![]() |
Beauty of Love |
Bulan
ke 8 dalam proses panjang ‘menginginkan’ beasiswa IFP memberiku kado sangat
istimewa. Kado itu berbunyi: “Setelah melalui proses evaluasi yang panjang,
kami sampaikan bahwa saudara terpilih untuk mengikuti tahap wawancara…,” surat
tertanggal 24 April 2010 dari The
Indonesian International Education Foundation itu membuatku
menangis tersedu-sedu. Inilah hadiah terbesar untuk ulang tahunku yang ke 25.
Alloh swt telah mengabulkan do’aku: kabulkanlah jika aku berhak, dan
gantikan dengan yang lebih baik jika aku tidak berhak, amiin.
Tanggal
15 Mei 2010 menjadi hari yang sangat istimewa. Aku menuju Hotel Indrapuri di
Kecamatan Teluk Betung Utara - Kota Bandar Lampung untuk mengikuti proses
wawancara pada pukul 2 siang. Panitia memintaku datang lebih awal dari jadwal
semula untuk efisiensi waktu. It is the show time, it is the show time, kataku
dalam hati. Cuaca yang panas dan lengket tak mengurangi semangatku. Kupikir,
udara dipenuhi dengan putik-putik Dandelion yang tengah menari dan bernyanyi di
sekelilingku, congratulation…
Saat
duduk di kursi tunggu, aku teringat kembali pada hari-hari yang telah kulalui
untuk sampai di titik ini. Aku sadar bahwa kesuksesan memiliki harga hingga
tingkat yang tertinggi. Untuk kesuksesan yang entah kapan akan kuraih, aku
harus membayarnya dengan banyak kehilangan. Aku kehilangan momen untuk
bersama-sama dengan keluargaku, sahabat-sahabatku, cintaku dan calon-pekerjaan
menggiurkan sebagai pegawai Negara. Aku harus menangis sepanjang tahun karena
kesepian dan haus kasih sayang.
Aku begitu peduli dengan masa depanku, pada
puncak-puncak impian yang harus kudaki. Aku tak peduli meski harus menjalaninya
sampai berdarah-darah, sebab konsisten pada tujuan hidup membutuhkan sikap baja
dan pantang menyerah. Aku harus pulang pada keluargaku dengan kesuksesan.
Kesuksesan adalah kehormatan, yang akan menjadi modal penting untuk membangun
kehidupan yang bermafaat bagi sebanyak mungkin manusia.
Saat
menunggu inilah aku merasa kebahagiaan memenuhi jiwaku dan mengalun bersama
aliran darah. I am very happy.
Namaku
disebut, lalu aku masuk ke ruangan 101. Kejutan! Interviewerku
adalah orang-orang penting di Lampung. Kami berkenalan: Pak Ichwanto Nuh
seorang aktivis senior yang telah malang melintang dalam upaya penyelamatan
masyarakat dan wilayah adat, Bu Neti adalah seorang dosen bergelar doktor di
Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan Bu Ari Darmastuti adalah seorang
dosen senior di FISIP Universitas Lampung sekaligus analis politik terkemuka di
Lampung. Berhadapan dengan mereka membuatku gugup. Oh, alasan apa yang
membuatku layak mendaparkan beasiswa ini?
Dari
sekian banyak pertanyaan yang diajukan oleh interviewer, aku sangat
terkesan oleh pertanyaan dari bu Ari Darmastuti. Kata beliau begini: secara
sederhana saya dapat katakan bahwa kamu ini miskin. Penghasilan kamu, lihatlah,
sangat kecil dan kamu melakukan banyak pengorbanan. Bisa kamu jelaskan mengapa
orang miskin sepertimu mau membela orang miskin? Mengapa kamu tidak menjadi PNS
misalnya?
