemani
aktivis mahasiswa dari Universitas Lampung yang sedang berkegiatan di kecamatan
Sumberjaya dan kecamatan Way Tenong.
Dari kedekatan inilah aku tahu hal lain
tentang Dewi. Dewi terlahir sebagai sulung dari 3 bersaudara. Saat usianya baru
5 tahun, ayahnya pergi meninggalkan keluarganya dan tak pernah kembali. Saat
SMP, ibunya menjadi TKI di Taiwan, dan Dewi serta 2 adiknya tinggal bersama
neneknya. Setelah mengetahui semua itu, aku dan beberapa kawan selalu setia
menemani Dewi menunggu surat yang dikirimkan ibunya dari Taiwan. Aku belajar
satu hal terbaik dari Dewi: kesulitan hidup tak harus membuat seorang Muslimah
bersedih dan bermuram durja. Dewi selalu tersenyum, menunjukkan ketabahan.
Keindahan menjadi Muslim adalah: ketika
mendapat kemudahan dia bersyukur, Alloh swt berjanji akan memberikan nikmat
yang berlipat-lipat bagi hamba-hambaNya yang selaau bersyukur, dan ketika
ditimpa kesulitan dia bersabar, Dengan bersabar Alloh berjanji akan akan
memudahkan pertolongan untuk hamba-hambaNya. Bersyukur atau bersabar mendapat pahala
yang luar biasa di sisi Alloh swt.
Suatu hari, kami sudah kelas 3, saat kami
tengah bersantai di beranda Mushola, pak post mengantar sebuah paket untuk
Dewi. Dari ibunya di Taiwan. Surat dan album photo. Kami berkumpul di sekitar
Dewi. Dalam surat itu ibunya menulis bahwa beliau telah menikah dengan
pengusaha asal Taiwan dan telah berpindah agama demi pernikahannya. Dalam album
tersebut kami melihat gambar-gambar pernikahan ibunya di sebuah Gereja. Sontak
kami semua menangis. Dewi pingsan karena tak sanggup menahan kesedihannya.
Dewi telah ditinggalkan oleh ayahnya sejak
masih kecil, lalu ditinggalkan ibunya. Dewi tak lagi bisa berdoa untuk ibunya.
Bagaimanapun perbedaan keyakinan telah membangun benteng tebal yang tak mampu
ditembus pertalian darah. Dua hari lamanya Dewi tak masuk sekolah, untuk
meredakan kesedihannya. Saat masuk sekolah kembali, Dewi tersenyum seperti
biasanya. Senyum yang manis, tenang dan menentramkan. Tak lama kemudian kami
lulus, kami saling mengucapkan selamat. Senyum Dewi begitu manis dan aku
mengenangnya hingga saat ini.
Setiap kali hari Raya Idul Fitri, aku dan
kawan-kawan mengadakan reuni. Hingga 2006 aku tak pernah bertemu kembali dengan
Dewi. Kabar terakhir yang kudengar tahun 2004 Dewi nyantri di pesantren Daarut
Tauhid - Bandung. Dan ajaib, pasca bersilaturahim ke rumah guru-guru, tahun
2006, aku bertemu Dewi. Dewi telah menikah dengan seorang lelaki soleh asal
Bandung. Bertemu dengan Dewi membuatku bagai pohon kering yang disiram air
segar.
Setelah menikah, Dewi tinggal di Bandung dan mengelola sebuah bisnis
keluarga bersama suaminya. Dua adiknya tinggal bersama neneknya. Ibunya hanya
beberapa kali pulang dan ayahnya tak pernah pulang. Bertahun-tahun tak bertemu,
Dewi tetap selalu tersenyum manis. Senyum yang tenang dan menentramkan.
Betapapun sulit kehidupan yang dijalaninya, dengan senyum Dewi telah berhasil
menunjukkan dirinya bahwa kesulitan hidup bukan akhir dari segalanya dan tak
harus membuatnya mengeluh sedemikian rupa.
Hari ini, saat aku merasa aku boleh mengeluh
atas apa yang menimpaku, aku teringat Dewi dan merasa begitu tolol jika aku
harus mengeluh, apalagi menjalani hari tanpa senyuman. Aku belajar dari Dewi
untuk menghadapi kesulitan dengan senyuman. Termasuk ketika aku tak tahu
mengapa aku tak bisa konsentrasi belajar meski telah lebih dari sebulan aku
belajar secara intensif. Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan,
sehingga merasa harus mengeluh?
Dewi, aku merindukanmu.
Dalam hal ini aku ingin seperti Dewi,
selalu tersenyum, bagaimanapun kondisi yang dihadapi. Airmata hanya
menjadi rahasia antara aku dan Alloh swt.
Jakarta, 26 Oktober 2010
No comments:
Post a Comment