Ayah, biarkan aku menjadi apapun pada malam
sebab padanya hidup lelaki tua dengan cerutu dan istrinya yang
setia
aku merindui caranya bernafas dan memainkan asap
pada ujung linting tembakau yang menyihir sukma
tentang padaku ia berbagi kisahnya yang ksatria
bagai mengingat Arjuna yang kerap Kau ceritakan
pada malam pada matanya yang tua
pada lipatan-lipatan kulitnya yang tampak tak
berguna;
namun
bagai perbukitan yang berpindah menjadi-nya
Ayah, aku suka caranya menghentak waktu dan menguasainya
seolah, baginya dunia bagai bubur kacang dalam piring kaleng
habis, habis, habis, katanya. Habis tak berantah,
juga tentang rentang waktu dan api yang menyala-nyala
dalam matanya, dalam hatinya, dalam kulitnya dalam semua
”Sampai mati!” katanya, Ayah.
dia akan tetap tinggal dan menjadi tanah, akan bercerita
pada turunannya pada saat mengetam padi atau memanen kopi
Ayah, lelaki pada malam itu membagiku sepotong cerita
”Kau, Nak. Perempuan muda yang datang pada nyala api tua.
Jadilah
apapun meski itu tanah. Tanah ini akan
menjadi hidup dan darah
dan padanya kau akan menjadi bunga, rumput atau pohon tinggi”
Bandar Lampung, Mei 2007
0 comments:
Post a Comment