Kukatakan bahwa aku lahir di lingkungan yang membuatku harus
selalu mengisi hari-hari dengan pelajaran-pelajaran sederhana tentang kehidupan
di sekitarku, tentang ketimpangan sosial, kebohongan politik, dan pengkambing
hitaman institusi keagamaan oleh mereka yang haus kekuasaan. Kutegaskan bahwa
kondisi sosial di masa-masa perkembanganku membuatku ingin menjadi orang
berguna bagi sebanyak mungkin manusia.
Secara
sederhana dapat dijelaskan bahwa hanya orang miskin yang mengerti artinya
miskin sebab mereka tahu betapa hebatnya derita menjadi orang miskin. Karena
itulah aku mencoba berdiri diantara peluh orang-orang miskin yang selama ini
dimarjinalkan oleh Negara dan oleh pemerntah daerah. Aku ingin berjuang,
semampuku, untuk membela hak orang-orang miskin sebagaimana aku pernah
merindukan kehadiran seorang pembela orang-orang miskin di masa-masa
pertumbuhanku.
Jika kelak aku dapat melanjutkan pendidikanku ke jenjang yang
lebih tinggi melalui beasiswa IFP, aku berkemungkinan besar bertemu dengan
pembela orang-orang miskin sehingga aku memiliki peluang lebih besar untuk
memperjuangkan hak mereka. Kebahagiaan seperti apakah yang dapat menandingi
kebahagiaanku ketika kelak menyaksikan sebuah perubahan positif dalam
masyarakat, seperti yang dilakukan Muhammad Yunus sang pembela
orang-orang miskin di Bangladesh? Kemudian mereka menjabat tanganku dan
mengucapkan selamat. Pak Ichawanto menutup sesi wawancara, “Sampai bertemu di
Jakarta!” katanya. Hah, aku lulus kah?
This
is a miracle. Sebuah
surat sakti yang dikirim Mbak Nurwening tertanggal 16 Agustus 2010
melalui email sudah kuterima dan kubaca pada 19 Agustus 2010
dengan jantung berdebar kencang. Aku diterima. Ya, selamat bertemu di
Jakarta.
Proses
ke Jakarta bukanlah perkara mudah bagiku. Bukan saja karena aku harus
meninggalkan keluargaku dalam suasana Idul Fitri dan meninggalkan komunitas
perempuan petani yang telah siap menerima pelajaran baru untuk membangun basis
ekonomi kerakyatan, juga karena aku tak punya uang lagi. Hari itu, 19 September
2010, aku telah menyiapkan segala keperluan untuk ke Jakarta. Maklumlah aku
anak kost sehingga kupikir daripada membeli barang-barang baru di Jakarta nanti
lebih baik aku membawa barang-barang yang sudah ada.
Alhasil benda-benda
bernama setrika, pakaian, buku-buku, perlengkapan mandi, aksesoris, ATK, tas,
sepatu dan boneka berjejal di travel bag yang beratnya lebih dari 20 kg.
Semuanya bertujuan untuk menghemat pengeluaran mengingat monthly
allowance yang akan kuterima nampaknya tipis. Aku sadar betul bahwa
pengeluaran perempuan lebih besar daripada laki-laki. Setelah membayar biaya
travel Rp.100.000 untuk mengangkut barang-barangku ke rumah pamanku di Kota
Metro, aku menuju bandara Raden Intan dengan taksi seharga Rp. 100.000. Oh,
uangku kian menipis.
![]() |
Cinta orang baik selalu membahagiakan |
Hm,
kupikir sisa uang di dompetku cukup untuk membayar airport tag,
ongkos bus Damri dari bandara Soekarno Hatta ke Gambir dan dari Gambir ke Pal
Putih, tempat Pre Academic Training (PAT) openingcounter Sriwijaya
Air. “Bagasinya kelebihan 17 kg, Mbak.” Kata petugas penimbangan. Ketika
kulihat timbangan, benar saja bagasiku beratnya mencapai 34 kg.
Gubrakkkk!!! What? Ini musibah namanya. Bagaimana aku bisa
membayar kelebihan bagasi ini sementara uangku nyaris habis?
