
Satu kali aku membaca sebuah tulisan di blog seorang blogger Yusran Darmawan berjudul "Malu Aku Jadi Petani Indonesia" yang menceritakan kisah muram kehidupan petani. Padahal bapak bangsa Ir. Soekarno menyatakan dengan tegas bahwa petani adalah tulang punggung bangsa. Dan mirisnya dalam tulisan itu disebutkan bahwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa pada 2019 nanti jumlah petani Indonesia akan berkurang menjadi 34 juta orang (hilang 3 juta orang) dari tahun 2011 yang berjumlah 37 orang. Lho, memangnya kemana mereka? kok bisa hilang sebanyak 3 juta orang? Pasalnya adalah selain karena lahan pertania sudah banyak beralih fungsi kedalam peruntukkan lain, juga karena banyak generasi muda yang ogah jadi petani dengan kehiduapn suram dan banyak yang memilih jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan harapan memiliki kehidupan yang lebih baik.
Memang sih, dikampungku saja kenyataanya demikian dan dimana-mana kenyataannya
demikian. Selain lahan untuk pertanian telah banyak beralih fungsi, banyak
keluarga juga berharap anak-anak mereka tak hidup sengsara sehingga harus
memiliki pekerjaan lain dengan penghasilan menjanjikan. Makanya banyak sarjana,
termasuk lulusan Fakultas Pertanian yang memilih menjadi PNS dibanding pulang
kampung dan membangun pertanian di kampung halamannya (tunjuk diri sendiri yang
belum bisa mengabdi di kampung halaman).
Namun, meski demikian mengerikan nasib petani dan pertanian Indonesia dimasa depan, setidaknya aku membaca harapan yang tumbuh dimana-mana. Kini, kaum terdidik mulai banyak yang kembali menjadi petani cerdas dan mengembangkan pertanian untuk mewujudkan mimpi besar "Kedaulatan Pangan" dimana hal ini dibaca bukan kita memiliki sebuah agroindustri sektor pertanian, melainkan menjadikan petani-petani dengan lahan mereka yang kecil-kecil menghasilkan pasokan pangan dan benih yang mulanya untuk menyelamatkan keluarga sendiri dari kelaparan, kemudian komunitas sekitar kemudian masyarakat nasional yang lebih luas.
Sebut saja seorang ibu bernama Nissa Wargadipura yang tinggal di Garut, Jawa Barat. Bersama suaminya sehari-hari ia mengelola sebuah pesantren bernama Pesantren At-Thariq atau yang lebih dikenal dengan "Pesantren Ekologi Kebon Sawah" yang berlokasi di sebuah hamparan hijau sawah dan kebun-kebun sayuran milik mereka. Bersama suami, anak-anak dan santrinya beliau mengembangkan konsep "Kebun Acak Kadut" alias kebun serba ada dimana mereka menanam banyak sekali tanaman secara tumpang sari antar tanaman satu dan tanaman lain. Jika mereka mau memasak sesuatu tinggal berjalan ke kebun yang berjarak beberapa langkah dari rumah dan petik ini-itu dan jadilah menu sehat bebas pestisida dan bahan kimia.
Jika melihat akun Facebook atau blog mereka, nampaknya hanyalah keceriaan dan kebahagiaan yang tegambar dari keluarga besar pesantren ini. Pemilik dan keluarganya melebur bersama para santri dalam membuat pupuk, menyemai bibir, menanam, memanen, mengolah, memasak, mengemas bibit hingga bermain-main di sekitar pesantren. Hidup yang bebas dan menyenangkan. Seakan-akan mereka berkata "Hey, kamilah para petani makmur dan bahagia" dimana mereka tak pernah merasa terbebani jika harga-harga bahan pangan ujug-ujug naik karena melemahnya Rupiah terhadap Dollar Amerika, atau ketika pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Selagi semua tersedia sejengkal dari rumah, tak ada yang perlu dirisaukan. Bahan pangan sehat dan bergizi tersedia 24 jam.
![]() |
Teh Nissa dan aktivitas di Pesantren (Sumber: Nissa Wargadipura) |
Dr. Vandana juga adalah penerima The Right Livelihood Award atau Penghargaan Nobel Alternatif 1993 atas pemikiran dan kegigihannya membumikan gerakan penyimpanan benih lokal. Ia juga telah membantu sebanyak 54 komunitas di 16 negara bagian di India dalam mendirikan bank benih lokal. Setidaknya sebanyak 500.000 petani telah dilatih mengenai kedaulatan pangan dan pertanian berkelanjutan. Gerakan ini sendiri merupakan gerakan perlawanan terhadap rekayasa genetik yang banyak dikembangkan perusahaan multinasional yang telah lama mengontrol penyebaran dan pengunaan benih di seluruh dunia.
![]() |
Benih hasil kerja keras warga Pesantren (Sumber: Nissa Wargadipura) |
Aktivitas teh Nissa dan keluarga besar pesantrennya kini memberi kita harapan bahwa akan lahir petani-petani muda Indonesia yang cerdas dan akan membela bangsanya dari kehilangan pamor sebagai bangsa agraris. Para lulusan Pesantren Ekologi Kebon Sawah tentu saja merupakan kader-kader penggerak yang akan mengembangkan gerakan membahagiakan ini saat mereka kembali ke kampung mereka masing-masing dan atau ketika mereka kelak menjadi akademisi, aktivis, tokoh bahkan pejabat negara. Mereka yang ditempa oleh pendidikan yang humanis, insya Allah akan menjadi pribadi-pribadi humanis yang tak akan lupa bahwa berdaulat pangan adalah sangat penting untuk stabilitas dan keamanan bangsa.
Kita juga berharap semoga pesantren-pesantren lain di Indonesia akan meniru kiprah Teh Nissa dan keluarga besarnya sehingga kelak petani-petani kita adalah mereka yang memahami esensi menjadi seorang Muslim dan tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi. Mari dukung gerakan ini dengan menyebarluaskan berita tentang mereka, berkunjung ke pesantren mereka dan membeli benih dari mereka untuk kita tanam di pekarangan rumah.
Depok, Agustus 2015
baca tulisan mbk jdi pengen belajar menanam di lahan terbatas dirumah. anak petani yang tidak bisa bertani ya diriku ini. 😢
ReplyDeleteHai mba Tata, makasih udah mampir. Ayo manfaatkan pekarangan untuk menanam bahan pangan bagi keluarga seperti sayuran dna rempah. Asyik loh kalau panen tiba...
Deleteini keren bangettt, salut deh sama orang2 seperti ini
ReplyDeleteHai Mba Tira, makasih udah mampir. Iya keren memang dan inisiatif seperti harus terus digalakkan agar hidup kita jaid lebih baik.
Delete