Pemandangan di salah satu sudut Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat |
Seharusnya nge-pos tulisan ini kemarin sepulang
dari Kraton. Berhubung badanku remuk karena keliling kesana-kemari nyari batik
yang murah, ya, baru kupos hari ini. Kraton secara keseluruhan sangat sederhana.
Sebagai sebuah kerajaan Kraton nampak tak sebanding dengan kemegahan Istana
negara atau benteng Vredeburg yang letaknya saling berdekatan. Kraton nyaris
seperti lambang kesederhanaan sebuah keluarga pemimpin.
Damai dan tentram |
Tak ada keangkuhan yang dipancarkan setiap
bangunan di Kraton, meski itu misalnya balairung tempat berlangsungnya
acara-acara keluarga raja. Mulai dari bentuk, bahan hingga pewarnaan, semuanya
sederhana. Kesederhanaan ini yang menurutku membuat pengunjung nampak nyaman
dan serasa diemong alam. Kesederhanaan dan ke'diam'an lingkungan yang dapat
diakses umum ini menunjukkan betapa sejak dulu masyarakat Jawa adalah
masyarakat yang sederhana.
Para penari yang dikagumi pengunjung |
Kunjunganku ke Kraton sesungguhnya distimulan oleh kabar bahwa
setiap hari Minggu ada pertunjukan tari-tarian yang dapat diakses umum. Bersama
Asnani, kawanku, kami bertolak dari asrama putri Lampung di Seturan ke Kraton.
Kaena kami adalah warga negara berposisi marjinal, alias nggak punya kendaraan
pribadi, maka kami naik Trans Yogya. Kendaraan umum ini memang nyaman dan
murah, tapi muter-muternya itu loh yang membuat waktuku hambur di perjalanan.
Dari Seturan ke Kraton membutuhkan waktu lebih dari 90 menit plus macet di
Malioboro. Jadi ketinggalan tarian pembuka.
Oh ya, tiket trans Yogya Rp. 3000. Jadi PP Seturan-Kraton Rp.
6000. Lebih murah Rp. 1000 dari Trans Jakarta. Yang berwisata budaya ke Kraton
plus menyaksikan pertunjukan ini bukan hanya warga lokal, melainkan wisatawan
dari berbagai wilayah di Jawa terutama pelajar, dan tentu saja bule. Bule,
beberapa dari Belanda dan Prancis, tampak menikmati tarian dan sesekali
memotretnya. Kupikir, mereka pasti mengagumi kemulusan kulit perempuan
Jawa.
Dan ketika bersantai di 'halaman luar' Kraton aku dan kawanku
sempat berbincang-bincang dengan seorang abdi dalem. Perempuan tua itu telah
ditinggal mati oleh suaminya 4 tahun lalu, dan oleh dua orang putranya, dan
kini dia sendirian. Lalu menggantikkan adiknya, seorang abdi dalem, yang
meninggal dua tahun lalu. Meski tinggal jauh dari Kraton, di Sleman, perempuan
itu senang meski hanya menjadi seorang penyapu sampah di lingkungan Kraton.
Perempuan tua itu hanya takut pada hujan dengan petir yang menggelegar, yang
membuatnya takut tinggal sendirian di rumah.
Dibawah naungan kaca-kaca
imajiner
Keanggunan yang berbalut
kesantunan
Penari-penari itu....
Penari yang gemulai |
Para penari siap memasuki lokasi menari |
Para penari yang bergerak-gerak gemulai dan lambat membuat kami
semua terpesona. Tangan-tangan yang mulus dan lembut menciptakan lakon yang
tengah mereka mainkan. Entah apa yang mereka rasakan ketika menari, namun aku
sempat merekam bagaimana mereka berusaha mereda rasa lelah dengan mengatur
nafas pelan. Ekspresi mereka datar dan wajah mereka yang dipoles sangat cantik
membuat kami seakan- akan dibawa untuk mengunjungi sebuah taman tempat para
puteri bersenda gurau antar sesamanya.
Liukan tubuh mereka di atas lantai yang bening membuat
pertunjukkan bagai dibawa ke Kraton di masa lampau, dimana tak ada kamera yang
dapat mengenang warna kecantikan perempuan Jawa, namun yang menyaksikan
pertunjukan tari ini dengan jelas merekam semua keanggunan dan kecantikan itu
di benak mereka masing-masing. Ada beberapa jenis tarian yang dipertunjukkan.
Aku hanya menyaksikan dua tarian yang dibawakan oleh penari putri dan satu
tarian oleh penari putra.
Aku yang imut |
![]() |
Berpose ala-ala |
Pasar Malioboro Sore
Saanggesna kukurililingan di lingkungan Kraton bari foto-foto
sareng rerencangan, angkat ka beberapa grosiran batik untuk milarian batik nu
murah tapi endah. Hoyong na mah milarian batik nu geulis tina sutra atawa bahan
nao wae nu sae pisan, ciga nu sok dianggean para artis mun ka pesta, tapi da
teu gaduh seer artos. Ke soak deui mun balanja ciga jelema sedeng, meli nu
mahal tapi te boga duit. Ke pas uih ka Jakarta te bisa meli sangu. Kalaparan
ke. Nah, daripada lieur, mending oge neangan batik nu murah meriah bari
jalan-jalan di saputaran Yogya nu unik teu ciga di Jakarta. Kukurilingan bari
huhujanan ciga di pelem India, dianter-anter ku tukang becak.
Tapi da geuning kukurilingan di Yogya mah moal waas ciga di
Jakarta. Yogya mah lingkungan nana teh bersih, eweh selokan jeng runtah di
jalanan oge saetik pisan. Betah da huhujanan oge, teu sien nempo berit kaluar
tina selokan nu jorok. Asa di lembur, padahal yeuh ker di Kota, cekat ka
Kraton.
Setelah
berkeliling di Pasar Beringharjo, dan untuk shalat Ashar di Musholla-nya yang
mungil, kami melihat-lihat pasar 'yang didominasi' batik itu sambil berdecak
kagum. Ini pasar kerakyatan atau dominasi tuan/nyonya pemilik usaha batik?
entahlah, yang tahu ya masyarakat Yogya. Dan Yogya yang hujan tak membuat
lingkungan pasar tradisional ini tak serta-merta kotor dan jorok macam di
Jakarta.
Pasar
Tradisional yang nyaman. Dan buat pengunjung yang ingin membeli batik, namun di
pasar Beringharjo sudah tutup sekitar jam 5 sore, yo belanja aja di pasar
Malioboro sore, pas disamping pasar Beringharjo, (tuh di foto-ku ada
gapuranya). Ah, dimana-mana ada tempat usaha rakyat; sungguh
menyenangkan.
Jakarta, 27 Desember 2010
No comments:
Post a Comment