Lalu seorang
petugas lain mengantarku ke loket pembayaran bagasi, “Lapan puluh
ribu,” kata si petugas sambil menyerahkan bukti pembayaran padaku. Mau tak mau
harus kubayar daripada mereka mambuang barang-barangku. Setelah dipotong
biaya airpot tag, uangku hanya tersisa Rp 15.000. Mau apa aku
dengan uang Rp. 15.000? ongkos bus Damri saja gak cukup. berlangsung dan
membeli makanan ringan. Aku berbaris bersama calon penumpang yang lain di
depan.
Saat
itu aku nyaris saja menangis ditengah kerumunan calon penumpang yang sedang
naik pitam karena pesawat delay 4 jam. Bagaimana ini? Yang
akan kudatangai adalah Jakarta, kota kejam yang memiliki satu milyar perangkap.
Tak mungkin aku akan meminta tolong petugas bandara atau polisi untuk
mengantarku ke lokasi kegiatan hanya dengan menjaminkan KTP. Aku tak tahu
apa-apa tentang Jakarta dan tak bisa kubayangkan aku akan terlantar karena
kehabisan ongkos. Aku akan kelihatan bego kalau sampai datang
pada mereka. Bukannya sampai ke lokasi kegiatan, mungkin aku akan jadi
korban trafficking. Hm, seram.
Befrikir,
berfikir, berfikir.
Aku
menghubungi beberapa orang termasuk kerabatku di Jakarta dan kawan-kawan fellow yang
telah berjanji bertemu di Bandara. “Hari minggu, Ika. Mana bisa aku transfer
uang ke rekaningmu. Pinjam saja dulu sama kawanmu.” Kata sepupuku di Jakarta.
“Setelah kucoba beberapa kali nggak bisa, Ka. Mungkin karena banknya beda.”
Kata kawanku yang berniat menolongku. Ah, bodo amat! Yang penting aku tiba dulu
di Jakarta. Akhirnya setelah 40 menit penerbangan Lampung-Jakarta, aku tiba di
Bandara Soekarno-Hatta sekitar pukul 8 malam. Hm, bagaimana ini?
Aha, Wardah
dan Rafki, fellow dari
Sumatera Selatan dan Sumatera Barat mengabarkan padaku bahwa seorang fellow dari
Sumatera Utara bernama Novita Sianipar baru tiba di bandara. Pertolongan telah
datang. Vita nampaknya terkejut dengan kegilaanku dan nampaknya tak percaya
bahwa uangku hanya tersisa Rp. 15.000. Vita menatapku tak percaya. “Gila kau!”
Katanya. “Tapi, baiklah, kawan. Mari kita berangkat.” Lanjutnya sambil
melangkah naik ke bus Damri. Uh, baru sampai di Jakarta sudah berhutang pada
Vita!
Setelah
tiba di hotel dan bertemu dengan beberapa kawan, mereka tertawa terbahak-bahak
atas peristiwa memalukan yang kualami. Gila! Kamu gila, Ika! Ya, aku memang
gila, kataku. Namun, akan lebih gila jika aku tak berangkat hanya karena
kekurangan uang sebesar Rp. 15.000, padahal aku sudah beli tiket senilai Rp.
270.000 dan menunggu momen ini selama setahun.
Pikiran adalah kenyataan.
Lihatlah hasilnya, siapa sangka bahwa pesawat yang delay, kelebihan bagasi, dan
kekurangan uang membuatku bertemu dengan Vita dan memiliki kisah unik.
Pikiranku telah kubangun dengan keyakinan dan berbaik sangka pada kehendakNya,
maka alam semesta bereaksi dan mewujudkannya untukku. Hutangku Rp. 15.000 pada
Vita kubayar tanggal 20 September 2010. Thanks for IIEF and
for all, tanpa kalian tak akan ada kisah ini.
Jakarta,
12 Desember 2010
No comments:
Post a Comment